Sinar matahari mulai memasuki celah-celah kamar milik pasangan suami istri yang baru menikah kemarin itu.
Matahari sudah naik lumayan tinggi di luar sana, namun hal itu sepertinya tidak menganggu tidur kedua manusia yang tengah berpelukan di atas kasur ini.
Sampai salah satunya mulai mengerjapkan mata kala secercah sinar matahari pagi mengenai netranya.
Jeno melenguh pelan, membuka perlahan matanya dan mengerjap sedikit untuk menyesuaikan cahaya di kamar ini.
Hal pertama yang Jeno lihat adalah wajah damai Mark. Suaminya itu masih tertidur nyenyak dengan satu tangan yang merengkuh erat pinggangnya, dan tangan satunya lagi digunakan sebagai bantalan kepalanya.
Jeno diam menatap wajah Mark, ia masih belum bergerak dari posisinya.
Kejadian semalam masih segar diingatan Jeno. Bagaimana Mark menyentuh setiap inci tubuhnya, bagaimana Mark begitu lembut memperlakukannya seolah ia ini adalah barang antik yang mudah rusak, bagaimana bibir itu menjamah dan memberikan tanda di seluruh tubuhnya, dan... bagaimana ia dan Mark benar-benar menyatu semalam.
Semua ingatan itu berputar bagai sebuah kaset di kepala Jeno.
"Aku tahu aku tampan."
Lamunan Jeno langsung buyar begitu mendengar suara Mark. Bukankah Mark sedang tidur?
"Hyung sudah bangun?" tanya Jeno bingung.
"Belum. Aku masih tidur," kelakar Mark masih dengan mata tertutup.
Jeno mendengus kesal, ia mencubit pelan perut Mark.
Mark terkekeh, matanya perlahan terbuka untuk menatap wajah istrinya. "Lagian sudah tahu aku yang bicara, kau masih bertanya."
Jeno berdecih pelan, "Ya siapa tahu hyung mengigau," gerutunya seraya melepaskan diri dari pelukan Mark dan bangkit untuk duduk.
"Akhh" Jeno meringis pelan saat bagian bawah tubuhnya terasa sakit karena gerakan tiba-tibanya yang bangun untuk duduk.
Mendengar rintihan Jeno, Mark langsung ikut duduk dan menatap khawatir pada sang istri. "Kenapa??"
Jeno mencoba membenarkan posisi duduknya. "Dibawah, sakit," ucapnya.
Hanya dengan dua kata itu, Mark mengerti apa maksud Jeno. "Apa aku terlalu kasar kemarin?"
Jeno menatap obsidian hitam Mark yang tampak jelas menyiratkan kekhawatiran, "Tidak perlu khawatir, ini bisa sembuh sendiri. Lagipula, mau selembut apapun hyung melakukannya, efeknya juga pasti akan sama."
–'Apalagi dilakukan berkali-kali.' lanjut Jeno dalam hati. Ia tak mungkin menyuarakannya, karena Jeno masih ingat betul perkataannya semalam, 'maka jangan berhenti.' Jeno hanya bisa merutuk dalam hati karena mulut licinnya. Sepertinya ia sudah tertular Renjun.
Mark masih menatap Jeno khawatir. "Benar tidak apa-apa?" Ia hanya khawatir jika sakitnya itu jadi serius.
Jeno menghela napas sabar. "Iya, sayangg. Tidak apa-apa. Jika memang aku perlu obat, aku akan memintanya pada ibu."
Oh, benar. Doyoung 'kan seorang tabib. Bagaimana Mark bisa lupa? Apa ia sudah terlalu tua sekarang?
Ah sudahlah! Kenapa jadi memikirkan itu.
"Baiklah, beritahu aku jik—"
Tok... Tok... Tok...
Ucapan Mark terpotong.
Mark dan Jeno saling pandang. Siapa yang mengetuk pintu kamar mereka pagi-pagi begini. Tunggu. Pagi menjelang siang maksudnya.
Tanpa ingin menduga-duga lagi, Jeno bergerak untuk membukakan pintu itu. Namun, rasa sakit yang terasa dibawah sana kerena pergerakannya barusan, membuat Jeno urung.
"Biar aku yang membukanya," ucap Mark yang mengerti keadaan Jeno.
Jeno hanya mengangguk dan memperhatikan pergerakan Mark dari tempatnya saat ini.
"Maaf mengganggu, Putra Mahkota." Suara Taeil mengudara begitu Mark membuka pintu kamarnya. Ia membungkuk pada Mark
"Tidak masalah." Mark merapikan sedikit penampilannya. Bagaimanapun ia baru bangun tidur. "Ada apa, paman? Ada hal mendesak?"
Taeil diam, tidak tahu bagaimana harus memberitahukannya.
Mark mengernyitkan dahinya, kenapa Taeil tidak menjawab?
"Paman?"
Taeil menegakkan punggungnya, "Maaf Putra Mahkota. Saya ingin memberitahu anda sebuah kabar." Taeil tidak bisa menunda lebih lama. Taeyong yang memberinya perintah.
"Yaa.. Katakan saja." Entah kenapa perasaan Mark tiba-tiba tidak enak.
"Itu... Yang Mulia Ratu..." Taeil menarik napasnya sebentar, "Telah tiada," sambungnya dengan nada lirih, namun masih dapat didengar jelas oleh Mark, bahkan Jeno.
Mark mematung. Seolah tersambar petir di pagi hari, tangannya jatuh lemas dikedua sisi tubuhnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak sekarang.
Mark menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak mungkin..."
"TIDAK MUNGKIN!" Teriakan Mark menggema di seluruh sudut kamar.
"Ibuu..." Tanpa mengatakan apapun lagi, Mark langsung berlari kencang kearah kamar Ten. Bahkan ia sampai menabrak Taeil yang masih berdiri di depannya.
"Ti-tidak... I-ibu.. Ti-tidak mungkin," rancau Jeno setelah kepergian Mark.
Jeno menggelengkan kepalanya berkali-kali, semoga apa yang didengarnya ini salah. Baru kemarin Jeno mulai memanggil Ten dengan sebutan ibu, dan sekarang...??
Tidakk!
Jeno langsung bangkit turun dari kasurnya. "Akhh!" Ringisnya sambil menopang tubuhnya yang sedikit limbung dengan berpegangan pada sisi kasur.
Mendengar rintihan itu, Taeil buru-buru menghampiri Jeno. "Anda tidak apa-apa?" Tanya 'nya khawatir.
"Tidak. Aku tidak apa-apa." Setelahnya Jeno mulai berjalan keluar kamar.
Menghiraukan rasa sakit yang semakin terasa dibagian bawah tubuhnya, menghiraukan fakta bahwa ia masih mengenakan hanbok wanita yang diberikan Renjun, dan menghiraukan tatapan aneh dari orang-orang yang ditemuinya.
Semua itu tidak penting. Yang terpenting adalah Jeno cepat sampai ke kamar sang Ibu mertua. Benar-benar berharap berita itu bohong.
Namun...
Saat mendengar isak tangis semua orang di dalam bahkan diluar kamar Ten, Jeno tidak bisa berpikir positif lagi.
Dan saat matanya melihat kebenarannya, ia langsung terjatuh di depan pintu masuk kamar ibu mertuanya dengan linangan air mata yang tidak berhenti keluar dari netranya.
Disana... Ten sudah terbaring tidak bernyawa diatas tempat tidurnya, dengan senyuman menghiasi wajah pucatnya.
TBC
Gimana ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Batasan | MARKNO [END]✔️
أدب الهواةPersetan dengan batasan. Jeno akan melewati batasannya malam ini. bxb! MARKNO Mark dom! Jeno sub! MPREG! Gak suka? Gak usah baca lah!