18 || Menyerah

151 24 0
                                        

"Kembali lagi."

"Apa yang harus aku lakukan setelah ini?" Mata kosong nya ada pada jalanan kota dari balik jendela mobil yang melaju ke rumahnya. Dia, Raj baru saja sampai di rumahnya setelah kurang lebih dua minggu memburuk keadaannya. Berdua, tidak lagi bertiga.

"Ini bahkan semakin parah."

"Itu sebabnya dia pergi."

"Jangan gampang menyimpulkan situasi, Raj." Raj menghela nafas. Raj memang tengah berusaha menerima semua dengan hatinya bahwa,

Meera meninggalkannya. Dokternya, Salman mengatakan istrinya itu pergi meninggalkan mereka tanpa mengatakan kata yang berharga. Kabar buruk. Bahkan lebih buruk dari kabar bahwa pengobatannya gagal terlebih menimbulkan komplikasi yang semakin buruk dari sebelumnya.

Kakinya berpijak. Turun dari mobil, dan mulai melangkah pada hidup selanjutnya yang tidak tau akan seperti apa.

"Ceritakan semuanya pada istrimu. Tentang keadaanmu, tentang buruknya kondisimu sebelumnya."

"Dia sudah tau," Masih tetap berjalan ke depan, mengabaikan omongan Dokternya yang kembali berujar, berada di kursi kemudi mobil di luar pagar.

"Hey! Dasar pasien tidak sopan." Mendengus. Raj, memutar bola matanya, dan sama sekali tak terganggu pada jalannya masuk ke dalam.

"Meera?"

"Meera ak—,"

Terhenti. Langkahnya terhenti ketika mengamati isi rumahnya. Pikirannya benar-benar terkontaminasi oleh hal buruk yang tidak tau benar atau tidaknya.

Raj kini berlari, melajukan kakinya menghalau rasa sesak yang sebenarnya belum membuatnya pulih seutuhnya. "Meera?!"

Benar-benar runtuh pertahanan yang Raj coba untuk kuatkan. Tidak ada Meera, tidak ada wanitanya di sini. Lututnya melemas, seperti tak ada otot yang menempel di sekitarnya. Matanya menatap suasana kamar yang kosong bahkan untuk sekedar menenangkan kesendiriannya. Adanya hanya kenangan yang tersisa.

Kejutan ini benar-benar berhasil untuk dirinya, bahkan jantungnya yang bereaksi lebih dari sebelumnya.

"Aku lelah."

"Maaf."

Bahkan air mata tidak bisa lagi mewakili betapa terpukulnya melihat kata-kata itu. Sebuah kertas yang baru saja dia temukan di atas meja samping ranjangnya. Jika Meera menyerah, lalu dia akan bertahan demi siapa?

Raj dulu berfikir seperti ini. Bahkan, dia siap jika ini akan terjadi. Namun setelah hubungan mereka membaik, dan Raj yang mulai menerima jalan hidupnya yang merundungnya, mengapa hal yang dulu diinginkannya justru terjadi saat dia sudah berdamai dengan keadaan?

"Setidaknya beri aku salam perpisahan."

"Dari dulu seharusnya tidak perlu menyembunyikan kebencianmu pada penyakitku. Maka dari itu aku akan siap jika ini terjadi. Setelah ini aku harus bagaimana, Meera? Aku seperti ditinggikan harapan, lalu jatuh begitu saja pada hasil nya sekarang."

"Seharusnya juga, aku memang tidak perlu berharap," Tawa kecil, yang diiringi isak tangis yang tak terbendung lagi. Tangannya memegang dada yang bahkan luka sayatan bedah itu belum sembuh sempurna. Dada yang organ di dalamnya sudah menyebabkan ini semua. Menyebabkan kekacauan ini ada.

"Untuk apa bertahan?"

"Setidaknya Dokter itu itu melepaskan alat bantu nafas ketika ujung maut sudah ada di depanku, kan?"

"Meera?" Masih dengan tawanya. Tawa, namun matanya terdapat bulir air mata.

"Tidakkah seharusnya aku menyerah saja kemarin?!"

"Dari awal, cinta memang salah. Ujungnya selalu seperti ini. Raj, Raj. Berfikir bahwa Tuhan mengubah hidup mu? Ujungnya tetap sendiri. Bodoh!"

"Tuhan, sesak sekali." Tangan nya berpacu, pada meja yang sudah kosong itu. Menahan beban dada yang semakin berat rasanya. Buram, pandangannya begitu buram. Bahkan barang-barang berserakan akibat ulahnya yang marah pada takdir nya yang berantakan itu tak jelas dipandang. Kamar penuh kenangan sudah tak terbayang pada Raj. Adanya hanya angan, akan kesedihan. Meera-nya mengkhianatinya. Meera meninggalkannya. Wanita itu bohong. Wanita itu tidak menepati janji-janjinya.

"Karan, tolong beritahu aku di mana istriku."

•••••

"Satu minggu lalu, Meera mengirim pesan kepadaku."

"Aku juga."

Raj menatap, pada teman-temannya yang datang ke rumahnya. Kepergian Meera benar-benar mengejutkan semuanya, dan tidak terduga.

Karan. Teman yang paling lama sekali menemani Meera. Meera bukan orang yang seperti ini, Karan berkata jika Meera tidak gampang menyerah, dan lepas tanggung jawab seperti kali ini. Lama berteman, sudah pasti mengetahui sifat kawan. Tidak ada Meera yang dulu. Semua hilang bersamaan dengan Meera yang tak tau di mana raga, serta jiwa. "Beritahu aku, bagaimana pesan itu."

[ Hi Kareena. Hari mu baik, kan? Aku harap tetap seperti itu. Aku hanya ingin mengirim salam perpisahan. Mungkin.. Mungkin aku akan lama di sana. Tempat di mana aku mendapat kebahagian yang benar-benar aku cari. Tempat kenyamanan dari semua masalah hidupku, dan kau pasti tau.. Salam untuk semuanya, karna aku berharap hubungan kita tetap baik. Oke, sampai jumpa lagi. ]

Tersenyum kecil. Raj menyerahkan kembali ponsel itu, lalu menunduk dengan mulut yang tertarik senyum. "Kebahagiaan, dan kenyamanan," ujarnya, kini dia kembali menatap teman-temannya. Tatapannya..ahh banyak sekali arti.

"Dua hal yang tidak dia dapat dari aku. Maka, tidak heran dengan keputusannya,"

"Kalian tau mengapa?" lanjutnya.

"Karna tangisan yang selalu dia dapat,"

"Penderitaan yang senantiasa di laluinya. Dan, dia bosan? Sepertinya memang begitu. Tapi," Menggantungkan ucapannya dengan pejaman matanya. Simpul senyumnya terlihat lagi. Meski dada seperti tertusuk ribuan duri. Raj berusaha, berusaha memandang hal ini bukan dari sisinya saja, melainkan istrinya juga.

"Diluar kekecewaan, dan kesedihan ini, aku cukup lega."

"Dia,
Sudah berhasil melalui, dan memilih pilihan yang tepat untuknya. Meera wanita yang berhak bahagia, bukan begitu? Dan kebahagiaannya bukan tercipta dari aku, sebagai suaminya."

"Aku... Hanya ingin bertemu dengannya sekali. Anggap itu sebagai salam perpisahan untuk kami berdua. Hanya itu, benar-benar itu." Meratapi kesedihan sendiri, berusaha untuk tegar sendiri. Setidaknya biarkan Raj juga memilih jalannya sendiri. Dia akan berdamai, walau susah untuk melepas segalanya, hidupnya.

"Ekhm.." Dehaman yang menjadi akhir dari air matanya yang tak mau di hentikan. Raj menatap ke empat temannya yang membisu tak tau harus apa.

"Aku akan istirahat. Kalian pulanglah, tidak apa-apa. Jika ada informaai mengenai Meera, segera beritau aku, ya?"

"Mengusir, hehh?" kata Saif.

Lagi-lagi tawa kecil, berusaha ada untuk mencairkan suasana. "Bukan begitu. Maksudku, kalian mungkin punya kegiatan lain.. Dan, hey, kalian lupa aku penyakitan?"

Plaak!

Tepukan di pipi cukup untuk menyadarkan seorang Raj dari kata-kata bodohnya. Karan pelakunya. "Perhatikan bicara mu, dasar pria bodoh."

"Kuatkan dirimu. Aku berjanji akan membawanya pulang," Bahu yang ia ingin lihat lebih tegap, agar Karan tetap melihat temannya ini semangat, bahkan lebih dari kata semangat.

"Cepat pulih, Raj."

"Kami akan mengabarkanmu."

"Dan kau juga jangan lupa mengabari kami, ya!" Raj menunduk dengan senyumannya. Mempunyai teman seperti mereka menjadi suatu hal yang diklsyukurinya. Selalu peduli padanya. Tali kini, batinnya terus berucap, berharap semua kembali satu, dan tertawa bersama. Namun akalnya menolak. Semua hanya ada dalam angannya. Tak akan ada lagi kebersamaan yang sempurna. Meera pergi, dan mungkin..

Yang lain juga akan pergi..
Menjauhinya.

•••••
TBC

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang