Chapter 35

1.1K 90 2
                                    

Seikat lily putih Jeno temukan di depan pintu kamarnya. Jeno berjongkok, mengambil bunga tersebut. Dalam hati ia bertanya, siapa yang meletakkannya di sini?

Jeno mengedarkan pandangannya, berharap dapat menemukan orang yang telah menaruh bunga ini di depan kamarnya. Namun nihil, tak ada siapapun yang ia tangkap dari netranya.

Jeno berkedip pelan, menatap seikat lily di tangannya. Lily putih...

Mungkinkah?

Jeno menggelengkan kepalanya. Memilih melanjutkan langkahnya ke dapur, sambil dengan masih membawa bunga itu di tangannya.

"Selamat pagi Ayah," Sapa Jeno saat melihat Ayahnya duduk bersila di depan meja makan.

Niatnya, Jeno ingin memasak untuk sarapan, tapi urung saat matanya menangkap berbagai sajian di atas meja makan.

"Pagi sayang," Ucap Jaehyun sambil tersenyum menjawab sapaan Jeno.

"Siapa yang masak?" Jeno mengerutkan dahinya bingung.

Jaehyun menatap makanan di depannya sebentar sebelum menatap putranya, "Ibumu yang masak."

Pegangan Jeno pada seikat lily ditangannya mengerat, "Lalu, dimana ibu?" Tanya 'nya.

Jaehyun tersenyum, "Ibumu ada di kamar. Dia sudah makan lebih dulu tadi."

Kemudian Jeno mengangkat lily putih ditangannya ke hadapan Jaehyun, "Ayah tahu siapa yang menaruh bunga lily ini di depan pintu kamarku?"

Jika tebakannya benar, Jeno tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Biasanya, Jeno akan memberikan bunga lily putih  pada ibunya sebagai permintaan maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya pada sang ibu.


Lalu... Mungkinkah??...


"Ibumu yang meletakkannya disana. Untukmu," Ucap Jaehyun menjawab semua kebingungan Jeno.

Jeno terdiam. Ternyata tebakannya benar. Ia menatap lily yang dipegangnya lama. Kemudian ia membalikkan tubuhnya, menatap pintu kamar ibunya yang tertutup rapat.

Sungguh, Jeno bingung harus bagaimana. Disatu sisi ia marah kepada ibunya, tapi disisi lain ia juga menyayangi ibunya itu.

Jaehyun mengamati putranya. Jeno mungkin masih marah pada Doyoung karena masalah kemarin. Jaehyun memakluminya. Lagipula Doyoung sudah kelewatan juga kemarin.

Jaehyun tahu istrinya itu menyesali perbuatannya kemarin, itulah sebabnya Doyoung meletakkan lily putih itu di depan kamar Jeno. Sebagai permintaan maaf. Doyoung sadar, dia telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang sangat fatal. Dia menampar putranya dengan tangannya sendiri.

Jeno berbalik untuk menatap Jaehyun. Memilih berhenti dari kegiatannya menatap pintu kamar sang ibu. Setelah itu, ia mendudukkan dirinya berhadapan dengan sang Ayah dengan meja makan yang berada ditengahnya.

Jeno meletakkan lily yang sedari tadi di genggamnya. Jeno belum siap bicara ataupun menemui Doyoung. Ia masih takut, marah, kecewa, juga sedih. Semuanya masih bercampur aduk dihatinya. Mungkin Jeno perlu beberapa hari lagi.

"Ayo makan, Ayah. Jeno sudah lapar," Ucap Jeno sembari tersenyum manis kearah Jaehyun. Setelahnya ia mulai memakan makanan yang tersaji di depannya.

Jeno sadar, semua ini adalah makanan kesukaannya.

Jaehyun diam menatap Jeno. Pasti tidak mudah bagi putranya ini. Ia mengerti. Jeno masih perlu waktu.

