Pulang

11 4 0
                                    

"Apa yang kamu bilang itu memang benar, Nak. Baiklah kalau begitu, mari bekerja sama," ujar Pak Ustad.

Pak Ustad terlihat membaca doa. Seketika Kuntilanak Merah itu menjerit mendengar lantunan ayat-ayat suci yang keluar dari mulut Pak Ustad.

Aku pun sama. Tak lupa membaca doa. Lalu mengeluarkan Aligator milikku.

Ketika Kuntilanak Merah itu ingin terbang, ekor Aligator langsung menghantam tubuhnya. Ia terus melawan, hingga beberapa kali ekor itu mengenai tubuhnya.

Kuntilanak itu terus menjerit ingin pergi, karena mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Dum!

Dum!

Dum!

Bugh!

Suara hempasan ekor Aligator sesekali meleset, karena pergerakan kuntilanak itu terlalu cepat. Akan tetapi, pada akhirnya Kuntilanak Merah itu kalah, lalu tumbang karena kelelahan.

Kami mendekatinya, lalu membaca doa bersama. Terlihat Pak Ustad mengeluarkan sebotol air dari dalam saku celananya. Lalu, menumpahkan seluruh air yang ada di dalam botol itu ke tubuh Kuntilanak yang tak berdaya itu.

"Arghhhhh! Sakit!" Jeritnya. Lalu menghilang bagaikan kepulan asap hitam.

Wushhh!

"Alhamdulillah," ucap kami secara bersamaan.

------

Pukul 04.30 WIB. Karena waktu sudah menunjukkan sholat subuh, akhirnya kami sholat berjamaah di rumah Paman Gogo.

"Alhamdulillah sekarang perempuan itu telah pergi. Pak ustad, terima kasih banyak sudah mau membantu kami," ujar Paman Gogo setelah selesai sholat.

"Sama-sama. Semoga keluarga kalian selalu bahagia dan jangan lupa beribadah kepada Allah Subhana wa'taala," jawab Pak Ustad dengan senyuman.

"Insyaallah, Pak Ustad."

"Kalau begitu, saya balik dulu."

"Enggak nunggu terang dulu, Pak Ustad?" ujar Paman Gogo.

"Enggak papa, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu, Pak. Assalamualaikum," salamnya.

"Wa'alaikumusalam," jawab kami secara bersamaan.

Setelah Pak Ustad pulang kami kembali ke dalam rumah.

"Ternyata, keponakan Bapak bukan dari keturunan sembarangan, ya, Pak," ucap Pak Hardi.

"Eh, kok, Bapak Hardi bisa tau?" Heran Paman.

"Saya liat sendiri penjaganya, Pak."

Sontak aku menoleh ke arah Pak Hardi.

"Apa Bapak bisa liat?" tanyaku.

"Saya juga gak tau, Neng. Kemarin malam, tiba-tiba aja gitu bisa liat. Tapi cuman bayangan putih gitu doang. Gede. Kayak buaya gitu."

Aku menjelaskannya kepada Pak Hardi, apa yang sebenarnya ia lihat kemarin malam memang benar adanya. Bahwa itu adalah buaya raksasa. Tapi pemalas. Kerjaannya cuman ngopi di pinggir sungai. Gangguin kunti-kunti lagi mandi, atau jahilin kucing hutan.

Itu pun, dipaksa datang karena atas perintah Nenek Galak. Tapi jangan salah, Aligator itu kuat, makanya kadang suka meremehkan lawan.

Sedangkan kuntilanak putih teman Nana, sekarang juga telah pergi. Setelah Pak Ustad memberikan doa untuknya.

Ia cuman berpesan satu hal kepadaku. "Jangan pernah takut, dan jangan pernah percaya begitu saja dengan ucapan bangsa jin. Karena bangsa mereka, ahli dalam tipu muslihat."

Apa yang telah dikatakan Kuntilanak Putih itu memang benar adanya. Sebenarnya, aku merasa kasihan kepadanya.

Kuntilanak putih bernama Ayu itu, meninggal karena pasukan Belanda pada zaman dulu. Ia meninggal, karena dilecehkan, lalu mengandung. Padahal, usianya masih 15 tahun. Karena rahimnya masih tak kuat menahan beban itu semua, akhirnya ia meninggal dunia. Bahkan jasadnya, dibiarkan membusuk di dalam hutan belantara.

"Semoga kamu bisa tenang di sana, Yu."

Tamat.

Sea Cassaundra INDIGO [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang