Bab 37

288 24 0
                                    

HAPPY READING

Di tengah temaram lampu kamar, Iranda termenung sendirian, di sebelahnya, Gricella sudah meringkuk duluan, tertidur pulas di atas bantal empuk.

Sekali lagi, Iranda menghela napas. Penyesalan menghantui pikirannya. Perkataan yang dia ucapkan dengan nada tinggi sudah membuat Chloe marah dan kecewa padanya.

Entah ada di mana gadis itu. Ini sudah tengah malam, tapi belum juga kembali ke kamar. Iranda tidak bisa tidur memikirkannya.

Dia putuskan melangkahkan kaki ke tempat Alaia beristirahat. Dia ingin memastikan keadaan saudarinya, mungkin sudah sadar dan membutuhkan bantuan seseorang, atau ingin ditemani seseorang karena kesepian.

Langkahnya berhenti di depan ruangan itu, pintu tak sempurna tertutup, Iranda bisa melihat ke dalam melalui celah kecil itu.

Dadanya seperti ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan besar, membuat napasnya sesak seketika. Kakinya melangkah mundur beberapa kali, tanpa sadar, air matanya terjatuh, membasahi pipi halusnya.

Ternyata Izekiel masih di dalam. Sudah berapa jam dia duduk di sana? Menemani Alaia hingga tengah malam, dan mungkin hingga esok hari.

Iranda buru-buru menapik pikiran buruknya setelah melihat Izekiel duduk tenang di tepi ranjang Alaia, tangan halus raja muda yang tampan itu memegang tangan Alaia, begitu dekat dan tampak akrab di mata Iranda.

Izekiel memeriksa denyut nadi Alaia bukan tanpa sebab. Bukan karena perasaan kosong tak berarti yang pernah disangkakan Chloe padanya.

Tapi tubuh gadis ini memang begitu menarik perhatiannya. Saat terluka, jika itu adalah manusia biasa yang sangat normal, maka suhu tubuh akan meningkat drastis, menyebabkan demam dan berbagai efek samping lain.

Alaia tidak begitu. Tubuhnya begitu dingin dengan sedikit kebiruan. Itu lumrah bagi bangsa elf, tapi Alaia adalah manusia, kenapa kondisi tubuhnya tidak seperti manusia?

Tanpa menoleh ke arah ruangan itu, Iranda melangkah gontai tanpa arah. Sorot matanya terkunci pada sebuah kursi panjang di depan selasar panjang.

Udara dingin tengah malam menyapa wajahnya, Iranda memejamkan mata, menghirup udara dingin itu, berusaha menenangkan pikirannya yang penuh kecamuk hal-hal tak penting.

"Mungkin Chloe benar, Raja Izekiel sepertinya memang menyukai Alaia," gumamnya pelan.

***

Di sisi lain, Chloe duduk di bawah pohon besar di tepi danau. Tangannya mencari kesibukan, melempari kerikil kecil ke dasar danau.

Dia sedang memikirkan tindakannya pada Iranda beberapa saat lalu. Apakah terlalu keras? Apakah terlalu tidak berperasaan?

Chloe berdiri, memutuskan untuk kembali ke kamar dan meminta maaf pada Iranda. Dia hanya perlu memperbaiki ucapannya, dan memberitahu Iranda dengan hati-hati bahwa cinta itu tak bermanfaat bagi perjalanan mereka.

Chloe memicingkan mata, langkahnya berhenti saat melihat Iranda duduk termenung di kursi panjang. Dia tak segera menghampiri, memutuskan untuk melihatnya dari jauh.

Apa yang dia lakukan tengah malam begini? Batinnya.

Sejauh dua puluh meter dari tempat Chloe berdiri, Iranda terlihat melamun putus asa. Kepalanya mendongak menatap bulan sabit yang menggantung di langit sana. Bintang gemintang tampak terang, cahaya hijau tipis menari-nari di angkasa. Aurora yang hebat.

Di tengah lamunannya, ingatan Iranda kembali merasuk ke dalam alur novel Only Princess yang sudah menyedot mereka ke dunia ini.

Iranda mengerjap, berusaha mempertahankan ingatannya.

Four Princess (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang