Chapter 19: Plan

6 0 0
                                    

Semua dimulai beberapa waktu lalu, saat Reatha mendapatkan amplop yang berisi surat dari Grey. Secara langsung pria itu datang tidak diduga, setelah itu pula Reatha mengehubungi Kavian dan mereka sama-sama mencoba menemukan benang merahnya untuk mengatasi isi surat itu. Sama terkejutnya dengan Reatha, tentu Kavian tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi. Begitu pun dengan Livin dan Azalea, mereka sepakat bertemu di waktu-waktu tertentu. Tepatnya mencuri waktu di saat kedua buah hati Reatha tengah sekolah atau tengah tertidur, maka keempatnya akan berbicara di ruang makan setidaknya sambil mengunyah berbagai cemilan yang biasa Livin bawa sebagai buah tangan. Jikalau berkenan, mari kita kembali ke beberapa waktu itu untuk tahu apa yang mereka bicarakan.

Kavian datang lebih dulu, tentu ia menikmati kopi dan cemilan berupa cookies dan mini donuts yang kelewat menggugah selera. Kavian heran, betapa sempatnya Reatha membuat cemilan-cemilan lucu seperti ini.

"Sempat tidak sempat, maka akan aku sempatkan. Kapan pun waktunya, dulu aku tidak terlalu punya bahan untuk membuat semua ini, tapi aku punya waktunya. Sekarang, aku punya bahan dan beruntung aku punya waktu, walaupun cukup kewalahan. Enggak seperti sebelum Coffee shop seramai sekarang." seolah bisa menebak isi pikiran Kavian, wanita itu berucap santai sambil menghidupkan kompor dan meletakkan teko. Memanaskan air untuk membuat teh hijau hangat, Azalea bilang dia sedang berada di fase diet akhir-akhir ini. Entah untuk apa, sebab menurut Reatha, wanita berambut merah menyala itu sudah cukup ideal.

Kata orang, pucuk dicinta ulam pun tiba, yang dimaksud akhirnya datang membawa banyak kantong yang sudah pasti berisi makanan ringan. Bahkan soda dengan botol-botol besar turut diletakkan di atas meja makan. Reatha menghela napas, dengan kedua tangannya yang berkacak pinggang, lalu mengambil botol-botol soda itu bermaksud menjauhkannya dari jangkauan Aza.

"Termasuk kamu, Kavian. Kamu enggak boleh minum soda bersamaan dengan kopi dan Aza cukup minum teh, enggak boleh minum kopi atau pun soda." Azalea yang tadinya gembira, jadi mengurungkan niatnya. Livin terkekeh kecil melihat wajah Aza yang cemberut.

"Bagaimana dengan diet mu kalau begitu, pilih teh sehat ini atau soda yang banyak gulanya? " Reatha memberikan pilihan yang sulit. Kalau ia memilih soda, maka sama saja diet dan olahraga Aza sia-sia, tapi kalau ia pilih teh hijau. Tidak rugi sih kalau minum teh, tapi rugi kalau tidak menenggak dinginnya minuman berkarbonat itu.

"Baiklah, aku akan minum tehnya." Aza akhirnya memutuskan.

"Dan kak Livin juga enggak boleh makan donat, atau pun cookies, dan snack yang mengandung susu. Asam lambung kakak bisa naik kalau kakak memaksa, " ucap Reatha yang mendapat anggukan dari Livin. Pria itu tersenyum manis, semanis donat-donat mini yang sangat memanjakan mata.

"Tapi aku akan bawakan nanti, untuk di rumah." tentu orang yang sangat bersorak riang adalah Azalea, artinya ia tetap bisa makan-makanan manis tanpa dilarang oleh Reatha.

"Enggak untuk kamu, Aza." lagi-lagi mengundang tawa kecil dari bibir Livin dan kekehan dari bibir Kavian. Aza akhirnya mengangguk setuju, walaupun sebenarnya ia ada rencana tersembunyi nanti.

Maka untuk mengatasi itu, Reatha sudah membuatkan roti dari gandum yang tentunya rendah gula, bahkan terhindar dari pengawet. Aza lebih dulu mengambil dengan semangat dan mencelupkan roti empuk itu ke teh hangatnya, begitu juga dengan Kavian yang nampaknya tertarik mencicipi. Livin jadi bingung ingin makan roti, tapi tidak minum soda.

"Baiklah, aku putuskan untuk minum kopi saja." mendengar itu Reatha mulai bereaksi saat ia mengoleskan selai strawberry ke rotinya.

"Sudah makan nasi, Kak?" Livin menaikkan alisnya sambil bibirnya fokus menyesap kopi hangat itu.

"Tidak bertanya padaku, Rea? " tanya Kavian memecahkan keheningan.

"Tidak perlu, sebab kamu tadi membawakan nasi katsu untuk anak-anak. Aku sudah bisa menebak bahwa kamu pasti makan di luar." Kavian menyunggingkan senyumnya, bagaimana Reatha bisa tahu. Memang insting seseorang yang pernah menjadi istri itu kuat sekali. Ah, lebih baik kalau menyebut, bahwa insting seorang Ibu itu kuat dan tepat.

Azalea mendengarkan sambil menikmati roti gandum yang ia cubit, lalu dicelupkan pada hangat dan harumnya teh hijau miliknya, "Bagaimana rencanamu soal surat yang Grey berikan kala itu, Rea?" Aza berucap serius, memecahkan candaan kecil yang terlontar sebelumnya. Reatha diam menatap wanita itu, meletakkan rotinya yang baru saja akan ia lahap dan tatapan matanya berubah menjadi serius. Kavian dan Livin merasakan atmosfir yang tidak biasa.

"Aku sebenarnya sempat visum waktu itu, malam sebelum aku pulang ke tempatmu. Kavian mengantarku ke rumah sakit, lebih tepatnya memaksa. Saat Kavian tidak sengaja melihat lebam disekujur lengan dan betisku saat aku menggulung celana sampai lutut, karena akan memandikan Ruby. Semuanya terjadi begitu saja, rupanya hal itu membuat aku memiliki bukti, untuk tidak menyetujui cabutan gugatan perceraian itu. Aku yang akan menggugat cerai Mas Grey, di bawah perlindungan Kavian tentunya. Ia sudah berjanji," jelas Reatha yang membuat Aza kaget menuutup mulutnya.

"Sungguh, Grey melakukan itu padamu?"

"Ya, Kak. Sejak aku memergokinya selingkuh, ia jadi sering melempar barang di dekatnya atau memukulku saat aku lama menyiapkan air hangat untuk ia mandi atau sarapannya. Juga wanita itu, pernah menyundutkan puntung rokok di belakang leherku saat aku sedang masak. Aku terkejut ia melakukan hal itu dan bekasnya masih ada sampai saat ini," jawab Reatha sambil menunjukkan bekas sundutan rokok itu. Bekas lingkaran hitam itu membuat Aza dan Livin meringis, Kavian tidak usah ditanya. Ia sudah tahu lebih dulu saat menemani wanita itu ke rumah sakit.

"Aku tidak pernah melihat bekas-bekas menyakitkan itu selama ini, Rea. Kenapa kamu enggak bilang?" protes Aza

"Enggak mudah untuk Reatha melakukan hal itu, Aza. Dia penuh tekanan, di satu sisi ia perlu melindungi anak-anaknya, perlu uang untuk memenuhi gizi dan kebutuhan anaknya, di sisi lain kalau Reatha mengatakan tanpa perlindungan orang yang paham, sama saja Reatha meloloskan dirinya sendiri ke dalam kandang singa secara sukarela, " jawab Kavian. Menyela lebih dulu sebelum Reatha memberikan penjelasan. Aza hanya diam saja, ia tidak terpikirkan sampai ke sana.

"Tapi, aku dan Aza bisa membantu untuk menyewakan pengacara kalau kamu mengatakan lebih cepat, Rea"

"Lagi-lagi aku tekankan, bahwa ini tidak mudah bagi Rea untuk mengatakan, semudah meloloskan umpatan dan kalimat yang menyudutkan." Kavian lagi-lagi membela wanita di sebelahnya.

"Sudah, enggak masalah, Kavian. Aku paham bahwa Aza dan Kak Livin hanya cemas padaku."

"Baiklah, apa selanjutnya, Pengacara Kavian?" tanya Azalea yang sebenarnya tampak kesal.

Hati yang Luka [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang