13

6 2 0
                                    

"Tinggal di luar negeri selama 5 tahun, benar-benar membuatmu terlihat berbeda. Dulu kamu masih setinggi bahu ku, sekarang aku yang setinggi bahu mu. Berapa tinggi badan mu tuan muda Isidor?"

Tuan Harrison berkata dengan jahil di tiga kata terakhir.
Senyuman lebar nan usil hadir pada ekspresi wajahnya yang ceria.

"6 kaki 3 inchi, paman."
Jawab Isidor dengan senyum canggung. (191 cm)

Matanya tidak lepas dari jalan, saat ini dia mengendarai mobil menuju gereja setelah menjemput paman Harrison-nya di rumah.

Tuan Harrison mengangguk-angguk, "Kamu benar-benar tumbuh dengan baik. Jaga kesehatan mu dengan benar, jangan terlalu stres."

Isidor: "Bagaimana bisa? Setiap hari ibu dan kakek terus berbicara seputar ini dan itu. Mereka juga terus bersikeras bila aku akan mewarisi keluarga suatu hari nanti."

"Oh?" Alis tuan Harrison naik.
Dia tersenyum jahil, "Kenapa? Kamu tidak mau jadi pewaris? Kakekmu akan membunuhmu jika begitu."

"Bukan begitu!" Isidor berseru.
"Argh sudahlah ... Jangan membicarakan hal itu. Aku akan kesal jika mengingatnya."

Mereka sudah sampai di gereja, dan Isidor segera mencari tempat parkir.

Mr. Harrison tersenyum jahil. "Isi, bagaimana pun tetaplah ingat jika keluarga mu akan selalu menyayangimu dan menginginkan yang terbaik bagimu."

Mobil berhenti, dan Isidor membuka kunci pintu. Dia meraih sabuk pengaman untuk membuka ikatan, seraya berkata: "Aku paham. Ayo sekarang kita keluar."

"Hoho, sungguh tidak dirasa sudah sampai saja." Mr. Harrison membuka sabuk pengamannya dan ikut keluar bersama Isidor.

****

Pada hari Minggu, gereja selalu dipadati dengan orang-orang untuk berdoa.
Mereka yang berada dalam kesulitan, kesenangan, dan juga penuh ketaatan semata, berdoa dengan khusyuk mengikuti acara berdoa.

Isidor duduk bersebelahan dengan pamannya, dia terlihat menutup matanya seperti jemaat lainnya. Namun pikirannya dipenuhi dengan berbagai hal, yang membuatnya merasa susah untuk berkonsentrasi.

Dia membuka matanya, dan melirik ke samping di mana pamannya duduk.
Pria itu juga terlihat khusyuk dan tenggelam dalam doanya.

Isidor melirik jam di tangannya, dan sesi berdoa akan selesai sebentar lagi.

Beberapa saat kemudian setelah semua sesi ibadah berakhir, Isidor dan pamannya mulai berjalan keluar dari gedung gereja.

Tiba di luar gedung gereja, Isidor dan pamannya berhenti di samping mobil. Sebelum keduanya masuk ke dalam, paman Harrison mengambil sesuatu di saku celananya dan menawarkannya pada Isidor.

Dia mengambil satu batang, menggigitnya dan menawarkan pada Isidor. "Mau satu?"

Isidor tanpa ragu-ragu mengambil satu batang rokok. "Terima kasih."

Saat dia meletakkan gulungan tembakau itu di bibirnya, barulah dia sadar jika dia tidak memiliki korek api.

Dia beralih pada paman Harrison, "Paman pinjamkan aku sebentar." Ujarnya seraya menunjuk pada benda di tangan pamannya.

Tuan Harrison sudah menyalakan rokoknya, dia kemudian bergerak menyalakan rokok di mulut Isidor tanpa diduga-duga dengan korek api di tangannya.

Isidor sedikit terkejut, namun dia bersikap tenang. Dia tidak mengatakan apa-apa dan menghembuskan asap.

Mereka bersandar di mobil, dan menyaksikan satu-persatu kendaraan keluar dari tempat parkiran.
Isidor memarkirkan mobilnya di ujung, sehingga dia tidak akan menggangu jalan bagi yang lain.

"Aku sudah dengar, lho."

Tuan Harrison tiba-tiba berkata, dan membuat Isidor meliriknya dari samping.

Pria tua itu mengambil rokok di mulutnya, lalu berkata: "Ibumu sudah mengatakan semuanya. Jadi kapan kamu akan pergi ke Bucks?"

Isidor: "Besok. Aku mendapatkan kabar jika pihak terkait setuju untuk memasukkan ku sesegera mungkin ke sana."

Ekspresi wajahnya terlihat sedikit buruk, tuan Harrison tebak jika dia tengah kesal karena hal ini.

"Hmm. Soal mereka, apa sudah tahu Heins itu seperti apa?"
Ujar tuan Harrison.

Isidor menggeleng, "Aku menghabiskan masa mudaku tanpa pembelajaran sosial paman. Aku sudah tahu mengenai mereka, namun aku tidak pernah melihat mereka."

Isidor memercikkan abu rokoknya.
"Ibu tidak pernah membawaku ketika ada rapat dengan pemimpin vasal."

Tuan Harrison membuang puntung rokoknya, dan menginjak itu sampai padam. "Ibumu sudah melindungi kamu sampai sebesar ini, Isi. Anggaplah ini sebagai balas budi kamu kepadanya."

Dia mengambil puntung rokok dan membuangnya ke tempat sampah terdekat.

Isidor tersenyum, "Benar. Bagaimana pun aku harus membalas semua kebaikan yang dilimpahkan padaku sampai saat ini dan seterusnya."

Dia berkata dengan wajah menunduk dan suaranya sedikit sendu.
Tuan Harrison melihatnya.

"Aku—meski aku selalu berkata akan menjadi kepala keluarga di masa depan, dan bertingkah seolah-olah aku menginginkannya ... Sebenarnya aku tidak mau, paman."
Rokok di tangannya dibiarkan jatuh dan dia menginjak itu.

"Ibu, kakek, nenek, paman, dan bahkan mendiang ayahku ... Semuanya berkata jika aku akan mewarisi Rutherford. Orang-orang juga seperti itu.
Mereka menganggap itu hal yang bagus, sebagai putra tunggal dan yang menjadi 'satu-satunya' untuk meneruskan keluarga dan mempertahankan Aragon di masa depan. Namun entah mengapa ... Rasanya, seperti aku tengah dicekik oleh sesuatu."

Tuan Harrison kembali berdiri di sampingnya, dia mendengarkan.

"Tidak ada yang pernah bertanya mengenai hal yang aku ingin lakukan di masa depan. Tapi aku sadar, jika aku harus membalas kebaikan semua orang selama ini."

Dia melihat pada tuan Harrison, dan tersenyum.

"Aku pernah meminta untuk tidak mengikuti pembelajaran sebagai pewaris di usia dini, karena tahu jika aku tidak akan mendapatkan pengalaman menikmati masa kecil dan remajaku dengan mudah. Saat itu kakek menyetujuinya, karena suatu hari nanti bisa menggunakannya sebagai alasan jika aku ingin mangkir atau keluar.
Aku sudah tahu, karena itu aku bersikap seolah-olah aku acuh tak acuh dan urakan di depan semua orang. Bahkan sampai menimbulkan konflik antara aku dan para tuan muda lainnya."
Dia tertawa kecil di akhir kalimat.

Isidor menegakkan punggungnya, dia memasukkan tangannya ke saku celana dan melihat ke atas.

Langit terlihat cerah dengan warna birunya dan awan yang terlihat seperti permen kapas di dunia anak-anak.

Mata sendu miliknya, kini berubah seiring dengan ekspresinya yang juga terlihat kembali seperti biasa.

Dia tersenyum ceria kepada tuan Harrison dan berkata: "Paman, tolong rahasiakan perkataanku tadi. Anggap saja aku tidak pernah mengucapkannya. Paman setuju 'kan?"
Dia juga meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, dan mengedipkan mata dengan jahil.

Tuan Harrison yang terlihat sendu, kembali berekspresi hangat.
Dia mengangguk, "Ayo. Sudah waktunya untuk pulang. Biar paman bantu kamu berkemas untuk besok."

Isidor mengangguk. Dia berjalan ke sisi pintu pengemudi dan membukanya, "Kebetulan ibu juga ingin paman mampir dulu ke rumah."

Tuan Harrison: "Kalau begitu ayo."

****

HOUSE OF NOBLE:
Symphony of Orchid
By yourtrevi
Chapter 13 (Arc 2) : END
To Be Continued...

****

HOUSE OF NOBLE: The Orchid's Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang