Kalaulah ada yang bertanya apa yang Salira inginkan saat ini, maka dengan lantang bibir itu akan mengucapkan tentang kebahagiaan hidup barang sejenak yang dapat ia rasakan seperti saat awal pernikahan. Sungguh berat menerima keadaan yang berbanding terbalik dengan apa yang dijanjikan di awal. Bukankah saat perjodohan itu berlangsung, Arsen tidak hanya berniat menikahi, tapi juga mau mencintai dan memahami?
Lalu, kemana niat itu pergi?
Seolah ditelan waktu yang bergerak sangat cepat bak roda kereta tempur saat perang.
Hidup Salira tidak pernah lagi menemukan bahagia semenjak Arsen semakin tenggelam dalam dunia malam. Lelaki itu tak hanya mempertaruhkan hartanya demi kepuasan ego tapi juga menjatuhkan harga diri istrinya.
"Bajingan!" Gumam perempuan yang kini mulai beranjak dari tempatnya mengistirahatkan diri.
Jiwa yang dahulu selalu bergelora, kini seperti terbungkus dalam kepompong. Salira sangat merindukan kebebasan hidup yang pernah ia rasakan. Berdiri di depan cermin, melihat sosok wanita yang sangat lelah dengan hidupnya. Wajah yang pucat dengan lingkaran hitam menyelimuti matanya. Badannya terasa sangat remuk, langkah kakinya begitu berat untuk dibawa melewati segala luka yang sudah tidak tahu bagaimana menyembuhkannya.
Mata indah yang seharusnya terpancar kebahagiaan, kini dipenuhi rasa sakit dan takut. Mengusap lembut pipinya karena tidak akan ada lagi yang melakukan itu selain dirinya.
"Bertahan sekali lagi, Ra." Ucapnya pada diri sendiri.
Ponselnya bergetar, segera ia ambil benda pipih itu yang berada di atas nakas. Terdapat tiga notifikasi dari Arsen yang membuat sesak di dadanya semakin terasa memilukan. Salira memejamkan matanya, mencari segala bentuk ketenangan yang mungkin sudah lenyap dari pandangan.
"Pa, Lira kangen. Satu-satunya laki-laki yang nggak akan nyakitin Lira cuma Papa."
Matanya sudah lelah menangis hingga Salira hanya mampu berserah diri dengan apa yang terjadi nanti. Sudah tidak ada harapan tentang kehidupan yang membahagiakan karena saat ini, ia hanya melanjutkan hidup sampai waktu berhenti.
Dengan langkah gontai, ia membawa diri ke meja makan. Menilik apakah suaminya masih perduli dengan menyisakan makanan untuk sarapan? Atau justru semakin kejam dengan membiarkan Salira kelaparan. Tapi bukanlah Arsen yang menginginkan Salira mati. Lelaki itu justru ingin istrinya tetap hidup. Sebab itu Arsen selalu menyediakan makanan yang sehat dan Salira suka.
Perhatian itu bukanlah karena sisa rasa sayang yang Arsen punya. Tetapi karena kalau Salira mati, maka akan mati pula kesenangan yang ia lakukan setiap malam.
Lidahnya kelu namun tetap Salira paksa untuk mengunyah. Tenggorokannya sakit untuk menelan karena di balik duduknya yang tenang, ia sekaligus menagan sesak untuk menghadapi hari-harinya ke depan.
***
Rasanya belum hilang trauma yang menumpuk beberapa hari terakhir. Tapi malam ini Salira sudah dipaksa lagi untuk bertemu laki-laki yang tak dikenalnya. Seolah ia memang harus terbiasa terbelenggu dalam koridor yang jauh akan belas kasih.
Arsen membuka pintu dan mendapati Salira tengah duduk di tepi ranjang. Pakaiannya sudah rapi, sengaja Salira bersiap agar tak lagi mendapatkan pukulan kalau ia terlambat. Tubuhnya benar-benar remuk, bahkan setelah penyiksaan hari kemarin, Arsen sama sekali tak memberinya obat.
"Nah gini dong tiap hari, udah siap-siap, jadi aku nggak perlu mengeluarkan emosi." Ucapnya dengan kekehan yang menjengkelkan bagi Salira.
Perempuan itu tak bergeming. Malas dengan gurauan tak lucu dari mulut Arsen.
Malam yang dingin menjadi peneman tangis tanpa air mata. Salira sudah bersiap untuk bertemu dengan klien yang Arsen katakan. Pandangannya benar-benar kosong, kakinya terasa berat untuk melangkah.