Epilog.

26 13 2
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Dua tahun berlalu, menginjak tahun 2028 masa-masa paling terberat, Sabiru tidak menetap di Sumedang, lelaki jangkung itu kini bekerja di suatu kantor, tempat nya adalah kota Jakarta.

Dalam dua tahun terakhir dia adalah budak korporat, dia siap mengabdikan diri nya kepada tempat kerja nya, walau diterjang halangan apapun.

Sabiru meregangkan otot-otot tubuh nya di kursi, dia menatap layar monitor dengan perasaan lelah, sesekali dia menatap jari nya yang tersemat cincin tunangan.

Ngomong-ngomong, Sabiru bukan lah lelaki single, di usia nya yang mulai tua ini dia memutuskan untuk bertunangan dengan perempuan cantik yang satu tahun lalu bertemu dengan nya di kantor nya, lebih tepatnya di atas gedung pencakar langit.

Singkat saja, tuhan mempertemukan mereka sebab garis takdir mereka berkaitan, Sabiru menemukan kekasih nya ketika saat itu kekasih nya ingin melakukan percobaan bunuh diri. Bisa ditebak Sabiru mencegah nya, dan entah mengapa tuhan tidak sama sekali menjauhi pertemuan mereka.

Maka dari itu Sabiru mulai merasakan ada nya jatuh cinta lagi, semuanya dimulai.

Di sela-sela dirinya mengingat sang Kekasih, ponsel nya bergetar terlihat id call, Laily kakak perempuan nya. Sabiru segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?" suara Sabiru menyapa terlebih dahulu.

"Ibun ... Pulang, Sabiru" suara Laily bergetar mengatakan nya, seolah menahan tangis.

"Pulang ke rumah, dek"

Kematian tidak bisa diprediksi, kita sebagai manusia hanya bisa menerima apa yang tuhan lakukan, sesuai dengan awal, setiap makhluk hidup pasti akan kembali.

Itulah alasan Sabiru bergegas mengambil cuti untuk menghadiri prosesi pemakaman Catra sang Ibunda, perempuan pertama yang dia junjung setinggi langit.

Catra dimakamkan di samping makam Sehan sang Ayah, satu tahun lalu sang Ayah menyusul tuhan terlebih dahulu, dan kini Catra menyusul Sehan.

Sabiru menunduk dan menatap kedua figura Sehan dan Catra, tentu saja lelaki jangkung itu menangis. Siapa yang tidak menangis? Walaupun diri nya sudah dewasa, Sabiru lemah jika berurusan dengan Ayah dan Ibunda.

Selesai dengan urusan pemakaman, Sabiru pulang ke tempat rumah nya yang dulu, tempat ternyaman nya, sedari kecil sampai dewasa.

Rumah itu masih bagus, bersih, Sabiru dengan langkah lunglai berjalan menuju kamar nya, dengan perasaan lelah, dia menyalakan saklar lampu kamar.

Suasana kamar nya persis dengan beberapa tahun lalu ketika dia meninggalkan rumah ini untuk izin bekerja di Jakarta, ah rasanya teringat musik, End of Beginning.

Sabiru menaruh tas yang berisikan beberapa pakaian nya, dan berjalan menuju meja belajar nya. Itu sudah berdebu, banyak sticky note yang masih setia menempel, lagi-lagi terlintas mengingat Renjana.

Sabiru mengambil kursi dan segera duduk, tangan nya berselancar seolah mencari sesuatu. Tiba-tiba mata nya beralih kepada sebuah kertas putih yang masih tertata rapih terselip dalam susunan dokumen.

Sabiru menarik kertas putih tersebut, dan mulai membaca nya.

Aku yakin tuhan tidak pernah tidur, dan aku juga yakin bahwa tuhan akan selalu ada untuk saat ini, memang proses nya cukup sulit tapi semuanya akan baik-baik saja. Bagi ku melalui Insan nya saja itu sudah lebih dari cukup, semoga di masa depan bahagia, dan suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.

Tuhan terimakasih, semoga kita bisa bertemu di kesempatan yang lebih baik lagi.

Rasanya ingatan nya jatuh kepada 5 tahun lalu ketika Renjana dan diri nya yang masih muda bercanda di meja belajar ini, mengingat Renjana membacakan sticky note yang tertempel, serta Renjana yang meminta Sabiru menuliskan sebuah surat.

Tiap detik, menit, dan bahkan jam, lelaki itu habiskan untuk menatap kertas putih dengan tulisan-tulisan yang bahkan dia tidak mengerti apa isi nya.

Terlalu rumit jika Tanggara Sabiru untuk mengerti apa kalimat tersebut? Dengan kesal tangan nya meraih kertas putih itu dan meremas nya dengan penuh frustasi kemudian Sabiru lempar ke sembarang arah.

"Sialan, bikin gue gila aja nih surat" umpat Sabiru usai melempar kertas tersebut ke sembarang arah, perasaan lega telah datang pada nya membuat Sabiru menghembuskan nafas nya pelan.

Kertas putih yang dia remas dan lempar adalah tidak lain kabar dari Renjana 5 tahun yang lalu. Iya 5 tahun yang lalu.

Terkadang frustasi mengingat nya, kenapa Sabiru selalu berpusat pada Renjana. Apa yang spesial dengan Renjana? Kenapa perasaan ini tidak kunjung hilang, walaupun Sabiru berusaha mencintai perempuan lain.

Usai melempar kertas tersebut, Sabiru menghela nafas nya lega, lelaki itu bersandar pada kursi. Mata nya melirik ke arah kertas yang dia remas membentuk bola, diam-diam Sabiru menyunggingkan senyuman.

Memang sakit, tapi saat itu Renjana pernah ada di hidup nya.

"Semoga kita bertemu di kesempatan yang lebih baik lagi"

— End of Epilogue.

Renjana Abadi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang