08 || LDM

144 21 0
                                    

Meera POV
_________

Hari ini mungkin menjadi hari yang kunanti. Tapi.. di sisi lain aku cukup berat meninggalkannya. Aku mengkhawatirkan semuanya ketika memutuskan untuk pergi. Terkesan berlebihan, tapi sungguh. Ini adalah pertama kalinya aku meninggalkannya setelah kami menikah. Kami selalu berdua, bahkan jika Raj tengah melakukan perjalanan untuk pekerjaannya aku selalu menemaninya.

"Meera, sebentar lagi kita akan masuk ke kabin pesawat. Persiapkan dirimu." Aku mengangguk. Perjalanan ini hanya butuh waktu satu setengah jam, karna aku hanya pergi keluar kota.

Kami berjalan berdampingan menuju kabin. Sesekali aku merasa canggung padanya, Aamiir. Satu minggu setelah kejadian dimana Aamiir berkenalan dengan Raj cukup membuat ku merasa bersalah padanya. Tapi setelah itu kami tetap berhubungan apalagi ketika Aamiir mengajak ku pergi ke cafe, dan menjelaskan jika teman masa kecilku akan menikah. Juhi namanya.

Dulu, kami berjanji akan tumbuh dewasa sama-sama. Namun karna satu, dan lain hal aku berpisah menyisakan Juhi, dan Aamiir. Dan saat ini Juhi menikah, aku harus menepati janjiku untuk ada disampingnya, seperti yang aku katakan saat masih duduk di bangku sekolah.

"Raj jangan lupa makan siang, ya. Perhatikan makanan mu, jangan memakan makanan yang akan mengganggu kesehatanmu, okay? Aku baru ingin memasuki kabin. Maaf jika kedepannya pesanmu tak ku baca, tapi akan ku usahakan. I love you hubby."

Aku baru saja mengirim pesan padanya, suamiku. Sebenarnya aku tidak yakin akan dibalas. Akhir-akhir ini dia seperti marah. Mulanya ketika Aamiir datang, ketika Aamiir mengajak ku ke cafe, ketika aku meminta izin untuk keluar kota. Raj memang mengizinkanku, itu keluar dari mulutnya. Tapi hatinya seperti menolak itu hingga dia sedikit membagi jarak kepadaku.

Tadinya juga aku mengajaknya, tapi dia menolak. Dia bilang jika harus menyelesaikan masalah di kantor. Aku menerima itu, hingga pergi hanya berdua dengan Aamiir sekarang.

•••••

Hari-hari yang sulit. Dua hari dirundung kesepian ketika pulang dari penatnya pekerjaan. Raj mendaratkan bokongnya pada sofa, menghilangkan penatnya yang ber-efek pada menurunnya kesehatan. Tangannya merogoh, menelan dua butir obat tanpa bantuan. "Hahh! Ternyata aku memang tidak bisa hidup sendirian," ucapnya.

Raj cukup rindu. Dua hari berjauhan, dua hari tak berkomunikasi lewat pesan. Tak bisa bohong jika Raj rindu. Meski penyebab putus nya komunikasi itu merupakan ulahnya yang merajuk kesal, hingga mengabaikan apapun notifikasi yang tertera nama istrinya, di ponselnya ia abaikan.

"Apa dia merindukanku juga?" Tanyanya pelan.

Mereka benar-benar jodoh! Setelah berucap, Raj mendengar dering telpon. Cukup terkejut melihat nama yang tertera di depan matanya. "Sebuah kebetulan?"

"Di jawab tidak ya?" Satu dirinya menjawab tidak, tapi dirinya yang lain merindukan tingkah istrinya.

"Ya, halo."

"Astaga, Raj!"

"Kau ini kenapa? Pesanku tak dijawab, telponku di abaikan, tak ada kabar. Kau tau tidak, aku khawatir?! Huhh, syukurlah kali ini kau mengangkatnya." Dengan tatapan datarnya. Maksudnya tatapan yang ia buat agar terlihat biasa saja, Raj bisa melihat wajah cerewet istrinya lewat sambungan video call kali ini. Ini yang dia rindukan.

"Kau sengaja, kan, Raj?"

"Raj!" Raj hanya tersenyum.

"Apa di sana berjalan dengan lancar?" Tanya Raj mengalihkan pertanyaan. Dia melihat Meera yang mengangguk, lalu memajukan bibirnya, merajuk.

"Tiga hari lagi aku pulang. Aku merindukanmu, Raj. Tidurku tak tenang di sini. Aku merindukan pelukan suamiku ini.."

"Mau ku jemput ke tempat mu?" Ujar Raj menawarkan diri.

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang