22. matahari.

835 112 10
                                    


~Happy Reading~

Author POV.

BIBIR Adara mencebik kesal mengingat kejadian beberapa menit lalu. Tanpa berniat menoleh, Adara langsung beranjak meninggalkan Gibran yang masih menikmati sarapannya. Mata tajam Gibran melirik Adara, segera ia menghabiskan sarapannya dan langsung menyusul gadisnya yang tengah merajuk.

"Ayo cepetan, lama banget sih," gerutu Adara yang sudah mengenakan helm.

Tanpa bicara, Gibran langsung menaiki motornya, memakai helm dan menyalakan mesin. Baru saja tangannya terulur untuk membantu Adara, tapi gadis itu sudah terlebih dahulu menaiki motornya.

Gibran menghela napasnya, Adara benar-benar merajuk. Tanpa sepatah kata pun, Gibran melajukan motornya, membelah jalan raya yang lengang dari berbagai kepadatan kendaraan.

♧♧♧

Adara tak bisa menyembunyikan rasa senangnya begitu kakinya berdiri di tempat yang menurutnya adalah tempat penuh keajaiban. Taman bermain.

Tanpa basa basi, Adara langsung berlari layaknya anak kecil, tak memedulikan Gibran yang menatapnya sambil terkekeh.

"Pelan-pelan Dar, jangan lari, nanti jatoh!" Gibran memperingatkan ketika gadis itu hampir tersandung tali sepatunya sendiri.

Adara kembali menatap kesal pada Gibran. Di matanya, pagi ini Gibran adalah manusia paling menyebalkan. Namun, Gibran tak peduli tatapan kesal Adara. Gibran berjalan mendekatinya dan berjongkok di hadapan gadis itu, menalikan sepatunya dengan benar. Setelah dipastikan terikat kencang, Gibran berdiri. Mata tajam bak elangnya menatap Adara teduh nan lembut, membuat Adara terlena olehnya. Seketika amarah yang menguasainya meluap, mood-nya yang buruk langsung membalk. "Lain kali hati-hati, nanti jatoh." Gibran tersenyum lembut.

"Kamu bakal biarin aku jatoh?" pertanyaan itu spontan keluar dari mulutnya.

"Never, selama gue di sisi lo, bakal gue pastiin lo baik-baik aja." Gibran mengelus puncak kepala Adara dan menggenggam tangan gadis itu, menariknya ke dalam taman bermain.

Kaki kecil Adara berhenti ketika dahinya menubruk sesuatu yang keras, kepalanya mendongak mendapati Gibran tengah menatapnya heran. "Mikirin apa sih? Lo dari tadi kayaknya nggak fokus." Mikirin kamu!" jawab Adara dalam hatinya.

Adara hanya bisa menyengir, bingung harus menjawab apa. la masih memiliki gengsi untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan di depan laki-laki yang berstatus kekasihnya itu.

"Gue ngajak lo ke sini buat hiburan, bukan buat ngelamun." Gibran kembali berbicara dengan nada cuek nan dingin miliknya.

Gibran mencubit pipi gadisnya gemas.

"Ish, kamu itu ya aku lagi serius malah becanda."

"Pokoknya hari ini kamu harus turutin semua keinginan aku, kamu harus nemenin aku seharian," ujar Adara.

"As you wish Princess, my pleasure." Gibran mengusap kepala Adara, kemudian memakaikan topinya pada Adara. "Biar nggak kepanasan," kata Gibran.

Gibran kembali menggenggam tangan Adara, keduanya masuk ke dalam taman bermain dengan perasaan senang.

Dalam hati, Adara benar-benar bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan Gibran sebagai pemberi warna yang baru dalam hidupnya. Kini hidupnya benar-benar terasa manis. Tuhan memang adil, selalu memberikan kebahagiaan setelah kesakitan.

Hari ini saja, Adara harap waktu tak akan berjalan cepat.

♧♧♧

Langit biru terlihat sangat indah, seakan menggambarkan apa yang kini Adara rasakan. Dari tadi senyumnya tak pudar, tak peduli semenyengat apa pun sinar matahari menerpa kulitnya.

Kini gadis itu tengah duduk di bawah pohon sambil menunggu kekasihnya. Tak lama, Gibran muncul sambil memegang dua cone eskrim di tangannya.

"Udah puas main di sini?" Gibran berdiri di hadapan Adara, menghalau sinar matahari agar tak mengenai gadisnya. Walaupun sebenarnya percuma karena tubuh gadis itu sudah berkeringat.

Adara tersenyum semakin lebar, ia mengangguk sebagai jawaban. Tangannya tergerak mengambil satu cone es krim rasa cokelat favoritnya."Terima kasih."

Gibran mengangguk, tangannya mengelus puncak kepala Adara yang sepertinya akan menjadi salah satu kegiatan favoritnya. Masih di posisi yang sama, Gibran memakan es krimnya berhadapan dengan Adara.

"Kenapa nggak duduk?"

"Biar lo nggak kepanasan."

Adara menarik tangan Gibran agar duduk di sampingnya. "Gak apa-apa, matahari itu kehidupan, matahari memberi harapan," ucap Adara sambil tersenyum lebar.

Gibran tahu, di balik senyum Adara, di balik tawanya dan di balik keceriaannya, ada luka tersembunyi dan sulit terobati.

Di bawah sinar matahari yang begitu menyengat, Gibran berjanji melindungi Adara apa pun keadaannya. akan mencari penawar luka yang sulit terobati. Dan ia juga berjanji, akan melindungu Adara apa pun keadaanya.

♧♧♧

Kini Adara dan Gibran tengah dalam perjalanan ke lainya yang Adara sendiri pun tak tahu tempat mana yang akan ia tuju. la hanya mengikuti ke mana Gibran membawanya, la yakin lelaki ini tak mungkin menyakitinya.

"Kita mau ke mana?" tanya Adara akhirnya, merasa bosan dengan perjalanan yang tanpa pembicaraan. Dagunya ia letakkan di atas pundak Gibran, wajahnya menatap Gibran dari samping.

Gibran ingin sekali menolehkan wajahnya, menatap Adara seperti yang gadis itu lakukan padanya, namun ia harus berusaha tak terpengaruh sedikit pun. Karena jika la sampai terpengaruh, ia yakin keduanya akan berakhir di rumah sakit.

Gibran lelaki normal. Dan, posisi Adara saat ini benar-benar membuat jantungnya menggila.

"Kamu puasa ngomong? Atau mendadak sariawan?" tanya Adara retoris, hal yang paling tidak ia sukai adalah ketika berbicara dengan Gibran namun laki-laki itu bersikap seakan tak menganggap keberadaannya.

"Aku lagi bawa motor Dar, bahaya," jawab Gibran lembut, tangan kirinya mengusap lembut lengan Adara yang melingkar di pinggangnya. Sebut saja Adara lemah, karena setiap perlakuan lembut Gibran mampu meluapkan segala emosinya. Benar kata orang, cinta itu buta.

~Bersambung~

Banyak kata kata salah, mohon di maklumi. MAKASIH.

My Bodyguard (GIDARA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang