Acara Wisuda

11 4 2
                                    

Extra Part :
__________

Setelah menginap selama dua hari, akhirnya acara wisuda tiba.

Semua orang terlihat begitu gembira, bahkan ada yang mengambil beberapa gambar dengan pose berbeda. Ah, sungguh indah pemandangan ini.

Di sini semua orang terlihat akur dan sangat tenang. Semua acara berjalan dengan lancar, hingga pemindahan tali toga selesai.

Di sisi lain, setelah acara selesai, Mia beberapa kali mengambil gambar bersama kedua orang tuanya dan tentu saudara-saudaranya.

Begitupula dengan Arjun. Ternyata bukan hanya Arjun yang lucu, kedua orang tuanya pun sama seperti Arjun. Baik dan sangat ramah.

"Nak Sea, terima kasih banyak udah mau menjadi teman anak kami yang rada hilang otaknya sebelah ini," ucap Ibu Arjun.

"Eh, Mamak. Kalau otak Ajun ilang sebelah, mana mungkin Ajun bisa sarjana," sela Arjun dengan wajah cemberut.

Aku hanya tersenyum saat mendengar perkataan Ibu Arjun. "Iya, Bu. Sama-sama. Saya juga sangat senang berteman dengan Arjun. Dia orangnya baik, dan juga cerdas." Pujiku.

Arjun yang dipuji tentu saja bersemu merah dan langsung memelukku. Aku menerima pelukannya itu, pelukan persahabatan.

"Kita bertiga foto, yuk!" Ajak Mia.

Kami bertiga langsung mengambil gambar, lalu menyimpannya dengan baik.

"Jangan lupa kirim ke grup kita," ujar Arjun kepada Mia.

"Iya, iya, iya. Bawel, ah," sahut Mia. Lalu mengirim semua foto kami bertiga ke grup. Tentunya itu grup hanya ada kami bertiga.

Sungguh! Suatu momen yang akan dirindukan suatu saat nanti.

***

Pukul 04.38 WIB.

"Terima kasih banyak udah mau nerima aku di keluarga Tante," ucapku penuh terima kasih.

"Iya, Sayang. Sama-sama. Kapan pun kamu ke sini, pintu rumah kami akan selalu terbuka untuk kamu," balasnya. Lalu memelukku.

"Terima kasih banyak, Tante.  Kalau gitu, Sea pamit pulang dulu."

"Apa kamu gak tungguin Mia bangun dulu," ucap Ayah Mia.

"Mianya kebo, Om. Susah dibangunin. Lagian kasian juga kalau Sea bangunin. Pasti dia kecapean. Kalau gitu, Sea pamit ya Om, tante! Assalamualaikum," ucapku.

"Wa'alaikumusalam," sahut Ayah dan Ibunya Mia secara bersamaan.

---------

Aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Setidaknya, untuk sementara aku akan tinggal di sana. Bersama keluarga Paman Gogo. Sekalian membantu mereka di restauran. Ya, sekarang namanya bukan lagi warung, melainkan restauran.

Perjalananku dari Bandung ke Jakarta lumayan jauh. Ditambah hari tiba-tiba hujan lebat. Beberapa kendaraan terpaksa berhenti terlebih dahulu, untuk menghindari kecelakaan.

"Pak, udah berapa lama jadi supir taksi?" tanyaku basa basi.

"Udah 10 tahun, Neng," jawabnya setelah menyeruput kopi panas.

Aku mengaja Pak Hardi—namanya—untuk berhenti terlebih dahulu, di warung kecil pinggir jalan.

Jalanan ini lumayan sepi, tapi entah kenapa warung mau buka di sini?

"Wah! Lumayan lama, ya, Pak."

"Iya, Neng. Alhamdulillah."

"Lancar-lancar aja Pak selama menjemput penumpang?"

"Alhamdulillah. Enggak juga, Neng."

Kopi itu kembali Pak Hardi letakkan di piring kecil. Lalu mulai bercerita tentang beberapa kejadian mistis yang ia alami selama ini.

"Beberapa kali juga Bapak  dapat penumpang gaib," ucapnya yang mulai bercerita.

"Gaib gimana, Pak?"

"Kadang Bapak dapat orderan di daerah Jogja. Eh, setelah sampai di sana, ternyata tempat yang dimaksud kuburan. Kadang juga Bapak dapat orderan nenek-nenek, tapi itu nenek-nenek bukan manusia. Dia minta diantar sampe ke rumahnya, terus minta Bapak ngasih benda yang ia kasih ke Bapak, buat anaknya. Kadang juga ada cewek cantik, eh, taunya malah kuntilanak. Beuhhhh! Pokoknya beberapa kali Bapak diteror oleh mereka."

"Apa Bapak gak jera diteror sama mereka?"

"Alhamdulillah enggak, Neng. Karena Bapak yakin, selama Bapak punya iman. Insyaallah Bapak pasti kuat."

Tak terasa, akhirnya hujan berhenti. Kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini aku memilih duduk di depan, sebelah pak Hardi.

Pukul 23.57 WIB.

Sebentar lagi waktu menunjukkan tengah malam. Tetapi aku masih belum sampai.

Jalanan yang sepi dan gelap, membuat Pak Hardi harus berhati-hati. Ditambah, jalanan yang kurang baik.

Tetapi yang ditakuti bukan itu, melainkan begal yang biasanya suka berkeliaran di jam seperti ini.

"Pak, 100 meter dari sini Bapak langsung tancap gas, ya, Pak!" Pintaku.

"Kenapa emangnya, Neng? Lagian ini gimana mau tancap gas? Jalan aja gak rata," protes Pak Hardi.

"Di sini rawan begal, Pak. Jadi, Bapak nanti tancap gas aja."

Pak Hardi tak menjawab, hanya mengangguk.

Tiba-tiba sinar berwarna merah semakin dekat dan semakin terang. Hingga membuat Pak Hardi menyimpitkan matanya.

"Tancap gas, Pak!" ucapku mengaggetkan Pak Hardi.

Sontak Pak Hardi tancap gas hingga menabrak cahaya berwarna merah itu.

Dug!

Guncangan hebat membuat aku harus bertahan dengan kuat. Sedangkan Pak Hardi terus melaju tanpa melihat ke arah belakang.

Mataku langsung melirik ke arah spion dalam mobil.

"Benar dugaanku. Ternyata dia." Batinku.

Bersambung ....

Sea Cassaundra INDIGO [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang