Aku hanya menyimaknya dengan perasaan takjub, bagiku, ini pertama kalinya dalam hidup tiba-tiba merasa sangat antusias terhadap seseorang.
Aku menyukainya.
Aku menyukai orang ini.
Aku-Aku suka padanya, karena caranya memperlakukanku terasa sangat lembut. Memberi kesan sangat janggal bagiku yang terbiasa melakukan segala sesuatu seorang diri.
Aksi dirinya memijit bahuku, itu salah satu yang tidak pernah kudapatkan. Terlebih lagi, ternyata bukan yang terakhir. Selama beberapa jam diperjalanan, setelahnya aku terus mendapati mas Jes memperlakukanku dengan sangat baik.
Ia masih terus menolongku dengan bantuan kecil dan hal sederhana lainnya. Seperti membuka tutup botol mineral, yang anehnya mendadak sulit kubuka. Ia juga membagi kudapannya denganku, membantuku menghabiskan sayuran yang kusisihkan dimakan siang yang kubeli.
Bahkan, sesekali ia membiarkan kepalaku jatuh miring tertopang dibahu kanannya. Aku baru sadar, setelah tanpa sengaja aku mendengarnya mengerang dan meremas bahunya yang mungkin terasa kebas itu.
"Pangestu, kalau kamu suka apa?" Kembali pada pembahasan perihal hobi. Suara itu memecah lamunanku, keterpanaanku padanya.
Suaranya yang sempat samar karena aku terlalu fokus memperhatikannya, kini jadi jelas kembali.
Setelah berjam-jam sejak pertemuan, kami akhirnya memutuskan untuk berbicara santai satu sama lain.
"Oh, iya. Emmm, aku- juga suka Dewa 19 " Bohongku, ya mau bagaimana lagi? Toh aku gengsi kalau harus mengaku menyukai lagu ballad seperti Tulus, Salpriadi, atau Hindia. Takut dikatai pemuda melankolis.
Pengakuanku suka pada Dewa 19, selain takut dikatai berhati lembek, aku juga entah mengapa rasanya ingin membuat pria ini tertarik padaku, setidaknya karena selera musik kami sama.
Aku jelas tak mau membuat seleraku tentang musik ballad, jadi olok-olokan mas Jes yang seleranya musiknya jauh lebih maskulin jika dibandingkan denganku.
Sebenarnya, aku tak bisa menampik, bahwa saat bersama Mas Jes. Ada banyak pelangi yang terbit diantara kami, rasanya menyenangkan sekali bercakap banyak hal dengannya.
Hal sederhana, seputar hobi. Lalu hal serius seperti ekonomi dan politik dunia, sampai pada bagian percakapan lucu. Misalnya,
"Mas Jes habis dari mana ngomong-ngomong?"
"Iya, tadi aku habis kunjungan ke cabang di Bandung, Dago dan ci embelit"
"Ciembelit? " aku tak bisa menahan tawaku.
"Iya, kenapa ketawa?"
"Ciumbuleuit, mas" Kataku, berusaha memperbaiki pelafalan mas Jes.
Mas Jes tertawa seolah hari esok tidak akan ada, sepertinya ini semacam lelucon baginya. Padahal pelafalan daerah itu memang begitu adanya.
"Ci-um-bu-leu-it" Aku mengeja, berharap ia mau ikut mengeja bersamaku.
"Ci-um-bu-leu-it" Mas Jes berusaha mengulang ejaanku, dengan sabar dan terlatih.
"Coba langsung ucapin !" Seruku, bertitah seolah ini adalah misi rahasia yang harus berhasil dilakukan.
"Ciembelit" Namun tetap gagal.
Kami akhirnya hanya bisa tertawa terbahak. Untung saja gerbong yang kami tumpangi tak begitu banyak orang.
Memang Ciumbuleuit yang menjadi salah satu Daerah dan pusat kuliner di kota Bandung ini, sangat sukar untuk dilapalkan, bahkan bagi orang sunda sekalipun.
Tak ada habisnya, kami sama sekali tidak kehilangan energi untuk terus mengobrolkan banyak hal. Terakhir, Mas Jes memuji namaku yang unik. Pangestu Gusti. Ia memicing, penasaran tentang makna yang ada dibalik namaku ini.
"Pangestu, dalam sunda yang artinya berkah atau anugerah, sedangkan Gusti berarti penyembahan terhadap entitas mulia. Entah mungkin Tuhan, atau kalau jaman kerajaan dulu, ya Gusti Pangeran, dan para pewaris darah keraton yang diagungkan. Ohya, kalau kamu manggil aku estu, diambil dari kata pangestu, artinya jadi beda lagi loh mas. " Jelasku padanya.
"Hah? Jadi apa artinya?"
"Estu dalam Bahasa sunda berarti, 'Tentu saja' " Jelasku.
Mas Jes nampak tercengang, mengangguk seolah-olah mendapatkan ilmu baru selama 32 tahun dalam kehidupannya.
Perjalanan kami akhirnya terhenti di stasiun terakhir, ini artinya kami harus siap untuk berpisah. Lalu aku merasa seperti ada ceruk kosong dalam hatiku. Ada ganjalan serius didada. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.
"Estu, boleh aku minta nomormu?" Mas Jes menatapku nanar, sepertinya ia merasakan hal yang sama denganku. Bedanya, pria ini jauh lebih berani. Selalu ia yang berinisiatif.
" 'Tentu saja' "
Kami tertawa.
Aku secara otomatis menyambar ponselnya, menyematkan nomorku diantara kontak koleganya, hal ini sebagai satu-satunya cara agar kami dapat tetap berhubungan setelah perpisahan ini terjadi.
"Ini mas nomorku," aku menyodorkan kembali ponselnya, sambil tersenyum kikuk.
"Terimakasih, senang bertemu denganmu. Pangestu. " Mas jes menyalamiku, lalu berjalan lebih dulu meninggalkanku.
Aku bisa melihat punggungnya yang bidang itu pergi menjauh. Semakin jauh hingga akhirnya hilang diantara kesibukan dan hiruk pikuk stasiun.
Semoga kami bisa bertemu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
JESBIBLE'S STORIES
NouvellesKumpulan kisah fiksi Jes dan Bible, dengan berbagai genre dan judul berbeda. Pasti tamat, tetapi tidak akan pernah berakhir. Ditulis oleh Nongskm_v sebagai cara untuk mendukung Jes Pipat dan Bible Wichapas sumettikul. Semoga kamu suka, terimaka...