"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Taeyong pada Ten setelah Ten siuman.
"Lebih baik." Ten tersenyum lemah kerah Taeyong yang duduk di tepi ranjangnya.
Taeyong menghela napas, mengelus surai istrinya sayang. Sungguh, pikirannya berkecamuk setelah menerima kabar dari Doyoung tadi.
"Jangan memasang wajah seperti itu. Kau seperti bukan Raja Giryeo jika begitu." Ujar Ten dengan sedikit bercanda.
"Tapi kau--"
"Aku tahu. Aku sudah merasakannya dari beberapa bulan lalu. Waktuku tidak lama lagi." Ten memotong ucapan Taeyong. Suaranya melirih diakhir kalimat.
Ten menatap iris milik Taeyong. "Maka dari itu kabulkan permintaan terakhirku." Ungkapnya serius pada sang suami.
Taeyong menunduk, air mata yang ditahannya sejak tadi luruh begitu saja. "Bisakah kau bertahan lebih lama?" Lirihnya.
Tangan kanan Ten terangkat untuk mengusap air mata yang mengalir di pipi Rajanya. "Jangan menangis. Kau adalah Raja Giryeo yang kuat 'kan.."
"Kita tidak bisa menghindari maut, sayang. Jika Tuhan ingin merenggutnya, maka itu yang akan terjadi."
"Aku tidak bisa menjanjikan kehidupan. Karena itu semua ada di tangan Tuhan. Aku akan pergi... Cepat atau lambat." Ten ingin terlihat kuat di depan Taeyong, namun ternyata hal itu begitu sulit.
Ten menangis. Memang siapa yang tidak takut saat mengetahui umurnya tidak lama lagi? Jujur, Ten takut. Karena itu berarti ia akan pergi meninggalkan kedua orang kesayangannya di dunia ini. Namun, disisi lain Ten juga ingin melepaskan semua rasa sakit yang sejak kecil ia derita. Ia ingin bebas.
Taeyong memeluk istrinya. Ia tidak bisa memberikan kalimat penenang apapun, karena pikirannya sendiri sedang kalut.
Ten melepaskan pelukan suaminya. Menatap tepat pada mata Taeyong. "Aku ingin meminta satu hal terakhir."
Taeyong menarik napasnya, mencoba menenangkan hatinya. "Apa?" Tanya 'nya serya mengelus rambut Ten lembut.
"Nikahkan Mark dengan Jeno."
Taeyong memandang Ten bingung.
"Jika Mark meminta izinmu untuk menikahi Jeno, maka izinkan 'lah. Restui 'lah mereka."
"Aku ingin melihat mereka menikah sebelum aku pergi." Ungkap Ten menyuarakan keinginannya.
"Aku tahu mereka bersahabat. Aku tahu Mark menyukai Jeno. Tapi, jika Jeno menolak... Aku tidak bisa memaksanya 'kan?" Taeyong mengatakan keraguannya. Bukan karena ia keberatan tentang Mark yang akan menikahi orang dari kalangan bawah, tapi Taeyong tidak ingin memaksa jika yang bersangkutan tidak menginginkannya.
Ten terkekeh kecil, "Jeno tidak akan menolak. Lagipula mereka berdua sudah menjalin hubungan."
Taeyong terdiam sesaat,
"HAH?! ... APA?! ..."
"Tunggu-tunggu, maksudmu Mark dan Jeno sekarang dalam sebuah hubungan? ... Kekasih?!" Tanya Taeyong dengan raut wajah kaget dan bingung menjadi satu.
Ten tertawa melihat respon suaminya. "Iya, sayang. Mereka berdua kekasih." Ucapnya dengan menekankan kata 'kekasih'
"Heii.. Mark tidak memberitahuku. Dia memberitahumu, tapi tidak denganku?! Awas anak itu nanti." Rajuk Taeyong.
Ten semakin tertawa melihatnya. Ayolah, suaminya sangat lucu sekarang. "Mark juga tidak memberitahuku awalnya, tapi aku menebaknya dan yaa, secara tersirat dia mengakuinya. Dan kau tahu? Aku melihat mereka berciuman tadi pagi." Ucapnya sambil mencubit kedua pipi suaminya.
"Mereka berciuman?!" Seru Taeyong tidak percaya.
"Dimana?" Lanjutnya.
Ten memutar bola matanya malas. "Memang kenapa? Kau seperti tidak pernah muda saja."
Sepertinya pembahasan ini membuat mereka melupakan sejenak tentang kesedihan tadi.
"Hiihh.. Iya, tapii... Dimana mereka berciuman?" Tanya Taeyong tidak sabaran.
"Di kamar Mark." Balas Ten acuh. Sedikitnya ia tidak paham mengapa Taeyong ingin tahu hal itu.
"HAH?! Tu-tunguu... Mereka sudah melakukan 'itu'?!" Raut dan nada bicara Taeyong sudah cukup menggambarkan jika ia terkejut.
Ten yang paham apa makna dari kata 'itu' pun dengan semangat menjelaskannya pada Taeyong. "Belum. Aku memergoki mereka. Ah! Jika saja aku tidak memergoki mereka, mungkin saja kita akan menjadi kakek dan nenek sebentar lagi." Ucap Ten dengan nada setengah kesal.
Taeyong menatap istrinya datar, "Heh. Mereka itu belum menikah." Ucapnya seraya menjitak kening Ten pelan.
"Ya memang belum. Tapi 'kan mereka sudah sama-sama dewasa. Mark sudah 25 tahun, dan Jeno juga sudah 24 tahun." Ten mengeluarkan argumennya. "Jadi, tidak masalah jika mereka melakukan 'itu' kan."
"Masalah. Mereka belum menikah. Titik." Sanggah Taeyong.
Jawaban dari sang suami berhasil membuat Ten menekuk wajahnya. "Ya sudah. Intinya kau merestui mereka kan?"
Taeyong menatap Ten teduh, mengusap sayang pipi dan rambut istrinya bergantian. "Jika mereka bahagia, tidak ada alasan untuk aku keberatan."
__
"Merasa lebih baik?" Tanya Jeno seraya menjauhkan kepala Mark dari bahunya. Menatap penuh sayang ke obsidian hitam yang lebih tua.
Mark mengalihkan pandangannya dari Jeno, "Hah... Memalukan." Gumamnya yang masih bisa didengar oleh Jeno.
"Apanya yang memalukan?" Sahut Jeno.
Helaan napas terdengar keluar dari bibir Mark. "Aku menangis seperti anak kecil... dihadapanmu. Itu memalukan."
Hidung bangir Jeno mendengus, "Kenapa itu memalukan? Hyung itu manusia biasa. Bukan suatu kesalahan jika kita menumpahkan emosi kita."
"Aku senang hyung mau menangis dihadapanku, mengeluarkan keluh kesahmu padaku, menjadikan bahuku tempatmu mengeluarkan air mata. Meskipun aku tidak dapat memberikan solusi apapun, namun aku bisa menjadi tempatmu bercerita." Jeno menjeda sebentar.
"Karena terkadang... kita hanya perlu untuk didengar." Lanjutnya.
Jeno melingkarkan tangannya pada pinggang sang kekasih, menatap wajah orang yang telah berhasil membuatnya jatuh berkali-kali.
"Hyung tidak sendiri. Aku ada disini. Kapanpun hyung bersedih, lihatlah aku."
"Aku akan memelukmu tanpa mengatakan apapun. Aku akan mendengarkan semua ceritamu." Jeno membelai penuh kasih pipi kiri Mark.
"Jangan merasa sendiri. Aku ada disini, sayang."
Jeno mengecup bibir Mark.
Hanya sekilas, kemudian ia menjauhkan wajahnya dan memberikan senyum manis pada sang kekasih.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Batasan | MARKNO [END]✔️
Fiksi PenggemarPersetan dengan batasan. Jeno akan melewati batasannya malam ini. bxb! MARKNO Mark dom! Jeno sub! MPREG! Gak suka? Gak usah baca lah!