Malam itu, di ruang tamu yang hangat, Louis dan ayahnya Joe duduk bersama, terpaku pada layar televisi yang memancarkan adegan aksi yang mendebarkan dari film Eropa yang mereka tonton. Keheningan ruangan hanya terganggu oleh suara aksi di layar, tetapi percakapan pun mulai merayap ke udara.
"Louis, bisakah kau resign saja, dan bekerja di Silver Corp?" suara Joe terdengar tenang namun penuh makna.
Louis sedikit terkejut dengan tawaran tersebut. Mata mereka bertemu, saling menatap dengan penuh arti di baliknya. "Kenapa, Ayah?" tanya Louis dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kau 'kan saat ini bekerja di perusahaan orang lain, Ayahmu ini semakin tua," ucapnya sambil tersenyum getir. "Edgar juga dari dulu Ayah minta bekerja di Silver dia menolak dan malah memilih mengelola Cafe. Ayah ingin kau membantu Ayah di perusahaan," lanjut Joe dengan ekspresi penuh harap.
Louis merenung sejenak, mencoba memahami maksud di balik kata-kata sang ayah. Semua kenangan masa kecil bersama Joe terbayang begitu jelas dalam benaknya, menciptakan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Nanti aku pertimbangkan dulu, Ayah," jawab Louis pelan, mencoba merangkai jalan pikirannya.
"Ayah tunggu sampai besok, kau harus sudah memiliki jawaban yang pasti," pinta Joe dengan tegas.
"Iya," jawab Louis singkat, sebelum kembali terpaku pada layar televisi yang kini seakan menjadi latar belakang dari pertimbangannya.
Pagi yang cerah menyambut kedatangan Louis, semangatnya terpancar jelas saat ia bersiap-siap untuk pergi ke kantornya. Namun, tidak disangka Liam tiba-tiba muncul dengan taksi yang tiada diduga. Langkahnya yang cepat dan wajahnya yang penuh kecemasan langsung membuyarkan ketenangan Louis.
Ketika Liam turun dari taksi, ia segera bergegas membuka pagar rumah megah Louis, lalu berlari ke arah pintu utama sembari memanggil-manggil namanya, "Louis! Louis!"
Louis heran, ia bertanya, "Ada apa?"
Liam dengan napas terengah-engah menceritakan masalahnya, "Tolong aku, besok ayahku pulang dan tadi malam aku menabrak kambing. Bagian depan mobilku hancur!"
Tanpa menunggu jawaban, Liam melanjutkan, "Kebetulan, mobil kita sama persis. Bolehkah aku me-"
Louis langsung menyimpulkan, "Kau ingin meminjam mobilku agar ayahmu tak tahu bahwa mobilmu rusak, benar 'kan?"
"Sesuai dugaanmu. Tolong, ayahku kejam. Seperti ayahmu, kan?" Liam memohon.
Louis menggeleng cepat, "Jangan bawa-bawa Ayahku."
Liam mencoba merayu, "Aku bercanda. Tolong, pinjamkan mobilmu untuk beberapa hari saja."
"Tidak, nanti mobilku yang jadi korban selanjutnya."
Liam memohon lebih keras, "Aku tidak akan merusaknya, janji."
Louis akhirnya menyerah, "Baiklah, ini kuncinya. Jagalah Celine-ku dengan baik!"
Liam sambil tertawa, "Aku tidak ingin bertemu Celinemu yang pemarah itu."
"Itu nama mobilku," jelas Louis.
Liam tertawa bahagia, "Nama mobilmu Celine? Hahaha, kau sangat tergila-gila padanya."
"Sudahlah, antar aku ke kantor sekarang."
Liam merengek, "Kenapa memerintahku?"
Louis tersenyum, "Kuncinya ada padamu."
Liam tertegun sejenak, "Oh, benar juga."
Keduanya berjalan bersama ke kantor Louis, suasana kantor terasa hangat dan ramah dengan kehadiran mereka. Setelah itu, Liam berpisah untuk pergi ke kantornya sendiri sebagai seorang pengacara.
Sinar senja memerah di langit, menyambut Louis yang pulang dari kantor dengan taksi. Namun, di tengah perjalanan, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya: motor PCX 150 yang terparkir di rumah sudah lama tak tersentuh. Louis merencanakan untuk menggunakan motor itu keesokan pagi, namun ketika ia mencoba menyalakan mesinnya di halaman rumah, kegagalan membuatnya terdiam. Debu menempel di body motor yang telah lama tak digunakan, menyiratkan kelengangan waktu yang telah berlalu sejak Louis terakhir kali mengendarainya ketika masih duduk di bangku SMA.
"Dapatkah motor ini diperbaiki, ataukah lebih baik aku beli motor baru saja?" desis Louis dalam hati, sementara matanya menatap kehampaan mesin yang tak bersuara.
"Besok aku akan meminta petugas keamanan rumah membawanya ke bengkel." pikir Louis. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk meminta bantuan petugas keamanan rumah untuk membawa motornya ke bengkel esok.
Saat itu juga, setelah membersihkan diri dari lelah seharian, Louis duduk di meja kecil di sudut kamar sambil menjelajahi harga saham Silver. Namun, fokusnya terpecah, terhanyut dalam pikiran tentang Celine. Sebuah pertanyaan menghantui pikirannya, "Bagaimana caranya memulai segalanya dari nol?"
Di rumah lainnya yang cukup jauh, Celine duduk sendirian di meja makan dengan sebuah piring yang hampir kosong di depannya. Pikirannya melayang jauh, menyusuri lorong gelap kebelakang memori yang terpendam. "Bagaimana caranya memulai segalanya dari nol?" bisiknya, matanya memandang hampa ke dalam kekosongan yang tak terucap.
Namun, seketika kesadaran menyergap dirinya. "Aku tidak boleh memulai semuanya. Dia yang harus memulainya. Jika aku yang memulainya harga diriku akan terluka," gumam Celine, wajahnya mencerminkan kebingungan dan kekecewaan yang sulit disamarkan. "Hidupku tak pernah mudah," lanjutnya sambil membuang nafas berat, membenamkan diri dalam rasa frustasi yang tak terungkap.
Ketika malam mulai menjelang dan bayang-bayang menyusup masuk, Louis masih terdiam di meja dengan pikiran yang terbang entah ke mana. Dia mencari jawaban, sepotong kepastian di tengah keraguan yang menghantuinya. Sementara itu, Celine masih duduk sendiri di meja makan, menatap gelap yang semakin dalam di hadapannya, mencoba mengurai benang kusut yang mengelilingi hatinya.
Tungguin bab selanjutnyaa yaaa
okee!Email : author.sss1@gmail.com
KAMU SEDANG MEMBACA
Reality:1022
Lãng mạn[END] Jika anda menyukai cerita romansa yang cukup realistis, anda harus membaca cerita ini. Sinopsis : Kirana Franceline, atau yang akrab disapa Celine, baru saja kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya di University of Illinois, Chica...