Tanpa membahasnya lagi, Jaehyun ikut memakan makanan yang telah dibuat istrinya.

__


"Bibi!" Seru Mark kala melihat Doyoung yang keluar dari kamar Ten dengan beberapa gelas obat yang telah kosong di tangannya.

Doyoung menoleh kearah sumber suara. Begitu menyadari sang Putra Mahkota 'lah yang telah memanggilnya, ia membungkuk memberi hormat padanya.

"Kemarin itu bukan salah Jeno," Ujar Mark begitu sampai di hadapan Doyoung. "Aku yang meminta Jeno menemuiku di paviliun. Aku yang memaksanya. Itu sebabnya Jeno terpaksa berbohong pada bibi."

Doyoung diam mendengarkan penjelasan Mark. Semalaman ia memikirkan perkataan Ten kemarin. Namun, Doyoung masih belum bisa memutuskan apapun soal hubungan Mark dan Jeno.

"Saya yang bersalah, Putra Mahkota. Tidak seharusnya saya melakukan itu pada Jeno," Ungkap Doyoung.

"Maafkan aku, bibi. Itu semua terjadi karenaku." Mark menunduk. Ia tetap merasa bersalah tentang apa yang telah terjadi pada Jeno kemarin.

"Tapi jika Putra Mahkota tidak melakukannya, mungkin saya tidak akan tahu apapun tentang hubungan kalian," Ujar Doyoung sedikit sarkas.

"Kami tidak berencana menyembunyikannya dari bibi. Kami hanya memilih waktu yang tepat. Aku kemarin sudah bilang, kami berencana memberitahu bibi esoknya, tapi bibi terlebih dulu mengetahuinya," Jelas Mark.

"Lalu kenapa saya harus jadi yang terakhir tahu perihal hubungan kalian?" Sisa amarah Doyoung kemarin masih tersisa rupanya.

"Itu tidak direncanakan. Ibu tahu dengan sendirinya. Lalu aku berniat memberitahu Ayah, tapi ternyata paman Jaehyun berada disana. Jadi, paman Jaehyun 'pun mengetahuinya." Mark menjeda kalimatnya.

"Jika bukan karena ibu mendesakku untuk segera memberitahu Ayah, mungkin sampai sekarang Ayah, paman Jaehyun bahkan bibi juga tidak akan mengetahuinya," Imbuhnya.

"Lalu kenapa Putra Mahkota ikut menyembunyikannya? Saya rasa itu tidak pantas dilakukan seorang Putra Mahkota. Menjalin hubungan diam-diam," Ucap Doyoung sembari menukikkan alisnya.

"Aku tahu. Tapi Jeno yang minta. Dan aku tidak mungkin menolaknya. Aku tidak ingin Jeno merasa tidak nyaman," Balas Mark masih dengan tenang dan sabar.

Doyoung terdiam, tiba-tiba teringat pada semua perkataan Jeno kemarin. Ya. Jeno yang minta. Agar ia tidak mengetahuinya. Jeno melakukan itu karenanya. Agar ia tidak marah.

"Aku mencintai Jeno, bibi. Aku akan melindunginya, selalu melindunginya. Aku tahu bibi belum sepenuhnya menerima ini semua, tapi bibi bisa memegang kata-kataku."

"Jeno adalah duniaku setelah ibu, jadi aku akan melakukan apapun untuk melindunginya. Bahkan jika aku harus mengorbankan nyawaku, akan kulakukan jika itu membuat duniaku tetap berputar."

Doyoung diam memperhatikan Mark.

"Oh iya, meskipun Jeno marah pada bibi kemarin, Jeno akan tetap menyayangi bibi. Dia tidak akan pernah bisa membenci bibi. Karena bibi adalah ibunya." Mark tersenyum tulus menatap Doyoung. "Jadi, bicaralah pada Jeno. Berbaikanlah dengannya, bibi," Sambungnya.








TBC







Batasan | MARKNO [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang