5. Bullying.
•HAPPY READING•
*****
Seperti biasa, matahari bersinar terang dengan suasana pagi yang rindang ini Arsen bersiap berangkat ke sekolah.
"Arsen, adek kamu antar ke sekolah sekalian. Saya ada rapat dadakan, jadi tidak bisa mengantarnya," ujar sang Ayah menatap Assenna yang masih sibuk melahap sarapan paginya.
"Tapi, yah-"
"TIDAK ADA TAPI-TAPI! KAMU NURUT ATAU MOTOR KAMU SAYA SITA?!" ancam Ayahnya yang sudah tersulut emosi.
"Loh, yah itu kan motor Arsen satu-satunya, masa mau disita."
"Makanya nurut sama orang tua! Jangan bantah!"
"I-iya, yah. Cepetan, Na. Keburu telat!"
"Iya bang, ini udah mau selesai kok."
***
Bersiap dan berjalan keluar rumah menuju garasi tempat dimana motor kesayangan Arsen di parkirkan, sungguh tak disangka ban motornya sudah kempes bahkan terdapat goresan di beberapa bagian motor.
Lagi-lagi ia harus bersabar dan menghela nafas berat demi tidak memancing keributan di pagi buta ini, "Na, kamu naik ojol aja bisa? Kayaknya ada yang rusakin motor gue, nih," ucapnya melirik sekitar mencari tanda-tanda keberadaan adiknya Vano.
"Yah, dari tadi kek bilangnya! Senna hampir telat nih, nggak mungkin juga kan Senna nunggu ojol."
"Senna! Ngertiin sekali aja bisa kan?!"
"Ck, iya-iya terserah! Urus aja itu motor kesayangan Abang!" ucap Senna dengan nafas tak beraturan meninggalkan Arsen sendiri di garasi.
"Aarghh! Sialan lo, Van!" tentu sudah ia duga ini semua ulah Elvano, adik laki-lakinya yang beberapa hari lalu sempat meminjam motor miliknya.
Dengan hati berat dan putus asa ia memilih memesan ojek online yang sudah tentu akan membuatnya telat ke sekolah karena menunggu driver yang datang.
***
"Arsen! Kamu kenapa terlambat?!" bentak Bu Dewi–Guru Matematika, guru mapel yang terkenal paling galak satu sekolah.
"Maaf, Bu. Tadi ban motor saya kempes, jadi saya pesan ojek online."
"Kamu ini, cuma perkara ojek online aja telat. Makanya kalau bangun jangan siang-siang!"
"Iya, Bu, maaf."
"Bersihkan Toilet nanti saat jam istirahat!" final Bu Dewi.
Dari jauh di bangku paling belakang, terlihat Kaisar yang sudah tersenyum remeh menatap manik mata Arsen kala itu. Arsen sudah terlalu sering dihujam berkali-kali tatapan sinis nan remeh dari banyaknya orang yang ia temui, bahkan saudara hingga anggota keluarga lainnya.
***
Bel istirahat berbunyi tanda waktu dimana para murid beristirahat untuk makan atau minum di kantin melepas rasa pusing yang membakar otak semasa pelajaran.
Lain halnya dengan Arsen yang kini sudah berada di dalam toilet pria untuk membersihkan dan mengepel lantai.
Sudah hampir selesai dengan pekerjaannya lagi-lagi ia dihampiri sekelompok remaja pria tinggi besar sedang memperhatikan Arsen dari balik pintu toilet, tatapan tajam serta seringainya bisa membuat siapapun bergidik ngeri.
Dengan seringai yang semakin lebar dan jelas, kaki yang jenjang nan kokoh itupun menggebrak ember berisi air kotor di dalamnya, membuat lantai yang seharusnya sudah bersih nan kinclong kembali ternoda bagai kertas bersih yang tak sengaja tercurahi teh segar diatasnya.
Terdengar suara ribut serta gemeletuk dari arah lantai membuat netra Arsen terfokuskan pada objek yang menarik perhatiannya, "Apa-apaan lo?!"
Mendengar gertakan sang empu yang tak terima, membuat seringai Galen terpancar dengan jelas, semakin besar amarah Arsen justru semakin gencar pula Galen melaksanakan aksi bengalnya itu.
"Apa? Memangnya lo mau apa, hah?!" dengan gagahnya ia melangkah seolah menantang Arsen, tatapan mata yang tajam hingga menelusuk jiwa yang paling dalam bagi siapa saja insan yang menatapnya lantas membuat Arsen menarik langkah mundur ke belakang untuk pertahanan dan bersiap jikalau Galen yang tanpa aba-aba menghajarnya diwaktu itu juga.
"Kenapa mundur? Takut? Oh iya, lo kan lemah." olok-olok Galen yang semakin gencar untuk mendekat. Kedua temannya tertawa lepas membiarkan korban bully-annya yang sudah takut akan hal merugikan yang bisa terjadi kapan saja.
***
Dan benar saja, dalam sekejap udara seakan membeku membuat sang empu tak dapat bergerak, tangan kekarnya melayang bebas menghantam hidung mancung Arsen, meninggalkan bekas luka serta cairan merah kental yang kentara membanjiri hidung mancungnya.
Bugh
Sekali lagi
Bugh
Nafasnya tercekat, jeritan yang tertahan dalam tenggorokan seketika lenyap, berganti dengan kesunyian yang memekakkan telinga, meninggalkan tatapan kosong yang berhasil membuat jantung berhenti beberapa detik.
Kepalanya tertoleh kesamping kanan, lalu kiri disertai mata tak terpejam seolah masih mencerna kejadian yang baru saja ia alami.
Dengan cepat Galen mencengkram dagu Arsen dan meremasnya, memaksa sang empu untuk kembali menatapnya
"Hm, kasihan banget ... Sakit ya?" ledek Galen sekali lagi.
"Ini masih belum seberapa, jadi jangan pernah remehin gue, apalagi bantah gue. Paham?"
"Udah, Len. Nanti ada guru datang kita bisa ikutan dihukum." sahut Kaisar sedikit panik dari balik punggung tegap Galen.
"Ck, iya-iya, ah. Awas lo, Sen. Urusan kita belum selesai," sarkas Galen menghempas tangannya dan menepuk-nepuk telapak tangannya bak habis menyentuh debu.
Melewati Arsen yang lagi-lagi dalam keadaan buruk.
Tatapan sayu yang semakin menghanyutkan serta buliran darah yang mengalir segar membasahi hidung serta bibir pucatnya, kepalanya menggeleng perlahan, melangkah menuju wastafel toilet, membasuh wajahnya yang terlihat kacau balau.
Mendongak menghadap cermin yang memantulkan wajah pucat pasi nya serta luka lebam kebiruan yang menghiasi kedua pipi tegasnya, sedikit meringis kala tangannya menyentuh luka lebam itu.
"Bagus, Sen. Lagi-lagi lo kalah ... Kapan tubuh lemah gue ini capek, hah??"
*****
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSEN - On Going
Teen FictionKehadirannya yang tak dianggap juga tak diharapkan, di cap sebagai anak haram bukanlah hal yang mudah dilewati bagi Arsen Brahmantara Mahendra. Remaja tak bersalah serta banyak kekurangan ini harus menerima hidup di keluarga dan lingkungan yang bisa...