Dimalam itu Louis yang duduk termenung di atas kasur, dihantui oleh rasa kesedihan dan kekesalan terhadap sang ayah. Namun, di tengah kegelisahan itu, suara lembut dari telepon mengusik keheningan. "Bu Sabrina" terpampang di layar, menggugah hati Louis yang ragu untuk menjawab. Akhirnya, dengan langkah berat, Louis meraih telepon itu.
"Halo, Nak Louis," sapa suara lembut di ujung telepon.
"Halo, Bu," sahut Louis dengan suara serak.
Permintaan bantuan dari Sabrina, ibu dari Celine, membuat hati Louis berdesir. Meskipun terombang-ambing oleh konflik dalam dirinya, rasa kebaikan selalu menguatkan tekadnya. "Saya segera datang, Bu," janji Louis dengan suara tegas.
Terima kasih hangat dari Sabrina menerpa hati Louis, menguatkan langkahnya dalam menghadapi perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. "Ini karena Celine yang tidak ingin pulang dengan taksi," jelas Sabrina.
"Iya, tidak masalah Bu," jawab Louis dengan lugas.
Dengan telepon yang sudah terputus, Louis bangkit dari kasurnya dengan langkah pasti. Di ruang keluarga yang sunyi, bayangan keluarganya yang tidak ada membuatnya merenung sejenak. Mereka pasti berkumpul di dapur untuk makan malam, pikir Louis sambil tersenyum getir.
Tanpa ragu, Louis melangkah dengan langkah mantap menuju mobilnya. Suara mesin yang hidup menjadi saksi diam atas tekadnya untuk bergerak.
Di kala suara mesin mobil menggema hingga meresap ke dalam dapur, Sarah tersadar bahwa anak bungsunya telah berlalu. Kecemasan melintas singkat di benaknya, namun keyakinan bahwa si bungsu takkan pergi begitu saja meski beradu mulut dengan sang ayah menguatkan hatinya.
Sementara itu, di depan pintu gerbang rumah sakit, Celine dan Ibunya berdiri menanti Louis. Dalam genggaman Sabrina terbungkus resep obat dari dokter, siap untuk dibawa pulang. Telapak tangan Celine telah terbebas dari perban, luka semakin bertutur cerita kesembuhan namun meminta waktu untuk pulih sepenuhnya. Antusiasme merayapi hati Celine, mengetahui bahwa kali ini pulang akan diiringi oleh Louis, bukan mengarungi jalanan bersama taksi yang steril.
"Resep ini harus diminum, ya, nanti ibu akan berikan petunjuk lebih lanjut mengenai jadwal minumnya."
"Baik, Bu."
Setelah menanti selama setengah jam, Louis tiba.
"Lin, mari naik."
"Iya, Bu."
Kendati dalam mobil, hening menemani mereka. Sabrina memecah kesunyian dengan lembut, "Maaf, ya, Nak Louis, Ibu tahu ini merepotkanmu."
"Tidak mengapa, Bu, saya senang diajak terlibat dalam rencana yang sedang saya usahakan."
Celine merasakan sentuhan rencana itu menyentuh dirinya, namun ragu masih menghiasi pikirannya. Percakapan antara Louis dan Ibunya mulai menarik perhatiannya.
"Rencana seperti apa itu, Nak?"
"Hahaha, rencana kecil, Bu."
"Hahaha, anak muda sekarang, sungguh."
"Mungkin suatu saat Bu Sabrina lebih sering membutuhkan bantuan saya."
"Hahaha, apakah tidak masalah kamu membantu saya terus?"
"Aku senang diajak menjadi bantuan."
"Apakah tujuanmu?" tanya Celine tiba-tiba, melangkah dari keheningan dirinya.
"Tujuanku ada di lingkungan sekitar," jawab Louis dengan senyum misterius.
"Aneh! Maksudku, apa yang kau cari hingga merayu perhatian Ibumu dan mengawali kedekatan ini?" Ucap Celine, matanya berbinar-binar.
"Hahaha, Lin, bukan mencari perhatian. Bu Sabrina dan aku sudah lama akrab. Bukankah begitu, Bu?"
"Iya, benar sekali."
Celine diam, mata mengirimkan sinyal tajam ditimpali senyum penuh misteri Louis.
Setelah perjalanan yang penuh ketegangan, langit malam yang penuh bintang menyambut kedatangan mereka di rumah keluarga Celine. Cahaya keemasan mentari memantulkan kilauan di jendela-jendela rumah yang teguh berdiri di antara pepohonan yang merayap gemetar oleh desir angin. Louis dengan lembut mematikan mesin mobilnya, sementara Sabrina bersuara lembut, "Louis, tolonglah bantu Celine keluar dari mobil ya."
Celine, dengan wajah yang tetap bersahaja, menjawab dengan nada sedikit kasar, "Bu, aku mampu melakukannya sendiri!."
Namun sabrina menegaskan, "Sudahlah, turutilah permintaan ibumu, sayang."
Tak ada lagi kata yang diucapkan oleh Celine, namun matanya yang teduh mengisyaratkan bahwa dirinya menerima bantuan dari Louis. Dengan lembut, Louis membuka pintu mobil untuknya dan meraih tangan Celine dengan penuh kelembutan, membantunya untuk berdiri dengan anggun dari kursi mobil.
"Kenapa kau ingin membantuku?" bisik Celine.
Louis tersenyum lembut, "Karena itu adalah permintaan dari Bu Sabrina, Lin."
Celine menatapnya dengan tatapan yang penuh misteri, "Jangan berpura-pura peduli denganku. Aku tahu kau tak peduli."
Louis hanya tersenyum dan membiarkan senyumnya menguatkan kenyataan yang diutarakan hatinya. "Namun, kenyataannya dulu kau yang meminta agar aku akrab dengan ibumu."
Celine terdiam sejenak, matanya yang dipenuhi kedamaian tampak mencerminkan kegundahan yang dalam. "Tidak mungkin," bisiknya lirih.
Dengan lembut, Louis membalas, "Namun, itulah kenyataannya, Lin."
Perasaan yang tak terungkapkan memenuhi ruang di antara mereka, seperti aroma bunga yang terbawa oleh tiupan angin senja. Celine menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan getaran emosinya di balik jendela yang memantulkan warna senja yang mempesona. "Jangan kembali ke sini lagi." ucapnya pelan.
Louis hanya diam, tak ada kata yang bisa melukiskan perasaannya yang berkobaran di dalam dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reality:1022
Romansa[END] Jika anda menyukai cerita romansa yang cukup realistis, anda harus membaca cerita ini. Sinopsis : Kirana Franceline, atau yang akrab disapa Celine, baru saja kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya di University of Illinois, Chica...