𝟐𝟕. 𝐀𝐫𝐭 𝐞𝐱𝐡𝐢𝐛𝐢𝐭𝐢𝐨𝐧

47 42 13
                                    

Saat ini, Louis berada di kamar sahabatnya, Liam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat ini, Louis berada di kamar sahabatnya, Liam. Udara sore yang sejuk menerobos melalui jendela yang setengah terbuka. Di meja penuh kertas dan berkas, Liam duduk dengan serius, mempelajari dokumen kasus yang sedang ia tangani.

Louis menarik napas dalam dan mulai berbicara dengan nada ragu, "Jadi, tadi pagi aku datang ke rumah Celine dan memberitahunya bahwa ayahku mengizinkan aku untuk pindah agama, dan lalu aku pulang"

Liam mengangkat alis, sedikit terkejut sambil tetap fokus pada berkas-berkas di hadapannya. "Hanya begitu?"

Louis mengangguk tanpa kata, merasa sedikit tidak nyaman dengan betapa pragmatis tindakannya. Liam menutup sebuah map dengan keras, tatapannya melunak tetapi masih memperlihatkan ketidakpahaman. "Aku benar-benar bingung denganmu, Louis. Kau ini sama sekali tidak romantis. Sepatutnya kau menunggu momen yang tepat untuk melamarnya secara tiba-tiba, seperti pria sejati di film-film."

Louis tertawa kecil, menyadari ironi dalam nasihat Liam. "Ini bukan film, Liam."

"Memang bukan, tapi kau setidaknya bisa membuatnya sedikit lebih romantis!" kata Liam dengan nada teguran yang mesra.

Louis berpikir sejenak sebelum menjawab, "Itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah kau harus membantuku menyiapkan segala hal untuk pernikahanku."

Liam tersenyum lebar, sedikit lega karena sahabatnya masih memiliki akal sehat. "Sebelum itu, mungkin lebih baik kau dan Celine bertunangan dulu. Akan lebih mudah diterima oleh Bu Sabrina jika langkahnya tidak terlalu mendadak."

Louis mengangguk penuh syukur. "Benar juga, itu ide bagus! Terima kasih, Liam."

Mata Liam kembali fokus pada dokumen di bawahnya, tatapannya jadi serius lagi. "Ngomong-ngomong, kasus ini tentang seorang wanita yang membunuh pacarnya karena ditinggalkan."

Louis merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Bayangan Celine yang kadang-kadang keras hati muncul dalam benaknya, dan perasaan takut menyelimuti dirinya. "Wanita itu membunuh pacarnya?" nadanya gemetar.

Liam memperhatikannya, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. "Iya, ada apa, Louis?"

Louis cepat-cepat berusaha menormalkan ekspresinya, menutupi kekhawatirannya yang tiba-tiba. "T-Tidak ada apa-apa." katanya dengan senyum yang dipaksakan.

Liam menghela napas, tangannya kembali memeriksa berkas di mejanya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang mengganggu sahabatnya.

Liam tengah asyik bekerja ketika ponselnya tiba-tiba bergetar, menampilkan nama "Mahardika" di layar. Tanpa ragu, dia segera mengangkatnya.

"Halo," sapa Liam dengan tenang.

"Halo, Liam. Ada informasi baru mengenai kasus yang kita tangani," suara Mahardika terdengar serius.

"Apa itu?" tanya Liam, matanya kembali tertuju pada layar komputer di depannya.

"Sebelumnya korban pernah merencanakan pembunuhan terhadap pelaku, tetapi gagal."

Reality:1022 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang