05 || Liburan (2)

180 23 5
                                        

"Astaga, apa ini."

"Raj?" Meera menatap sekitaran. Ini pertama kalinya terjadi dalam perjalannya menggunakan pesawat. Turbulance tengah dialami pada cuaca buruk di penerbangan kali ini.

Jendela pesawat yang tadinya memperlihatkan awan gelap serta petir-petir yang mengkilap, Meera tutup agar tidak terlihat. Dia menggenggam tangan Raj yang mendingin. Tatapannya kini tak teralih pada Raj yang berada di kursi samping. Wajah pucat, dengan keringat, dan keterdiaman yang selalu ada ketika traumanya kembali datang.

"Everything gonna be okay. Ini hal yang biasa dalam penerbangan, meski kita tidak pernah mengalaminya."

"Cukup berpegangan tangan denganku, dan kencangkan sabuk pengamanmu. Ini akan berlalu. Tenang Raj, tenang."

Sebenarnya Meera pun merasa takut. Namun, kini bukan waktunya dia sibuk pada ketakutannya, dan mengabaikan Raj yang membutuhkannya. Pramugari bilang, turbulance berbarengan dengan cuaca buruk yang terjadi.

Meera tampak gelisah, ketika penumpang lain terdengar berisik dengan beberapa pramugari yang menenangkan ditengah situasi yang cukup mencekam.

"Raj, tatap aku. Kita akan baik-baik saja. Aku di sini, jangan takut, jangan takut."

Raj POV
_______

Lagi, dan lagi ini terjadi. Aku selalu menyesalinya, atau lebih tepatnya aku membenci situasi ini. Berkali-kali berusaha menghilangkan ketakutan, tapi tak pernah berhasil. Aku kesal. Jika seperti ini aku merasa paling lemah, bahkan aku seorang lelaki yang seharusnya melindungi wanita, apalagi dia, istriku. Kami berbanding terbalik, karna dia yang selalu melindungi, menjalani hal-hal yang seharusnya itu kewajiban ku, sebagai lelaki, dan seorang suami.

Ketika tau tiba-tiba cuaca memburuk, aku menatap luar jendela yang begitu mencekam. Jika biasanya melihat, dan mendengar dari daratan. Kini aku malah melihat yang jauh mengerikan, melihat dari atas awan. Beberapa waktu, aku berusaha menenangkan diri karna aku tau, tidak mungkin mengganggu waktunya yang tertidur lelap.

"Kau bisa, Raj." Beberapa kali itu ada dalam batinku, hingga kecemasan ku semakin meluas karna turbulance yang menimpa kami.

Tubuhku menjadi gemetar, nafasku tercekat, dan bagian dadaku juga mulai sakit. Aku sudah berusaha menahan, tapi tetap kecemasan itu datang, dan menjadi dampak buruk bagi tubuhku.

Aku masih berusaha pada kesadaran ini. Hingga menyadari Meera yang bangun, juga menatap Meera yang mulai menenangkan ku, dan aku sangat-sangat mendengar itu.

"Raj, tenangkan dirimu, oke? Jangan seperti ini. Kita akan baik-baik saja."

Aku mendengar suara gemetarnya. Tatapannya yang ketakutan, karna aku tau dia pun takut dengan situasi ini. Aku juga menatap orang-orang yang ada dalam pesawat ini. Beberapa memandang kami sedikit heran, dan mungkin itu karna aku yang seperti ini.

Rasa bersalah begitu mendominasi saat ini, karna aku yang begitu lemah, juga pikiran masa lalu yang tak bisa kulupakan begitu mengganggu ku. Kini, sebutlah aku lelaki lemah, dengan sejuta kekurangan yang begitu menyusahkan.

"M-Meera, maaf aku membuatmu malu.."

•••••

"Pantai ini selalu bagus, dan yang paling bagus! Humm, Raj patutnya kita harus lebih sering berkunjung ke sini, kan? Ahh ya, atau dalam setahun, setidaknya kita ke tempat ini dua kali. Tahun ini sudah, lalu tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya.. Semua pasti terasa begitu cepat."

"Sangat cepat, cepat sekali. Sampai mungkin aku sudah tidak ada di sisimu lagi, Meera." Dalam hati Raj berucap, menatap Meera dengan penuh duka.

"Raj, dengan senja yang menjadi saksi, berjanjilah untuk terus bersama, hingga terus kembali, seperti yang ku katakan tadi.."

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang