Extra Chapter

1K 96 9
                                    

"Chenle!!"



"LEE CHENLE!!"



Astaga. Kemana anak ituu!

Jeno sudah berkeliling istana untuk menemukan putranya itu, tapi sudah seluruh sudut istana Jeno jelajahi, dia belum juga menemukannya.

Padahal tadi Jeno hanya meninggalkan Chenle sebentar untuk mengambil sabun kesukaan sang anak di kamarnya, tapi saat kembali ke kamar Chenle, anak itu sudah menghilang.

Memang Chenle itu kalau disuruh mandi, pasti banyak sekali dramanya. Ini bukan pertama kalinya Chenle menghilang seperti ini saat disuruh untuk mandi. Anak berumur 5 tahun itu benar-benar keras kepala.

Jeno melangkahkan kakinya menuju rumah. Beruntung Doyoung sedang berada di teras. "Ibu, ibu tahu dimana Chenle??" tanya Jeno tanpa basa-basi.

Doyoung mengernyit. "Tidak. Dia tidak ada di istana?"

"Tidakkk adaaa," ucap Jeno setengah merengek. Dia lelah berkeliling istana untuk mencari putra kesayangannya itu. Selain itu Jeno khawatir Chenle akan kenapa-napa. Anaknya itu sangat ingin tahu tentang banyak hal, dan untuk memuaskan rasa keingintahuannya, Chenle pasti akan melakukan apapun itu.

Pernah suatu waktu, Chenle dan Jeno menemani Mark yang sedang latihan pedang di lahan kosong yang tak jauh dari istana. Dan disitu, Chenle bertanya sambil menunjuk beberapa anak panah yang tergeletak di tanah, "Ibu, panah itu tajam tidak?"

"Tentu saja tajam. Panah itu bisa menembus apel disana," jawab Jeno sambil menunjuk satu buah apel yang tergantung di dahan pohon.

Awalnya jeno pikir Chenle sudah puas dengan jawabannya karena dia lihat anaknya itu mengangguk beberapa kali. Tapi siapa sangka, saat Jeno sibuk berbicara dengan Mark, Chenle justru mengambil satu anak panah dan juga busur yang ada lalu melesatkan panahnya menembus apel tadi.

Jeno sendiri dibuat membeku melihatnya. Ayolah! Seorang pengawal baru saja ingin mengambil apel itu, tapi Chenle malah melesatkan anak panah tadi! Meleset sedikit saja, pengawal itu bisa terluka. Salah sedikit saja Chenle juga bisa terluka. Jeno bahkan bisa melihat wajah pengawal tadi berubah sedikit pucat.

Sedangkan Chenle... dia justru tersenyum cerah sambil berlari kecil mendekati Jeno dan Mark yang masih berdiri kaku di tempatnya sambil mengatakan, "Panahnya benar-benar bisa menembus apel itu!"

Itu yang membuat Jeno khawatir. Chenle bisa membahayakan dirinya sendiri bahkan orang lain dengan rasa keingintahuannya itu. Ditambah anaknya itu cukup ceroboh.

"Ibu tidak tahu. Chenle juga tidak kesini."

Jeno ingin menangis saja rasanya saat mendengar jawaban Doyoung. Biasanya Chenle kalau tidak mau mandi, paling jauh itu pergi mencari perlindungan dari kakek neneknya tapi sekarang....

"Aku akan mencarinya ke desa." Jeno tidak bisa membuang lebih banyak waktu lagi.

"Ibu akan membantu."



__




"Ayahhh! Bukan yang ituu! Itu masih belum matang! Yang itu! Yang di atas!" Chenle melayangkan protes pada sang Ayah karena dari tadi terus saja memetik kesemek yang masih mentah.

"Sabar sayangkuu... Itu yang mentah jangan dibuang, kumpulkan saja. Nanti bisa disimpan dan dimatangkan." Mark memanjat satu dahan pohon yang lebih tinggi dari yang dia pijaki sekarang. Memang buah kesemek yang matang itu ada di dahan yang agak tinggi. Doakan saja Mark tidak jatuh.

"Tangkap!!" Mark menjatuhkan satu buah yang sudah matang ke bawah.

Chenle langsung mengupas buah kesemek itu. Dia sudah sangat ingin memakannya, tapi sedari tadi dapat yang mentah terus. "Emmm... Manis sekali." Chenle mendongak ke atas. "Ayah! Cari lagi! Yang banyak! Kita kasih ke ibu!!"

'Sekalian untuk sogokan agar ibu tidak marah.' batin Chenle. Dia yakin saat pulang nanti dia akan dimarahi habis-habisan.

"Siap Pangeran." Mark bisa apa selain mengiyakan. 'Lagipula aku perlu sesuatu untuk meredakan amarah Jeno karena aku malah membawa Chenle pergi bukannya pulang,' lanjut Mark dalam hati.

Sebenarnya mereka tadi tidak sengaja bertemu di dekat balai pemerintahan. Mark yang ingin pulang bertemu dengan Chenle yang kabur dari istana.

Jangan pikir Mark tidak mencoba membawa Chenle untuk pulang. Dia sudah mencobanya, tapi putra kecilnya itu dengan seribu satu cara bisa meluluhkan hatinya agar mau menuruti keinginannya. Pada akhirnya Mark pasrah dan menuruti permintaan Chenle yang bilang ingin jalan-jalan di hutan.

Lalu saat mata lucu anak kesayangan Jung Jeno itu menangkap adanya pohon kesemek yang penuh dengan buah, dia menyeret tangan ayahnya dan menyuruhnya untuk memetik beberapa buah di sana.

Saat Mark rasa buah yang dipetik sudah cukup, dia turun dari pohon dengan hati-hati. Mark terkekeh melihat Chenle yang sangat lahap memakan buah itu. "Sangat enak?"

"Hu'um!" Chenle hanya bergumam sambil mengangguk berkali-kali.

Mark mengusak rambut putranya. "Ayo pulang. Ibu pasti sangat khawatir. Dia pasti mencarimu dari tadi."

"Tunggu aku menghabiskan ini," ujar Chenle sambil menunjukkan buah di tangannya.

Mark menghela napasnya. Matahari sudah mulai terbenam. Mereka harus sampai di istana sebelum matahari terbenam. Hutan akan menjadi jauh lebih berbahaya saat gelap.

"Ya Tuhan!!! Ibu mencarimu sejak tadi!!" Jeno berjalan mendekati Chenle dan Mark dengan wajah kesal. "Kau!" Dia menunjuk Mark. "Kenapa malah membawa anakmu kemari?! Kau tidak tahu aku mencarinya kemana-mana?! Aku khawatir!!"

Mark meringis. Iya tahu, dia salah. Bisa Mark tebak Jeno sangat marah sekarang. "Maaf. Aku hanya menemani Chenle yang bilang ingin jalan-jalan."

Jeno mendelik. "Kan bisa besok. Tidak di sore hari begini. Kau juga tahu 'kan, Chenle kalau sore sering kabur karena tidak ingin mandi. Tapi kenapa kau malah membantunya!" Jeno itu khawatir Chenle akan kenapa-napa.

"Maafkan aku. Jangan marah."

Jangan marah bagaimana! Tentu saja Jeno marah. Meskipun dia merasa lega saat tahu Chenle bersama Mark, tapi tetap saja dia khawatir! Mark juga tidak bilang!

Jeno beralih menatap putranya. "Dan kau. Bisakah kau berhenti membuat ibu khawatir??!" Dia langsung memeluk Chenle erat. "Ibu takut kau kenapa-napa." Suaranya bergetar.

Chenle mengerjapkan matanya saat merasakan pundaknya basah. Dia tidak menyangka ibunya akan secemas ini. "Maafkan aku, ibu. Jangan menangis. Aku salah, maafkan aku." Chenle paling tidak suka melihat ibunya menangis.

Jeno mengangkat kepalanya. Iris indahnya menatap penuh kasih pada sang putra. "Jangan begini lagi. Ibu khawatir."

Chenle mengangguk. Tangan kecilnya mengusap air mata di pipi ibunya. "Ibu jangan menangis. Aku janji tidak akan mengulanginya." Dia menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan sang ibu.

Kedua ujung bibir ibu satu anak ini terangkat ke atas. "Ibu tidak menangis." Dia mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kecil putranya. "Janji yaa. Jangan diulangi lagi. Jangan pergi terlalu jauh. Mengerti?"

Chenle mengangguk-angguk. Dia tidak akan melakukan ini lagi. Dia tidak akan membuat ibunya menangis lagi. Chenle berjanji.

Mark tersenyum teduh melihat pemandangan itu. Hatinya menghangat. "Sekarang ayo pulang. Hari mulai gelap." Dia mengamati sekitar. Sepertinya mereka masih akan berada di hutan bahkan setelah matahari terbenam.

Dan itu membuat Mark khawatir.


























Daun bawang never dieㅋㅋㅋ

Jujur, aku bener-bener gak expect bakal ada banyak yang baca book ini. Padahal dulu sempet ragu banget buat publish:) makasih banyak-banyak pokoknya♡

Batasan | MARKNO [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang