Setelah menghabiskan dua malam bersama Lian, Salira harus kembali masuk kedalam kandang singa yang selalu siap siaga untuk memangsanya. Baru saja ia merasa lega karena bertemu klien yang tidak menyentuhnya, Arsen kembali mendapatkan klien untuk Salira. Semesta seolah tak memberi jeda untuk segala sakitnya. Barang sekejap saja, Salira harus kembali merasakan neraka dunia.
Salira masuk kedalam rumah, disambut tepuk tangan oleh Arsen. Mencengkram bahu Salira dengan kuat, "Kenapa baru pulang sekarang? Lian kasih kamu bayaran tambahan? Mana uangnya?"
Arsen kesetanan meraba seluruh tubuh Salira untuk menemukan beberapa lembar uang yang mungkin Lian berikan. Handbag yang perempuan itu genggam dirampas paksa dan Arsen menghamburkan seluruh isinya hingga berserakan di lantai. Ponsel Salira terhempas begitu saja,
"MAS?!" teriak Salira, "Aku nggak dapetin uang apa-apa dari Lian! Berhenti main judi, Mas. Kamu udah nggak waras!" maki Salira dengan air mata yang tumpah dari penampungannya.
Dadanya naik turun meluapkan sedikit emosi yang terpendam. Sementara Arsen, ia sudah melayangkan tamparan ke pipi Salira. Perempuan itu meringis, memejamkan matanya dan kembali menahan sakitnya.
"Sakit? Mau di tampar lagi? Atau mau aku tendang kayak gini," Arsen menendang kaki Salira tepat dibagian tulang keringnya. Perempuan itu tersungkur akibat tendangan yang cukup kuat.
Tangan Salira seolah meremas lantai menahan sakitnya. Kalau ada cara lain menumpahkan segala sakit selain menangis, maka Salira akan lakukan. Arsen berjalan meninggalkan Salira. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, kakinya sengaja menginjak jemari yang terbuka,
"Awww! Sakit, Mas!" teriak Salira diiringi isak tangisnya.
Seolah tidak mendengar rintihan, Arsen pergi begitu saja. Ia mengunci pintu agar Salira tidak kemana-mana, karena malam ini perempuan itu akan kembali bekerja—melayani pria hidung belang yang entah dari mana saja datangnya.
Salira mengambil satu per satu barangnya yang berserakan. Layar ponselnya sedikit retak, untuk tidak mengenai bagian paling inti—LCD. Daripada terus menangisi nasib, Salira memilih untuk tidur saja.
Setelah membersihkan diri, Salira merebahkan diri diatas ranjang. Memandangi tangannya yang tadi diinjak oleh Arsen,
"Semua yang Papa jaga dari dulu, udah remuk semua, Pa. Tubuh Lira sakit semua..." pandangannya sedikit kabur karena air mata yang menghalangi. Salira, menangis lagi.
Salira bangkit, mengambil salep yang ada didalam laci. Membuka tutupnya, mengoleskan pada jemari-jemarinya yang kemerahan. Pikirannya kembali pada Lian, yang dua hari lalu dengan telaten mengoleskan salep pada beberapa bagian tubuhnya. Ingin sekali menghubungi laki-laki itu, namun takut menganggu.
***
Sudah pukul sepuluh malam, waktunya Salira pergi menemui klien yang sudah membayar. Tatapannya kosong padahal jalanan begitu ramai. Setiap helaan napasnya terasa berat, seolah membawa serta beban kehidupan yang tak terhingga. Air matanya mengalir deras membasahi pipi.
"Nggak usah nangis. Bukannya enak ya bisa main sama laki-laki yang berbeda setiap malamnya?" Arsen melirik Salira.
Seakan tidak memiliki kata untuk berucap, Salira memilih diam tanpa menoleh ke sumber suara yang terdengar menjijikan ditelinga. Pandangan beralih kesamping kiri, melihat sepasang kekasih sedang berbicang diatas motor dengan tawa yang menghiasi. Bahkan saat lampu lalu lintas menghentikan laju kendaraan, Salira tidak dapat merasakan bagaimana bahagianya saling bertukar cerita tentang keadaan sekitar yang ada di depan mata.
Sejenak, ada rasa tenang yang Salira syukuri. Dari semua kesakitan yang dirasakan, Tuhan seakan memahami bahwa Salira belum bisa dititipkan rezeki berupa anak. Sering kali ia membayangkan, jikalau anak itu tumbuh di rahimnya, Arsen pasti akan menyiksa bayi itu habis-habisan.