Serpihan kaca bekas pecahan gelas dan piring setelah sarapan masih berserakan. Begitu pemandangan yang hampir setiap hari Salira saksikan setelah pernikahan paling enggan untuk ia jalankan. Setiap hari juga ia mendapatkan bentakan-bentakan yang menyayat hati dan menumpuk di pikiran.
Semua itu ulah Arsen, suami Salira yang digadang-gadang adalah pemain judi paling terkenal. Bersikap kasar seolah Salira tak punya perasaan. Kecuali di saat-saat tertentu. Benar. Saat ia menginginkan tubuh Salira. Itu pun kalau Arsen sedang dalam keadaan sadar. Kalau dipengaruhi Alkohol, sama saja, memperlakukan Salira bak hewan yang tak pantas mendapat rasa belas kasihan.
Barangkali semua ini adalah part dalam hidup Salira untuk menebus kesalahan-kesalahan yang sebenarnya bukan ia pelakunya. Hingga tiga bulan pernikahan, perempuan itu belum sama sekali mencicipi rasa bahagia dalam sebuah rumah tangga.
Siang ini ia baru saja pulang setelah interview di perusahaan yang ia lamar. Tubuhnya lelah dan butuh istirahat namun tidak bisa. Kepulangannya di sambut dengan ocehan Arsen karena ia belum saja memberikan uang yang suaminya minta.
"Bagus..." Terdengar suara yang semakin mendekat saat Salira berhasil menutup pintu rumah. Diiringi dengan tepukan tangan.
"Bagus Ra, keluyuran sampai lupa sama apa yang aku minta." Lanjut Arsen.
"Maaf mas, tadi pulang dari rumah Papa aku langsung interview kerja."
Masa-masa Salira ketakutan dengan perlakuan Arsen sudah terlewati. Kini, apapun makian Arsen sudah terbiasa ia dengar dan tidak mau terlalu ia pikirkan.
"Nggak usah banyak alasan! Mana duitnya? Tinggal transfer doang apa susahnya?!"
"Buat apa uang segitu?"
"Banyak bacot! Mana hp kamu?"
Arsen merebut tote bag dari tangan Salira dengan kasar. Tentu perempuan itu tak memiliki daya untuk mempertahankan miliknya. Sebab percuma saja, pertahanannya justru akan menyakiti Salira.
Setelah berhasil menemukan ponsel istrinya, Arsen segera membuka m-banking. Mengirimkan sejumlah uang pada rekeningnya sesuai yang ia minta.
Terdengar Salira yang menghembuskan nafasnya dengan pasrah, "Itu uang terakhir yang bisa aku usahakan. Aku nggak mau Papa Mama curiga ternyata selama ini anaknya hidup menderita. Suka minta uang yang katanya buat belanja ternyata buat foya-foya suaminya."
"Thank you, Bitch." Bisik Arsen lalu melenggang pergi meninggalkan rumah.
***
Sungguh nasib buruk rasanya hari ini. Setelah melakukan permainan dengan Bara, Axel dan Nathan melawan komplotan lainnya, tidak ada uang yang tersisa dari banyaknya uang yang Arsen dan komplotannya bawa. Semuanya lenyap dalam waktu kurang dari satu jam.
"Bangsat." Arsen membanting botol alkohol hingga pecah.
"Tenang Sen, besok kita coba lagi. Siapa tau hari ini mereka emang lagi beruntung." Ucap Axel yang berusaha menenangkan sahabatnya.
"Tapi Xel, sebulan terakhir kita lagi kalah terus. Perhitungan kita selalu salah apalagi kalo main sama bedebah tadi." Timpal Bara.
Nathan mengangguk setuju, "Sial banget nasib kita."
Semuanya hening dalam pikirannya masing-masing. Mencari cara agar besok mereka bisa kembali ke tempat ini lalu melakukan permainan lagi. Di antara keempat orang tersebut, baru Arsen yang memiliki istri. Sementara yang lain, belum terpikir sama sekali karena menganggap masih terlalu muda di umur ke 25.
"Besok masih pada bisa bawa uang lagi kan? Kita naikin ya masing-masing 30 juta." Usul Nathan.
Semua setuju kecuali Arsen, "Perusahan bokap sama nyokap udah mulai bangkrut, Salira baru interview kerja. Katanya dia juga udah nggak mau lagi minta ke orang tuanya. Terus gue dapet duit dari mana dong?"