Malam itu, Raj berbaring di tempat tidur mereka, tempat yang seharusnya penuh dengan pelukan dankehangatan. Kini hanya ada kekosongan, dan rasa sunyi yang begitu menggerogoti.
Tapi, saat segala sesuatu terasa kosong, ketika hidupnya mulai terlihat begitu rapuh, ada satu hal yang tak bisa ia lepaskan, yaitu secuil keinginannya untuk bertahan. Untuk bangkit, meskipun seberat apapun rasanya.
"Meera..." Raj berbisik pelan, menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku akan mencoba... aku akan mencoba untuk hidup."
Keputusan itu bukanlah keputusan mudah. Namun, setelah beberapa hari terperangkap dalam keputusasaan, Raj tahu dia harus bergerak, meskipun langkahnya masih sangat kecil dan rapuh.
Dia memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka, dan pergi ke tempat yang menjadi favorit mereka, Bali. Tempat yang memberi kedamaian dan rasa kebebasan, tempat yang seharusnya mereka nikmati bersama. Kini, Bali menjadi tempat untuk Raj mencari kedamaian dalam dirinya, mencari cara untuk melupakan kepedihan ini atau setidaknya, untuk belajar hidup dengan rasa sakit yang tak kunjung sembuh.
Raj tiba di Bali dengan secarik harapan yang terbungkus rapat dalam dadanya. Pulau yang dulu pernah ia dan Meera datangi untuk dijelajahi bersama, kini menjadi tempat pelarian dari kenyataan pahit yang menimpanya. Meera pergi, meninggalkan dirinya, seperti angin yang tiba-tiba hilang tanpa jejak. Kepergian Meera meninggalkan luka yang dalam, seakan-akan sebagian dari dirinya juga ikut terbang bersamanya.
Di Bali, ia tinggal di sebuah vila kecil yang sederhana, jauh dari keramaian, dan lebih jauh lagi dari bayang-bayang kenangan Meera. Setiap hari ia berjalan di tepi pantai, menyaksikan matahari terbenam tanpa ada yang menemani. Malam-malamnya diisi dengan kesendirian, dan terkadang, ia duduk di tepi laut, memandang gelapnya air yang tenang, mencoba berbicara dengan dirinya sendiri.
Hidup di sana tidak mudah. Meskipun sepi, meskipun dia merasa terasing, dia belajar untuk menerima kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan. Kadang-kadang, ia merasa bahwa setiap langkahnya terasa seperti berat batu yang harus ia angkat. Namun, ada satu hal yang ia pelajari yaitu untuk bisa bangkit, ia harus menerima luka-luka itu, dan tidak melarikan diri darinya.
Hingga, pagi ini ketika ia duduk di kedai kopi kecil di pusat Ubud, menikmati secangkir teh yang hangat, seorang wanita dengan rambut tergerai dan senyum yang sangat lebar menghampirinya. Wanita itu langsung duduk tanpa diminta, seperti sudah lama mengenalnya.
"Kau di sini sendirian?" tanya wanita itu dengan suara ceria, bahkan sedikit berlebihan. Matanya yang terang benderang menatap Raj dengan rasa ingin tahu yang mencolok.
Raj menatapnya bingung. Ia belum mengenal wanita ini, dan jujur, ia tidak ingin berbicara banyak. Namun, wanita itu tidak memberi kesempatan untuk menolaknya. "Aku Deepika!" katanya sambil tersenyum lebar, memaksa Raj untuk mengangguk sebagai tanda pengakuan.
"Aku sering ke sini untuk cari inspirasi. Ngomong-ngomong, kau orang baru di sini, kan?" Raj hanya mengangguk pelan, masih tidak tahu harus bagaimana. Keanehan wanita itu terasa menyeluruh karna terlalu bersemangat, terlalu terbuka, seolah dunia ini miliknya untuk dijelajahi. Ia tidak bisa menahan senyum tipis di wajahnya, meskipun hatinya masih penuh dengan kesedihan.
"Aku Raj," ucap Raj pelan, tidak tahu harus berkata apa lagi. "Ya, baru datang beberapa hari lalu. Hanya ingin... sedikit melarikan diri." Deepika tertawa, nada tawanya seperti gelak yang tak bisa dihentikan.
"Melarikan diri? Haha, seperti setiap orang yang datang ke Bali! Tapi, lihatlah sekitar kamu, Raj! Bali itu bukan untuk lari, Bali itu untuk menemukan bagian terbaik dari dirimu sendiri. Atau... setidaknya belajar untuk berhenti melarikan diri, mungkin?"
Kehadiran Deepika, meskipun agak mengganggu, memberi warna dalam kesehariannya yang sepi. Wanita itu tidak pernah bertanya tentang masa lalunya, tentang kenapa ia memilih Bali. Deepika, dengan segala kepolosannya, hanya berbicara tentang Bali, tentang desa ini, tentang kebudayaan, dan tentang orang-orang yang datang dan pergi. Seolah-olah hidup ini adalah sesuatu yang harus dijalani dengan kegembiraan tanpa henti.
Raj mulai terbiasa dengan pertemuan-pertemuan singkat mereka. Setiap pagi, ia akan menemukan Deepika di cafe yang sama, dengan ekspresi ceria yang bahkan terkadang membuatnya ingin tertawa. Terkadang mereka berbincang tentang Bali, tentang seni, atau hanya sekadar berkelakar mengenai hal-hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Deepika seperti angin yang datang dengan cepat dan pergi begitu saja, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Raj merasa sedikit lebih ringan.
Mereka hanya berteman, tetap dalam jarak yang aman, tidak ada pertanyaan yang terlalu dalam, tidak ada keinginan untuk mengetahui lebih jauh. Deepika, dengan segala kegilaannya yang teramat ekspresif, hanya menjadi bagian dari pelarian singkat dalam kehidupan Raj yang hampa.
Setelah beberapa waktu berlalu, Raj memutuskan untuk kembali menjalani rutinitasnya yang sudah ia kenal. Di Bali, ia mulai merasa lebih hidup, meskipun kesendirian masih menemani setiap langkahnya. Setiap hari, ia berjalan di pagi hari, dan melalui kegiatan seperti menulis jurnal, bekerja dengan perasaan yang terkadang penuh dengan kesedihan, dan terkadang dengan harapan. Di sana, meski ia tak menemukan kebahagiaan yang utuh, ia menemukan sedikit kedamaian dalam dirinya yang terluka.
•••••
Pada suatu pagi yang cerah, ketika ia duduk di teras vila kecilnya, menyapa dunia dengan secangkir teh, ponselnya berdering. Sebuah pesan muncul di layar. Raj melihat nama Saif yang tertera di sana, dan Raj membukanya.
[ Raj, aku harap kau baik-baik saja di sana. Aku ingin mengundangmu untuk datang ke pertunanganku dengan Kareena. Kami akan melakukan itu dalam waktu dekat, dan kami ingin kamu berada di sana. Jadi, aku menunggumu, kau harus datang, atau aku akan menghampirimu di sana! ]
Raj menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Sebuah undangan yang sederhana, namun dalamnya mengandung begitu banyak makna. Saif dan Kareena, dua orang yang sangat dekat dengan Meera, dengannya, orang-orang yang tak pernah meninggalkannya meski semua yang terjadi. Namun, ada keraguan yang datang begitu saja. Menghadiri pertunangan itu berarti ia harus menghadapi kenyataan. Ia harus kembali ke dunia yang selama ini ia coba hindari. Ke dunia yang penuh dengan kenangan yang masih melukai.
[ Aku akan datang, Saif. Aku akan kembali. Terima kasih sudah mengundangku. ]
Meskipun hatinya masih terluka, meskipun ia masih belum benar-benar bisa melepaskan Meera, Raj tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Ia tidak bisa terus bersembunyi di balik rasa sakitnya selamanya.
Setelah mengirimkan pesan itu, Raj menatap pemandangan Ubud yang tenang, seakan alam ikut merasakan perubahan dalam dirinya. Bali telah memberinya banyak pelajaran tentang kesendirian, tentang penerimaan, dan tentang pentingnya memberi ruang untuk luka yang ada. Tetapi sekarang, ada satu hal yang harus ia lakukan, yaitu kembali ke tempat asalnya, kembali ke dunia yang pernah menjadi miliknya dan Meera, dan menghadapi kenyataan.
Dengan perlahan, ia mulai merapikan barang-barangnya. Ia memesan tiket pulang dan memastikan segala sesuatunya siap. Hari itu, untuk pertama kalinya setelah lama, Raj merasa sebuah dorongan kuat di dalam hatinya, sebuah dorongan untuk bangkit dan melangkah maju. Bali sudah memberikan kedamaian, tetapi rumahnya, tempat yang penuh dengan kenangan bersama Meera, adalah tempat di mana dia harus menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari.
•••••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
About Time
RomanceDia benar-benar obat yang menyembuhkan segala sakit yang aku alami pada kehidupan ini. Meera penyembuh penyakit yang ada padaku.. "Meera, jika ini yang terakhir, aku hanya ingin bilang tolong jangan lupakan aku.." "Aku tidak akan melupakanmu, karna...