Chapter 14: Lie to Ur Heart

12 8 0
                                    

Halo flower's kembali lagi sama akuu😁
Jangan lupa follow dan vote yaaa!
Ramein jugaa komennyaa.
Happy Reading!

Play lagu Mahalini-Bohongi Hati- ya Flow

Hari ini adalah hari pertama Jayden dan Ruby sekolah, keduanya sekolah di tempat yang sama. Namun, jenjangnya berbeda. Kalau Jayden di TK 0 besar, maka Ruby masih PAUD. Reatha dan Aza yang mengantar keduanya pergi ke sekolah, rasanya Reatha tak perlu menunggu dua buah hatinya sampai sekolah selesai, sebab Jayden dan Ruby tampak asyik belajar dan bermain bersama teman-teman barunya. Gurunya pun mengatakan kalau keduanya tidak perlu ditunggu, karena sekolah ini aman. Untuk masuk ke area sekolah pun harus memiliki tanda pengenal, jika tidak maka tidak diperbolehkan masuk tanpa terkecuali.

Oleh karena itu, Reatha dan Aza segera pergi ke Coffee Shop, karena waktu sudah mulai menunjukkan pukul 09.00. Saat sampai di sana, Reatha dikejutkan oleh Grey yang duduk menunggu di kursi depan. Jantung Reatha langsung berdegup dengan kencang, tangannya juga gemetar dan saat Grey melangkah mendekati Reatha. Sontak Aza langsung menghadang Grey untuk melindungi sahabatnya.

"Apa mau lo?" cecar Aza pada Grey. Lelaki itu hanya diam dan menyerahkan amplop putih yang ditujukan untuk dirinya. Setelah Reatha menerima amplop itu dengan gemetar, Grey langsung pergi dengan mobilnya. Aza mengomel karena tindakan Grey sangat tidak sopan menurut Aza.

"Dia seperti orang aneh, datang, diam, dan memberikan surat." Aza menggerutu sambil membuka pintu Coffee Shop. Lalu, Reatha menjatuhkan surat tersebut, sambil menutup mulutnya. Aza langsung menoleh dan mengambil amplop tersebut.

Betapa terkejutnya Aza setelah membaca selembar surat yang tak terduga itu.

Reatha langsung mengambil ponselnya yang berada di tas dan dengan segera menghubungi Kavian yang pernah menjanjikannya sesuatu.

"Halo, Vian? Kalau kamu senggang saat makan siang, bisa temui aku di taman kota hari ini juga?"

•••

Di sisi lain, Kavian tengah mendengarkan kesaksian dan cerita Jonathan mengenai bukunya yang akan diterbitkan. Hal ini dilakukan, karena Kavian juga butuh berbagai pandangan untuk berargumentasi secara tepat dan bijak. Ia tidak bisa asal mengatakan A dan B tanpa alasan atau bukti yang jelas.

Namun, setelah Jonathan bercerita tiba-tiba saja ponsel Kavian berdering dan muncul nama Reatha di layar ponselnya.

"Iya, Rea?"

"Halo, Vian? Kalau kamu senggang saat makan siang, bisa temui aku di taman kota hari ini juga?" Reatha mengatakan dengan suara gemetar dan seperti ketakutan. Kavian langsung menyadari mengapa Reatha ingin mereka bertemu, pasti ini ada kaitannya dengan Grey atau kejadian beberapa hari yang lalu. Kavian pasti akan datang dan menemui Reatha, serta memenuhi janjinya kala itu.

•••

Hari ini Coffee Shop cukup ramai, Reatha lumayan kewalahan. Terlebih lagi ia memiliki janji dengan Kavian, ia jadi panik sendiri. Pasti Kavian sudah menunggu dirinya, Reatha terus melirik jam dinding di atas pintu masuk. Gawat, ia terlambat 15 menit. Ia harus mencuri waktu untuk mengambil ponsel dan menghubungi pria itu, tapi apalah daya banyak pelanggan yang mengantri dengan perut mereka yang sudah keroncongan. Menikmati dessert manis, roti bakar, sandwich dan donat-donat lucu lebih menggugah selera dibandingkan makanan berat lainnya. Terlebih lagi menu terbaru, yaitu berbagai latte yang langsung menjadi favorit anak-anak muda.

Hingga antrian terakhir sudah tiba waktunya Reatha akan menutup gerainya, tapi ia dikagetkan oleh pelanggan terakhirnya.

"Halo, Nona manis! Boleh americano nya satu? Seperti biasa, yang medium saja" tanpa melihat lawan bicaranya, hanya mengandalkan pendengaran dan tangannya yang lincah itu ke sana ke mari menyiapkan pesanan. Hingga pesanan sudah jadi, ia baru menatap pelanggannya.

"Astaga, Vian! Kamu membuat aku jantungan sejenak!" Reatha berucap dengan nada kesal namun bibirnya tersenyum. Kavian hanya bisa tertawa lebar sampai matanya menyipit.

"Kamu suka sekali menyiksa lambungmu dengan americano! Sudah makan siang?" tanya Reatha sambil menyiapkan sepotong sandwich.

"Siapa yang membuatku terlambat makan siang hari ini yaa?" Kavian malah melemparkan pertanyaan kembali pada Reatha, wanita itu terkekeh kecil dan memberikan sandwich nya pada pria di hadapannya ini.

"Tidak perlu bayar, anggap saja permohonan maaf ku, Vian" ucap Reatha dengan senyuman lembutnya.

"Itulah yang aku harapkan hari ini, Rea. Makan gratis" keduanya terkekeh sampai tak sadar kalau di dalam Coffee Shop itu hanya tersisa mereka berdua.

"Oh ya! Di mana anak-anak?" tanya Kavian sambil matanya liar melihat ke sana ke mari.

"Nanti aku ceritakan, duduklah dulu. Aku harus membereskan ini sebentar." jawab Reatha dan Kavian menurut. Ia duduk di pojok dekat jendela, entah kenapa spot ini merupakan favorit dan menjadi rebutan beberapa orang, sedangkan Reatha tengah membereskan area dapur dan kasir, lalu ia menutup pintu dan membalik tanda open menjadi close. Ia membenarkan pakaiannya dan duduk di hadapan Vian.

"Jadi, di mana malaikat-malaikat kecilmu?" tanya Vian setelah ia mengunyah gigitan sandwich ketiganya. Reatha tersenyum mendengarnya.

"Mereka sekolah, Vian. Nanti aku akan menjemput mereka saat pukul 14.00 nanti. Memang cukup lama, karena sekolahnya ada kegiatan sarapan bersama hingga makan siang bersama. Gurunya bilang akan selesai pukul 14.00, kurasa ada kegiatan santai setelah makan siang." Vian mendengarkan dengan senang hati, betapa lucunya membayangkan Ruby kecil menggunakan pakaian sekolah, begitu pula dengan Jayden yang cuek itu. Membayangkan Jayden berbaur dengan teman-teman sebayanya membuat hati Vian menghangat secara tiba-tiba.

"Sekolahnya jauh dari sini?" tanya Vian, Reatha tampak berpikir.

"Tidak terlalu, hanya 15 menit. Kalau dari rumah hanya 10 menit, kalau dari rumah Aza, hanya 5 menit." jelas Reatha, Kavian terkekeh mendengarnya. Sejelas itu Rea menjawab pertanyaan Vian.

"Oh yaa, ada sesuatu yang ingin kamu katakan, Rea?" tanya Vian, secepat kilat tangan Reatha jadi gemetar, dan suhu tubuhnya mendadak dingin. Kavian menyadari hal itu, ia mengenggam tangan Reatha tanpa penolakan.

"Tidak masalah kalau kamu belum siap mengatakannya sekarang, kapanpun kamu siap, entah esok atau kapanpun, katakan padaku. Aku ada untukmu, Rea" mendengar itu Reatha menunduk, ia jadi merasa sangat merepotkan banyak orang dan tidak bisa tegas pada dirinya sendiri.

"Jangan pernah merasa bahwa kamu merepotkan banyak orang, Rea. Justru tugas manusia itu untuk saling merepotkan satu sama lain." huft Rea merasa bahwa Kavian bisa membaca isi hatinya, karena genggaman hangat itu.

•••

Jangan lupa vote dan ramaikan komen yaa, Flow!

Hati yang Luka [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang