Kincir Angin

20 16 0
                                    

»»————> ❀۝❀ <————««

"Waktu itu ...."

Aku masih ingat dengan jelas kejadian yang menimpaku sewaktu aku masih berumur 8 tahun.
Sebulan sebelum kejadian, aku begitu bahagia saat dibawa berlibur ke Jepang. Aku begitu menyukai tempat itu. Dingin, di sana ada begitu banyak salju.

"Ayah, ayah, ayah! Aku mau naik itu?" pintaku kala itu.

Sebuah kincir angin yang begitu besar membuatku tertarik untuk menaikinya. Di saat sedang menaiki kincir angin, aku begitu bahagia, ditambah ditemani seorang ayah.

Pemandangan dari atas terlihat begitu indah. Angin terasa begitu sejuk membelai tubuh. Setelah putaran kedua, aku melihat Ibu.

"Ayah! Itu Ibu." Tunjuk ku di saat Ibu melambaikan tangannya ke arah kami yang mulai berputar semakin tinggi.

"Dadah, Ibu," ucapku membalas lambainnya.

Ketika tempat kami mencapai paling puncak, tiba-tiba kincir angin berhenti berputar. Aku merasa takut, ditambah mataku tiba-tiba terus-terusan melihat hal yang tak dapat aku bayangkan.

Sosok itu berterbangan di udara. Bahkan ada mahluk seperti memakai 'baju perang' badannya begitu besar dan tinggi.

Seketika aku menjerit saat melihat sosok itu ingin mendorong kincir angin yang sedang aku tumpangi.

"Aaaaa! Ayah ada penjahat mau bunuh kita!"

"Mana sayang? Enggak ada. Mana mungkin penjahat bisa naik ke atas sini. Di sini kan terlalu tinggi."

Ayah terus mencoba menenangkan aku, tetapi aku tetap menangis dan terus memeluknya dengan erat.

Tak terasa 1 jam berlalu. Hingga banyak anak-anak dan orang tua di atas sana menangis karena merasa khawatir.

Sedangkan di bawah sana, Ibu terlihat tak kalah khawatir. Banyak orang tua protes, kenapa mesinnya masih tak mau menyala?

Hingga akhirnya Ayah memutuskan untuk turun mencoba membantu. Karena ayahku adalah seorang tentara, maka tak sulit baginya menuruni kincir angin yang terlihat begitu tinggi dan besar ini.

"Sea, kamu tunggu di sini, ya? Ayah mau turun bantuin orang-orang di bawah biar kincir anginya bisa berputar lagi. Kamu tetap diam di sini, jangan gerak dan tetap pegangan. Ini, ayah titip ini. Sampai ketemu di bawah sayang."

Ayah memberikan aku mantel berwarna coklat miliknya. Aku merasa khawatir, entah kenapa tiba-tiba ada terbesit perasaan tidak enak. Dan tiba-tiba sebuah gambaran muncul di hadapanku.
Untuk sesaat aku tak bernapas saat melihat gambaran itu. Namun, di dalam hati aku berdoa agar ayah baik-baik saja.

Akan tetapi kenyataannya tidak. Aku mendengar jeritan orang-orang di bawah sana dan getaran hingga membuatku melihat ke arah bawah.

"AYAH ....!"

Di saat yang bersamaan, kincir angin itu berputar.

Setelah sampai di bawah, aku melihat tubuh ayah bersimbah darah.

Mata Ayah terbuka lebar menatapku sendu. Mulut dan kedua telinganya mengeluarkan darah. Sepotong besi yang lumayan panjang jatuh tepat di atas perut Ayah. Sekarang tubuh Ayah bermandikan darah.

Aku syok! Aku tak bisa berbicara, pandanganku kosong. Sedangkan Ibu, hanya bisa menangis di dekat tubuh ayah. Hingga akhirnya para polisi di sana datang dan mengevakuasi tubuh ayah.

"Apakah mahluk besar itu yang telah membunuh ayah?" Batinku.

Karena sebelum kejadian, aku sempat melihat mahluk itu ingin merobohkan kincir angin yang aku tumpangi.

Tetapi sayang, itu hanya hayalanku saja. Nyatanya, ayah terpeleset saat sedang menyelamatkan seorang anak yang hampir ingin terjatuh dari atas sana saat ibunya lengah.

****

Dua tahun berlalu, hingga akhirnya Ibu menikah lagi. Bukan dengan seorang tentara, apalagi anggota kepolisian.

Laki-laki itu bekerja sebagai dukun. Aku benar-benar tak menyukainya. Bahkan tatapannya kepadaku pun sama sekali tak terlihat ramah.

"Kamu ini pembawa bencana. Seharusnya kamu sudah mati sejak lama," ucap laki-laki yang bepakain serba hitam itu.

Aku hanya diam sambil menatapnya tajam. Namun, di detik berikutnya, sebuah tamparan tiba-tiba mendarat dipipiku.

Plak!

Rasanya begitu sakit, tetapi aku hanya diam dan masih menatap laki-laki itu dengan tajam.

"Kamu gak boleh menatap orang yang lebih tua seperti itu, Sea. Dia ini sekarang sudah menjadi ayah kamu," ucap Ibu dengan nada tinggi.

Selama ini Ibu tak pernah meninggikan suaranya kepadaku. Apalagi memanggil namaku dengan sebutan Sea. Biasanya, Ibu akan memanggilku dengan sebutan Sayang.

Namun, kali ini berbeda? Ibu telah berubah. Ya, Ibu berubah semenjak ia menikah dengan laki-laki yang berprofesi sebagai dukun itu.

"Aku benci dia" ujarku ketika di dalam kamar.

Aku mengurung diri. Semenjak dukun itu ada di rumah, ada begitu banyak orang datang ke rumah. Entah apa yang mereka minta?

Sekilas aku hanya mendengar kata 'kekayaan, tumbal, darah' aku begitu malas mendengar perkataan dukun itu.

Walaupun aku tau, apa yang mereka minta itu hanyalah sementara. Demi kenikmatan dunia, manusia-manusia itu rela mengorbankan keluarganya.

Bersmbung ...
╌╌╌╌╼⃘۪۪❁⃘̸۪۪⃗╾╌╌╌╌╸

Sea Cassaundra INDIGO [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang