09 || Kerinduan

129 13 1
                                    

Satu hari setelah kejadian, kejadian di mana Meera dikejutkan oleh kabar suaminya yang terkapar. Meera menyesali ketidak hadirannya di sisi suaminya. Dia berjanji, akan selalu ada di titik terendah suaminya, kapanpun itu.

Tapi, Meera sendiri tidak tau, yang sebenar-benarnya titik terendah suaminya apa. Penyakit Raj menjadi titik rendah kehidupan pria itu.

"Aku tidak paham tentang saturasi. Tapi saturasi mu sangat berbeda dari yang aku cari di internet. Apa masih sesak, Raj? Ini ada apa, ya? Sudah lima hari, kan? Tapi belum juga stabil," ujar Meera gelisah. Merasa janggal dengan kondisi Raj yang lama pulihnya.

"Sudah tidak begitu. Mungkin karna aku sedang masa recovery? Jangan khawatir. Aku sudah merasa lebih baik dari hari kemarin. Mm, mungkin besok? Besok aku sudah boleh pulang. Maybe," ujar Raj. Padahal, ia tau tentang ini. Saturasi nya memang dibawah rata-rata dari orang yang sehat sempurna. Apalagi sedang kambuh. Akan lebih menurun dari biasanya.

"Aku tidak perduli kapannya kau pulang. Yang terpenting, aku mau kau sehat sempurna, tanpa merasakan sakit di bagian manapun!" kata Meera. Dari posisi duduknya, dia tengah membelai rambut suaminya yang mengembang karna tertekan bantal dalam posisi berbaring.

"Doakan aku agar cepat sehat,---

---Dan doakan aku agar penyakit ini juga tidak sering menyiksaku," tambahnya di dalam hati.

"Hampir seluruh doaku tercipta namamu!" kata Meera.

"Istriku yang manis!" Balas Raj dengan senyuman dimples-nya. Meera tertawa mendengarnya. Wajah itu seperti... sedang menggodanya.

Lantas dia membetulkan selimut putih yang membungkus tubuh Raj. Cuaca hari ini sedang dingin dikarenakan musim hujan sudah tiba. "Istirahatlah. Aku akan berjaga di sampingmu," katanya.

Raj menggeleng dengan tangan yang ia gunakan untuk memegang tangan Meera yang masih merapihkan selimut. "Kau juga harus tidur. Kemarin baru tiba di sini, lalu kau sibuk mengurusiku. Tidurmu kurang, kau pasti lelah."

"Sebenarnya begitu. Tapi tidak apa. Aku masih bisa menahannya. Anggaplah ini penebusan kesalahan karna membiarkanmu sendirian di sini, tak ada yang menemani."

Raj menghela nafas. Selalu itu yang dia bahas. Padahal ini salahnya yang tak memberitau Meera bagaimana kondisinya.

"Meera, ayolah, tidak perlu seperti itu. Aku paham kau tengah sibuk di sana. Lagian aku juga yang tidak menghubungi mu, kan?"

Meera menghela nafas. Dia mengecup tangan Raj yang terdapat infus di sampingnya. "Aku selalu merasa paling buruk ketika mengingat hari kemarin, saat tiba-tiba mengetahui kondisimu lewat Karan."

"Sudah, sudah,"

"Mau berbaring di sampingku? Sini!" Raj menepuk-nepuk sisi kosong di ranjang pesakitannya. Dia bergeser ke pinggir side rail agar lebih lega.

"Aku merindukan ini.." Lirih Meera ketika sudah mendapat kerinduan dari pelukan di baringan suaminya.

Raj tersenyum. Posisi mereka sama-sama miring, berhadapan hingga bisa menatap wajah dengan dekat, seperti tak ada jarak. "Aku merindukanmu," bisik Raj.

Menatap bibir cantik yang ia rindukan. Bibirnya mendekat, lalu melepaskan kerinduan yang sudah lama diantara mereka berdua.

"Bodoh! Jangan hanya karna ini saturasi mu menurun lagi." Umpat Meera, menepuk bibir Raj menggunakan telapaknya. Raj menggaruk tengkuknya, dan terkekeh. Dia rindu sekali dengan Meera yang selalu memarahinya seperti ini.

"Bibirmu manis."

Lupakan tegurannya tadi, kini Meera justru tersenyum mendengarnya. "As always," katanya, dengan cengirannya. Tingkat kepedean yang tinggi!

"Aku berharap besok sudah diperbolehkan pulang. Dengan begitu, kita bisa melakukan lebih dari ini." Menjauhkan wajahnya dari tangan yang ingin memukulnya.

"Tutup mulut kotormu! Kesehatan lebih penting!"

"Huhhh! Merindukan istri sendiri saja salah."

"Hey sudah. Kumohon istirahatlah. Peluk aku jika kau merasa kedinginan. Aku di sini," kata Meera dengan perkataan yang menghangatkan. Membuat pelukan dengan nyaman, merengkuh istrinya untuk masuk ke dalamnya.

"Kau harus tidur juga."

•••••

"Hahh! Akhirnya kembali ke rumah ini lagi." Helaan nafas Meera menjadi iringan mereka yang baru memasuki rumah. Aroma dari tempatnya memulai kisah hidup dengan Raj begitu melegakan hatinya.

Memandang sekeliling. Mendesah lelah. Baru melihat saja dia sudah membayangkan betapa lelahnya. Ditinggal dalam waktu seminggu, rumahnya sangat berbeda dari sebelumnya. Dan yang paling membuatnya kesal adalah wangi asap rokok yang paling mendominasi di sini.

Raj mengingkari janjinya!

Kepala nya menoleh cepat. Menatap seseorang dengan kaos putih, dengan rambut yang menyugar. Pria itu membawa beberapa barang yang sebelumnya ia pakai selama perawatan.

"Ada apa?"

"Merokok, hmm?" Raj mengatupkan bibirnya, lalu menyengir kuda.

"Ini yang menjadi alasanmu masuk rumah sakit. Akhirnya aku menemukan jawabannya. Satu minggu, Raj, satu minggu."

"Berapa rokok yang habis?" Tanya Meera. Tangannya mengambil penadah yang terdapat batang rokok yang tersisa, membuang isinya langsung ditempat sampah kecil yang ada di dekatnya.

"Satu."

"Bohong!" Tekannya.

"Tidak."

"Aku yakin lebih dari itu." Memincingkan mata, menatap mata Raj yang ia tak tau ada kebohongan atau tidak.

"Sungguh. Kalau kau tidak percaya, bisa bertanya pada Karan."

"Meera bukankah ini wajar?" Lanjut Raj berusaha membela diri.

"Maksudku, aku kesepian, dan banyak yang harus aku pikirkan. Maka dari itu aku melampiaskan dengan ini," kata Raj mencari pembenaran.

"Tidak ada kata wajar untuk perbuatan yang salah."

"Bahkan ketika aku baru sembuh. Kau masih mau memarahiku?" Ucaplah ini pembelaan Raj, dan pembujukkannya pada istrinya.

Meera menghela nafas. Mendekat pada Raj lalu membawa barang bawaan yang masih ditangan Raj itu untuk ditaruh disamping sofa. "Okey, kali ini saja. Jadi, aku mohon, setelah ini ketika kau merasa sudah tidak bisa menanggung pundakmu, jangan melampiaskannya ke hal buruk seperti ini. Ceritakan apapun yang ingin kau bagi. Deal?"

Raj mengangguk. Mencium kening istrinya lembut. "Kau memang yang terbaik."

"Sungguh?"

"Yap!"

"Rajjj!!" Pekik Meera tak terima. Tubuhnya diangkat menuju kamar.

Mulai saat ini hidupnya tidak akan tenang...

"Raj, Raj! Turunkan aku, turunkan aku!" Meera memberontak bak anak kecil. Setelah itu, tatapan tajam Meera berikan pada Raj yang ada di atasnya, ketika dia sudah diturunkan, dan direbahkan di ranjang.

"Kita baru saja pulang.. Aku lelah." Dengan tatapan tajam namun nada bicaranya terdengar permohonan.

Hening. Yang terdengar hanya bunyi detak jarum jam. Juga, deru nafas mereka yang tidak beraturan. Ini sudah cukup lama.

Tatapan mereka menusuk, satu sama lain menyiratkan kerinduan yang masih amat dalam. Raj menembus bola mata hazel istrinya yang tak berkedip sama sekali di depannya.

"Aku mencintaimu," kata Meera dengan suara lirih.

"I know. I love u too."

Detik, menit kemudian. Perasaan cinta, mulai diutarakan. Mereka menyatu dalam sucinya ikatan yang rasanya tak ingin dipisah selama-lamanya. Memadu kasih, dengan sadar, dan keinginan, juga lengkap dengan kerinduan yang sudah tak tertahankan, hingga sampai pada tujuan yang mereka inginkan.

•••••
TBC

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang