Akhir

27 15 0
                                    

Pukul 04.30 WIB.

Setelah semuanya selesai, kami melaksanakan sholat subuh berjamaah di ruang tamu. Zidan lah sebagai imamnya.

Aku beroda, semoga keluarga Gres bisa istirahat dengan tenang di sana. Walaupun masih ada beberapa masalah yang belum bisa terselesaikan.

***

Beberapa polisi telah masuk dan memeriksa ke dalam rumah. Mereka terus menggali, hingga akhirnya menemukan tulang belulang yang sudah rapuh dan pakaian warna merah muda yang sudah usang dengan robekan tepat di tengah-tengah perutnya.

"Terima kasih karena sudah mau membantu, Pak. Kalau bukan karena Bapak, mungkin para polisi tak akan percaya," ujarku.

"Iya, Nak. Seharusnya Bapak yang mengucapkan terima kasih. Berkat kamu, akhirnya kasus yang tak pernah selesai ini, bisa diselesaikan hari ini juga," balas Bapak RT.

Pukul 06.00 WIB.

Sisa tulang belulang Gres dikuburkan di samping makam kedua orang tua beserta Bibol. Kakanya.

"Semoga mereka Husnul khotimah. Aamiin," ucap kami serempak.

Zidan, Riky, Mia, Arjun dan aku mengikuti proses pemakaman hingga selesai. Setelah pulang dari pemakaman, kami kembali ke rumah.

"Gimana? Udah aman rumahnya?" tanya Mia tiba-tiba.

"Kayaknya belum, deh, Mi," jawab Arjun.

"Belum? Lu tau dari mana?" Heran Mia.

"Gue masih merinding, loh."

Aku melirik ke arah Arjun. Lalu beralih menatap Zidan dan Riky.

"Kamu bisa menutupnya?" tanyaku kepada Zidan.

"Bisa, sih. Tapi gue lagi capek," jawab Zidan.

"Kalau kamu?" lirikku kepada Riky.

"Bisa. Tapi perlu teman buat ngadepin yang nempel itu." Riky melirik sebentar ke arah Arjun.
Arjun yang sadar sedang dibicarakan pun melihat ke arah kami.

"Kalian ngomongin gue?" tanya Arjun.

"Yaps," jawab Zidan santai.

"Eh, dosa tau ngomongin orang. Neraka menanti, loh."

"Gue mau nanya?" sela Riky.

"Nanya apa?" sahut Arjun.

"Elu malam kemarin mimpi tidur sama pocong?" tanya Riky.

"Eh, kok, lu tau?"

"Soalnya dia lagi nempel sama, lu."

Sontak Arjun terdiam. Lalu, detik berikutnya dia menangis sejadi-jadinya.

"Kok setan suka banget nempel sama gue? Apa salah gue sih, Tan? Sampe-sampe lu pada suka nempel sama gue?" ujar Arjun mengeluh.

"Makanya, jangan tinggalkan sholat dan selalu baca surah Al-Baqarah biar gak diganggu oleh setan," balas Zidan.

"Sekarang kamu udah bisa ngeliat mereka." Aku menatap Arjun dengan seksama. Aura matanya berubah setelah ia bisa melihat hal gaib.

"Iya, Sea. Benar banget. Tadi pagi aja gue kaget ngeliat kuntilanak nempel di dinding kamar mandi kayak Spiderman."

Sontak Mia tertawa, lalu di susul oleh Zidan.

"Baiklah. Biarkan Zidan dan Riky yang menutup mata kamu sekalian biar gak diganggu setan lagi."

"Hah, gue? Kan udah gue bilang, gue capek." Keluh Zidan dengan bibir cemberut.

"Mau dapat pahala gak?" tanyaku.

Wajah Zidan langsung berubah. Dengan terpaksa akhirnya ia mau membantu Arjun.

Sementara Zidan dan Riky membantu membersihkan Arjun, aku meninggalkan mereka lalu naik ke atas lantai dua.

Setelah sampai di atas, aku memasuki salah satu kamar. Dimana dulunya kamar itu adalah milik kedua orang tua Gres dan Bibol.

"Apakah kalian semua masih mau di sini?" tanyaku kepada beberapa mahluk astral di lantai atas ini.

Di lantai atas memang sudah dihuni beberapa mahluk gaib, tapi mereka sama sekali tak menganggu.

Bahkan, mereka terlihat ramah kepada siapapun, kecuali penjahat dan kuntilanak merah. Memang sih, terkadang mereka juga bisa jahil.

"Sepertinya kami akan tinggal di sini sampai penghuni baru datang," jawab seorang perempuan dengan kaki terbalik.

"Baiklah. Tolong selalu berbuat baik, agar kalian bisa pulang dengan cepat."

Mereka semua mengangguk, lalu aku kembali turun. Terlihat Mia sudah membawakan koper milikku ke luar.

"Yuk, untuk sementara tinggal di rumah gue aja sampai lu puas," ujar Mia tersenyum bahagia.

"Mungkin sampai kita menjalankan wisuda. Habis itu aku pulang," sahutku sambil membalas senyumannya.

"Oh, iya, Sea. Emangnya lu mau pulang ke Jakarta?" tanya Arjun.

"Enggak tau. Bisa jadi aku ke sana. Atau mungkin berkelana mencari pengalaman baru lagi," jawabku.

Sekarang kami berada di luar rumah dan aku menyerahkan kunci rumah kepada pemilik rumah ini. Sekarang, rumah ini terlihat berbeda setelah dibersihkan isinya.

"Terima kasih banyak, Pak, untuk rumahnya," ucapku kepada Pak Radit. Pemilik rumah ini.

"Iya, Neng, sama-sama. Bapak juga mau ngucapin terima kasih. Padahal, Eneng cuman tinggal beberapa hari di sini, tapi Neng gak mau Nerima uangnya kembali."

"Anggapkan itu rejeki buat keluarga Bapak. Kalau begitu, saya pamit, ya, Pak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumusalam warahmatullahi wabarakaatuh." Sahut Pak Radit.

Sebelum benar-benar pergi, terlebih dahulu aku melihat ke arah teras rumah.

Seorang anak kecil yang beberapa waktu lalu melambai ke arah tukang ojek, melambaikan tangannya kepadaku. Aku tersenyum, lalu membalas lambaian tangannya.

"Lu ngelambai siapa, Sea?" tanya Mia.

"Anak kecil," jawabku santai.

"Anak kecil? Gres maksud, lu? Bukannya Gres udah pulang?"

"Memang bukan Gres. Tapi itu anak kecil korban tumbal kedua orang tuanya. Sekarang dia dirawat oleh beberapa kuntilanak yang ada di hutan belakang rumah itu. Dia suka pulang ke rumah, kalau biasanya ada yang pergi dari sana."

"Tapi anak kecil itu mirip banget sama, lu, Sea," ujar Zidan.

"Setiap manusia di muka bumi ini memiliki tujuh kembaran, Zi," sahutku tanpa melihat ke arahnya.

"Iya, juga, sih. Ya udah, kita berangkat?"

"Berangkat," sahut Mia, Arjun dan Riky secara bersamaan.

Jangan berputus asa, sebelum melewati jalannya. Karena kita tak tau, sekuat apa badai menghalangi langkah kita. Maka, kita patut berdoa dan berusaha. Agar mencapai hasil yang sempurna.

Bersambung....

Sea Cassaundra INDIGO [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang