Chapter 16: Passably

9 4 0
                                    

Halo, Flow!
Maaf absen tiga hari, hehe
Ramein yupp!!

Play lagu Salma Salsabil "Boleh Juga" yup!

Happy Reading

•••

Kavian dan Reatha bertemu di taman kota, sebab Kavian yang meminta. Sebenarnya Reatha tidak butuh klarifikasi konyol seperti itu, tapi ia rasa tidak ada salahnya. Mungkin Kavian hanya butuh teman untuk mendengar ceritanya. Suasananya sore hari, angin berhembus perlahan menyapu helaian rambut Reatha yang lepas dari genggaman karet rambut berwarna merah muda dengan pita kecil sebagai hiasannya. Juga Kavian yang tampaknya baru pulang dari kantor, dengan kancing kemeja teratas yang terbuka dan blazer hitam yang hanya ia tanggalkan di sebelahnya, rambutnya tidak terlalu berantakan, namun itu cukup membuat Kavian semakin seksi-diumurnya yang masih muda. Disclaimer, menurut Reatha Faraditha.

"Kavian, hari akan semakin malam. Anak-anak hanya aku titipkan dengan Mba Luna. Katakan yang katanya ingin kamu sampaikan padaku." tegas Reatha, pasalnya ia tidak bisa berlama-lama. Namun, Kavian malah betah berdua tanpa suara dengan wanita di sampingnya itu. Pria itu hanya tersenyum dan meminta maaf. Lalu ia menghela nafas dan menunduk menatap ujung sepatunya. Tanpa aba-aba, Reatha mengenggam tangan kirinya yang kosong.

"Katakan saja, aku tidak akan menghakimi." mendengar itu, Kavian mengangguk.

"Gadis yang kamu lihat bersamaku waktu itu adalah anak dari rekan bisnis orang tua ku. Aku sebenarnya sudah menolak, bahkan di depan gadis itu. Namanya aku lupa, tidak sempat aku simpan dimemori" mendengar itu Reatha terkekeh kecil. Bisa-bisanya barang sekecil nama pun Kavian tidak ingat.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Beberapa hari aku tidak ke coffee shop mu karena aksesku untuk ke kantor bahkan ke rumah disita. Secara paksa, tidak ada cara lain untuk mendapatkannya selain mengikuti perintah." serangkaian kalimat yang keluar dari bibir Kavian itu membuat Reatha menganga lebar.

"Tapi kan itu bukan hak mereka? Itu hasil jerihmu sendiri kan, Vian?" Reatha yang mendengar cerita Vian pun tidak terima, bagaimana bisa orang tuanya memaksa dengan cara seperti itu.

"Aku tidak paham, Rea. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya orang tua ku inginkan. Padahal, mereka punya kedua kakakku. Mereka bisa menjodohkan keduanya dengan anak petinggi manapun. Kenapa harus aku? Bahkan secara tiba-tiba aku digiring untuk kembali ke rumah itu. Aku sangat tidak nyaman dan aku tidak tahu lagi harus dengan apa aku memberontak." Reatha mengusap punggung pria itu, air matanya memenuhi pelupuk matanya yang kecil itu. Kavian mendongakkan kepalanya ke atas sambil menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Keluarkan semuanya, Vian. Sampai kamu lega, sampai semuanya terasa sedikit ringan. Bagikan denganku, kamu juga manusia yang punya perasaan dan butuh tempat untuk setidaknya menanggalkan sepatumu sebentar agar dapat beristirahat" pecah tangisan Kavian, ia menutup wajahnya. Merasa malu menumpahkan kesedihannya yang ia pendam selama ini sendirian. Kini malah ia perlihatkan di depan wanita yang ia cintai. Reatha terus mengusap punggung pria yang menundukkan tubuhnya itu, menangis terisak tanpa menahan suaranya sama sekali. Reatha melarang, betapa menyedihkannya hidup jika menangis menahan suara. Reatha paham itu, tenggorokan rasanya tercekat, nafas naik turun, jantung berdegup kencang, leher seperti tercekik. Sungguh Reatha tak mau mengingatnya lagi pengalaman yang tidak enak kala itu.

Setelah kesedihannya reda, Vian menerima tisu yang Reatha selalu sediakan di saku celananya. Pria itu menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

"Sudah lebih tenang?" tanya Reatha berhati-hati. Pria itu menoleh dengan senyuman yang tampak dipaksakan.

"Tidak perlu dilanjutkan, aku paham situasinya. Terpenting sekarang kamu harus pulang untuk mandi dan menyegarkan diri." nasihat Reatha hanya dibalas Kavian dengan senyuman.

"Sudah satu minggu lebih aku tidak mencium harum kopimu, Rea. Boleh aku ke rumah?" tanya Vian tanpa tau malu. Reatha sudah menduga itu.

"Baiklah kalau itu bisa membantu untuk mengembalikan semangatmu." Kavian tersenyum lebar dan keduanya kembali ke mobil.

•••

Saat Reatha sibuk membuat kopi, Kavian asyik bermain rumah-rumahan di kamar Jayden dan Ruby. Keduanya tertawa riang tanpa henti, Reatha dibuat heran dan penasaran, tapi hatinya menghangat dan senang. Setidaknya Kavian punya sedikit hiburan setelah menjalani hari-hari kelamnya dan kedua anaknya, setidaknya bisa tersenyum kembali.

Tentang Kavian, Reatha sedikit aneh dan sebenarnya Reatha tahu. Kavian bukan hanya berteman dengannya, bahkan Livin. Reatha paham maksud keduanya, tapi Reatha tak bisa. Mungkin sekarang belum, tapi kalau boleh dikatakan. Reatha belum siap untuk kembali menjalin ikatan itu, yang ia pikirkan hanya kedua anaknya dan masa depan keduanya. Bagi Reatha, kini masa depannya hanya untuk Jayden dan Ruby saja.

"Vian, kopinya sudah jadi!" panggil Reatha yang sudah di ruang tamu menyajikan kopi, coklat panas dan makan malam.

"Jayden, Ruby. Ayo makan dulu, sudah sulu mainnya yaa!" ketiganya datang dengan sigap menuju Reatha.

"Cuci tangan dan kaki, lalu duduk yang rapi" lucunya, ketiganya menurut. Reatha tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia bagai mempunyai tiga bayi. Dua bayi lima tahun, satunya bayi 2 tahun lebih 24 tahun.

"Vian, menginaplah untuk malam ini. Anak-anak sepertinya menyukaimu" ucap Reatha tiba-tiba saat ia sedang merapikan bekas makan malam mereka bersama, sedangkan Jayden dan Ruby sudah ribut berebutan wastafel untuk membersihkan tangan mungil mereka. Terkejut? Sangat! Bahkan jantung Kavian hampir berhenti berdetak.

•••

Hei! Ramein komen dan jangan lupa vote yaaa!!

See u

Hati yang Luka [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang