Gelap malam menyelimuti, dengan iringan suara binatang yang khas, ditambah angin malam menusuk tulang. Menambah kesan akan malam yang panjang.
Jiwanya seakan tertekan. Jiwanya gusar penuh tekanan, rasanya seperti manusia tak bernyawa.
Memandang langit, yang gelap hampir tak berwarna. Melihat sekilas dirinya yang mulai tersiksa dengan ketakutan, dan hati yang gelisah. Rasanya, untuk bernafas pun susah.
Dihadapkan keadaan, di mana harus memilih antara melawan ketraumaan, atau tetap diam pada gelapnya malam.
Tangan Raj gemetar, memegang stir mobil yang rasanya sudah tak ada kekuatan. Pasalnya, ini adalah jalanan besar, dan hujan tiba-tiba datang tak diundang.
"Bagaimana ini," ujarnya.
Tangannya diperkuat, mencoba memegang stir dengan tenaga nya yang tersisa. Nekatnya, Raj mulai menjalankan mobilnya meski hujan semakin deras. Semuanya seperti sudah tidak bisa di kondisikan. Pikirannya juga kacau. Memikirkan apa yang menjadi masa lalu, masa kini, dan yang akan datang.
"Tidak apa, ini demi Raj yang merindukan Ayah Ibunya. Sekali-sekali kita meninggalkan pekerjaan untuk menemani nya yang sedang liburan."
"Benar. Biarkan dia ditemani seperti ini."
"Nah, lihat, senyum Raj tidak luntur sedaritadi. Hey, anak Ayah sedang apa?"
Raj dalam diri kecilnya yang masih bahagia. Tidak tau apa yang menjadi masalah ketika dewasa. Namun, saat inilah kekurangannya membekas sampai dia berumur dewasa.
"Bu, lindungi Raj!"
"Ya Tuhan selamatkan anakku. Dia masih belum merasakan kehidupan yang sebenarnya."
"Awas!"
"Ayah, Ibu."
Mata Raj memejam, merasakan sakit yang luar biasa dari apa yang terjadi barusan ketika dirinya menabrak mobil besar yang berlawanan. Ditengah kesakitan, matanya terbuka, tapi yang dilihatnya adalah samar. Kejadian dua puluh lima tahun silam seperti kembali hadir sekarang. Tubuhnya penuh luka. Luka yang juga ada pada hatinya yang tak terima atas kematian kedua orangtua nya yang direnggut oleh kejam nya Hujan. Hujan memisahkan mereka, hujan menderitakan mereka. Dan kini hujan membuatnya terluka.
"Ayah,--
Ibu.." Sudah tidak kuat lagi rasanya. Pejaman matanya sudah tidak ingin terbuka karna takut melihat kejamnya dunia. Dihancurkan kenyataan, dihancurkan takdir yang malang, dan dipisahkan oleh seseorang. Hidupnya selalu tak adil!
"Meera.." Terenggut semuanya. Tak sadarkan diri dalam bayang-bayang takdir hidupnya. Raj memilih putus asa, dan menyerah pada hidupnya.
Sisanya hanya luka, dan air mata, yang datang ketika dia sendirian di bawah hujan disertai angin yang kencang.
•••••
"Dokter, keadaannya terus menurun."
"Kondisinya kritis dokter."
"Pasang ventilator. Prioritas utama kita membantu mengembalikan saturasi, dan denyutnya."
"Karna, justru yang menjadi masalah itu dibagian jantungnya. Sepertinya dia penderita penyakit jantung. Saturasi nya benar-benar rendah sekali. Be--
"Dokter, keadaannya terus menurun karna kehabisan darah, Dok!"
"Jantungnya mulai kekurangan pasokan darah. Maka dari itu irama jantung nya tidak stabil. Ini bisa menyebabkan aliran darah tidak mengalir baik ke organ-organ vital, Dok. Ditakutkan ini akan menyerang bagian otaknya, Dok."
"Siapkan empat kantung darah!" Kata si Dokter. Matanya masih menatap intens layar monitor yang terekam irama jantung pasiennya. "Shit!"
Grafik itu hampir bergerak lurus. Maka dari itu, Dokter itu naik ke atas brankar, dan melakukan CPR pada pasiennya ini.
"C'mon!"
"Hey kembalilah!" Menambah menjadi tiga siklus, Akshay selaku dokter mempercepat tindakannya agar mendapat hasil baik bagi pasiennya.
"Kembalilah! Diluar ada seseorang yang menunggumu. Kembalilah!"
"Stabil, Dok." Akshay menghela nafas lelah, tapi lega.
"Ini harus selalu kita pantau. Kondisinya rentan untuk menurun kembali. Jika satu jam kedepan masih belum ada perubahan, aku takut dia tidak akan bertahan. Segera lakukan transfusi. Aku yakin setelah ini keadaannya membaik, setidaknya dia menunjukkan kemajuan, dan jangan lupa berikan obat injeksi."
"Baik, Dok."
"Pindahkan ke ICU."
•••••
"Bagaimana?" Penampilannya begitu berantakan. Air mata sudah memucatkan wajah basahnya yang lelah. Saat menerima panggilan tadi, Meera begitu bahagia ketika nama yang tertera adalah suaminya. Namun itu digantikan oleh pekikannya ketika mendapat kabar buruk tentang Raj yang kecelakaan menerjang hujan di jalan raya.
"Kami hampir saja kehilangan dia tadi." Runtuh sudah. Meera menutup mulutnya dengan satu tangan, dengan bahu yang bergetar. Setelahnya dia menatap, sang dokter yang tengah menatapnya.
"Lalu?" Tanya Meera.
"Irama jantungnya kembali lagi. Namun, kami belum bisa memastikan baik buruk keadaannya. Darahnya terkuras, dan itu mempengaruhi penyakit jantungnya."
"Pe-penyakit jantung?" Meera menutup mulut. Pijakannya melemah, Meera tak sanggup menopang tubuhnya.
"Bukankah kau istrinya? Apa kau belum mengetahui penyakitnya? Mungkin, dalam perkiraan, penyakitnya sudah sekitar dua, atau mungkin tiga bulan." Meera menggeleng, dengan tangisannya. Tubuhnya meluruh pada pilar didekatnya, lalu meraung-raung di sana.
"Kuatkan diri anda. Suami anda butuh semangat dari istrinya. Dia pasti akan bertahan." Akshay menepuk pundak bergetar itu, lalu pergi meninggalkan kesedihan yang dilihatnya. Beberapa kali pemandangan seperti ini menjadi kenangan selama dia bekerja di rumah sakit ini. Penyakit selalu menjadi hal menakutkan ditinggal orang-orang tersayang.
Dengan isakkan yang masih ada, Meera menatap nyalang di depannya. Tak fokus, dia berada diambang kesadaran sekarang. "Tidak.."
Bangkit, walau hampir jatuh, Meera tetap bangkit. Menerobos pintu untuk melihat keadaan suaminya itu.
"Kau bodoh!"
"Kau sangat bodoh."
"Kenapa menyembunyikan semua ini, Raj, kenapa?!" Meera mengguncang tubuh lemah itu dengan sekuat tenaganya. Menghiraukan teguran para petugas kesehatan yang melarangnya.
"Kenapa tidak membaginya kepadaku. Kenapa menanggung ini sendirian?! Ternyata memang kecurigaanku tidak pernah salah, kan? Ini, ini yang menjadi penyebab kau jadi sering jatuh sakit."
"Bagaimana bisa aku tidak tau kondisi sebenarnya dari suamiku?! Pintar sekali kau menyembunyikan ini, Raj!"
"Aku membencimu! Aku benar-benar membencimu!"
"Anda harus keluar sekarang." Meera menoleh pada ucapan tiba-tiba, menatap Dokter tadi yang kembali lagi di depan matanya.
"Aku mohon sebentar saja," lirih Meera.
"Kau bisa menemuinya kembali di ruang ICU. Jangan egois, suamimu butuh penanganan lebih lanjut secepatnya." Meera terdiam. Menghapus jejak air mata, lalu mengatur nafasnya.
"Kau harus bertahan," ujarnya dengan menyatukan kening mereka.
"I hate you, but i love you, and i miss you, hubby."
•••••
Tangan itu tak ada dia lepas. Matanya tak berpaling barang sejenak. Dalam sandaran kepala pada ranjang pesakitan suaminya, Meera berdiam tak ada suara, memilih untuk bergelut pada dunia di alam batinnya.
Nitt nitt nitt nitt!
Bangkit, Meera mengangkat kepalanya, dengan mata yang melebar sempurna, dan berdiri dari duduknya.
"Raj!"
•••••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
About Time
RomanceDia benar-benar obat yang menyembuhkan segala sakit yang aku alami pada kehidupan ini. Meera penyembuh penyakit yang ada padaku.. "Meera, jika ini yang terakhir, aku hanya ingin bilang tolong jangan lupakan aku.." "Aku tidak akan melupakanmu, karna...