6

4.1K 211 44
                                    

Mobil melaju perlahan di antara deretan kendaraan yang merayap ditengah hiruk pikuk kota Jakarta. Di luar sana, terlihat banyak orang yang berlomba-lomba untuk sampai ke tujuan yang mereka inginkan. Namun, di dalam mobil ini, suasana terasa begitu tenang. Hanya suara desiran AC dan detak jantung yang terdengar. Pandangan Salira lurus ke depan, pikirannya melayang jauh, merenungkan segala sesuatu yang telah terjadi tanpa ia melakukan persiapan diri.

"Sal, are you okay?" tanya Lian yang mulai membuka suara karena hampir setengah perjalanan, keduanya saling diam tanpa kata.

Tidak ada jawaban yang Salira berikan, bahkan menoleh pun tidak. Lian menepikan mobilnya,

"Sal, what's wrong with you?" tanya Lian lagi.

Salira menoleh, "Aku takut, Mas.." lirihnya.

"Apa yang bikin lo takut? Lo udah nggak di kamar itu, udah nggak sama si tua itu juga." Lian mencoba memberikan rasa tenang lewat genggaman.

Salira menarik napasnya dalam-dalam, air mata yang ia tahan, akhirnya luruh juga. "Aku takut Mas Arsen marah, terus mukulin aku lagi. Aku capek, Mas. Aku capek bertahan sama hidup yang kayak gini."

"Hei," Tangan kanan Lian mengusap lembut pipi Salira yang sudah basah karena air mata, "Arsen nggak akan tahu soal ini. Dan sekarang gue bawa lo pergi, biar lo bisa lihat lagi dunia yang seluas ini. Lo hirup udara sebanyak-banyaknya. Tenang, Sal, Arsen nggak akan lihat. Gue bawa lo ke tempat yang bukan levelnya dia."

Salira menatap mata teduh milik Lian. Cairan bening dari matanya terus turun kala membayangkan jika Arsen selembut Lian, pasti ia tidak akan hidup penuh ketakutan. Salira merapatkan kedua matanya, merasakan hangat genggaman Lian.

"Mobil ini nggak akan jalan, kalau lo masih nangis. Gue kayak bujuk anak paud, deh."

Salira membuka mata dan melepaskan tangannya dari genggaman Lian. Menyerka air mata dengan tangannya sendiri, "Sorry."

"Gue jadi takut salah ngomong," gumam Lian, lalu kembali mengemudi.

***

Langkah kaki Salira terhenti di depan pintu kaca besar. Ia bahkan lupa, kapan terakhir kali bisa duduk santai disebuah tempat sambil menikmati makanan yang lezat. Interior kayu hangat berpadu dengan sentuhan modern, menciptakan suasana nyaman dan tenang. Aroma kopi menyengat di udara, bercampur dengan wangi rempah-rempah yang menggugah selera. Lian benar-benar membawa Salira ke tempat yang tidak mungkin diketahui oleh Arsen.

"Mau berdiri di situ sampai kapan? Ntar Arsen lihat," ucap Lian, membuat Salira tersentak dari lamunan.

Salira melangkah masuk mengikuti langkah Lian, "Kamu sering ke sini, Mas?"

"Iya. Tempat favorit gue,"

Mereka di sambut dengan hangat, "Mau duduk di bawah atau atas, Mas?"

"Di atas aja, buat dua orang."

Waitress itu mengarahkan keduanya menuju lantai atas. Malam ini tidak begitu ramai sehingga tempat duduk di atas masih banyak yang kosong. Setelah Lian dan Salira duduk, mereka diberikan barcode untuk scan menu yang ingin dipesan.

"Lo pesen apa aja yang lo mau. Makan yang banyak, Sal. Disiksa suami juga butuh tenaga."

Salira terkekeh mendengar itu, "Kasihan banget ya aku, makan banyak cuma untuk disiksa suami."

Pesanan mereka sedang diproses, sembari menunggu, Salira mengambil ponselnya. Memberikan benda pipih itu pada Lian,

"Aku minta tolong fotoin dong. Mau dikirim ke Mama dan Papa,"

Lian menerima ponsel itu dengan tatapan bingung.

"Biasanya aku kasih kabar ke mereka lewat foto. Beberapa waktu ini nggak sama sekali. Kebetulan malam ini ada di sini, biar mereka tau kalau anak perempuannya baik-baik aja." Salira berusaha tegar menunjukkan senyumnya.

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang