Chapter 22: Kavian vs Zack

4 1 0
                                    

Siang sudah terlewati, Kavian sudah berada di Pengadilan lagi. Azalea dan Livin pulang, sudah memastikan Reatha dan kedua anaknya berada di rumah dengan aman. Reatha sebelumnya ingin ikut menemani Kavian, tapi Kavian melarang. Sebab tidak aman bagi Reatha, jika harus berada di sana dan lagipula Reatha tidak akan diperbolehkan masuk. Jadi, Reatha hanya membantu Kavian merapikan barang-barangnya. Misalnya seperti saat ini.

Kavian sibuk menyusun berkas-berkas yang sudah ia siapkan dan mengecek kembali apakah isinya sudah benar dan urutannya sudah sesuai apa belum. Kavian terbiasa menata keperluan kerjanya dengan baik. Setelah Kavian merasa siap, ia menutup pintu mobil dan mendekat ke arah pagar. Tepat di mana Reatha berdiri menunggu kepergian ketiga temannya itu. Kavian mendekat, ada sesuatu yang ia ingin katakan, tapi tertahan saat wanita itu menginterupsi Kavian untuk diam dan merapikan dasi Kavian yang sedikit bergeser dari tempatnya. Reatha cukup ahli dalam urusan kecil seperti itu. Terbiasa memasang dasi untuk Grey dulu saat awal masa kejayaan Grey dan semakin terbiasa juga saat Jayden dan Ruby mulai sekolah. Jantung Kavian sudah berdegup lebih kencang sebelumnya, karena ia ingin mengatakan sesuatu. Namun, sekarang malah semakin berdetak lebih kencang lagi, ia bahkan tidak bisa mengontrol jantung dan keadaan perasaannya saat ini.

"Sudah rapi," ucap Reatha dengan senyuman dan menatap pria itu. Kavian buru-buru memalingkan wajahnya yang sudah merah seperti tomat matang.

"Ada apa, Vian? Kamu sakit?" tanya Reatha khawatir sambil menangkup kedua pipi Kavian dan menempelkan punggung tangannya ke dahi pria itu. Kavian menggeleng dan melepaskan tangan Reatha dari pipinya.

"Aku tidak apa. Cuaca siang ini cukup panas ya, sampai kulitku hampir matang," ucap Kavian sambil mengalihkan wajahnya dan Reatha tersenyum. Sebenarnya wanita itu sadar kenapa wajah Kavian sampai memerah begitu.

"Masuklah, aku harus pastikan kalau kamu baik-baik saja." Reatha tersenyum mendengarnya, masih sambil menatap pria itu yang sudah tak tahan dengan perasaan salah tingkahnya sendiri.

"Ya sudah, aku masuk ya. Hati-hati di jalan, good luck untuk persidangannya! Kabari aku kalau kamu sudah sampai di sana."

Setelahnya, Kavian buru-buru masuk ke dalam mobil dan ia pergi menyusul mobil Livin yang sudah berjalan satu detik lebih dulu.

Reatha masuk ke dalam rumah dan mengunci rumahnya, ia melihat kedua anaknya berlarian masuk ke dalam kamar. Diam-diam mereka mengintip Sang Bunda dari jendela. Reatha terkekeh kecil, lalu berlari ke arah anaknya dan menggelitik keduanya.

"Nakal ya! Disuruh tidur, tapi malah mengintip ke luar," ucap Reatha dengan nada bercanda. Kedua anaknya tertawa lepas dan meminta Reatha untuk menghentikan jemari Bundanya yang menggelitik pelan perut mereka.

"Ya sudah, tidur ya! Enggak ada acara mengintip lagi, sudah terlalu siang." kedua anaknya menuruti ucapan sang Bunda dan mengecup pipi wanita itu, lalu bergegas ke kasur masing-masing. Reatha tersenyum dan menutup pintu kamar anaknya.

Inginnya Reatha merebahkan diri di kamar, tapi ia lupa bahwa ia belum membereskan sisa piring di dapur. Reatha pun melangkah ke dapur dan membereskan semuanya, ia menyapu, mengepel, dan mengelap meja makan. Bahkan mengganti alas meja yang baru saja ia ganti semalam. Terlalu asyik Reatha membereskan dapurnya, hingga tak sadar kalau ada seseorang yang datang mengetuk pintunya. Saat Reatha mengintip dari jendela, ia terkejut bahwa orang itu adalah Grey dan satu orang polisi. Ia tidak bisa untuk berpura-pura tidak mendengar, tatapan matanya terlanjur bertemu dengan Grey dan Reatha dengan ragu membuka pintu rumahnya. Grey tersenyum kecil, hampir tak terlihat.

"Ada perlu apa datang kemari?" tanya Reatha cepat. Pria itu menoleh pada polisi di sebelahnya dan polisi itu menyerahkan amplop berkop pengadilan agama. Reatha membukanya dan membacanya perlahan.

Hati yang Luka [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang