Kehidupan memang selalu penuh teka-teki yang tiada henti. Banyak sekali pertanyaan yang harus ditemukan jawabannya. Ribuan luka berhasil masuk tanpa diminta. Kalau saja manusia dapat mengatur segalanya, maka tiang bahagia adalah yang paling utama.
Kesengsaraan yang terus berlanjut, sering kali membuat Salira ingin menyudahi segala doa. Ia benar-benar sudah berada dititik paling bawah. Pilihannya hanya pasrah atau justru menyerah.
Sudah satu minggu, Salira tidak menghirup udara luar. Pikirannya selalu kacau akibat ulah Arsen yang terus memintanya untuk menggugurkan kandungan. Beruntung, Salira selalu punya cara untuk mengulur waktu. Selama satu minggu juga, klien yang datang adalah orang yang sama, yang diminta Lian untuk datang. Entah berapa banyak uang yang sudah laki-laki itu habiskan untuk membayar keselamatan tubuh Salira.
"Mas, kamu pulang hari ini, kan? Harusnya udah sampe Jakarta nggak, sih?" tanya Salira melalui panggilan video yang sudah terhubung sejak tadi.
Lian justru tertawa, "Kamu kangen aku, ya?"
"Kepedean banget!"
"Keliatan dari mukanya, tuh. Muka kangen Lian," goda Lian.
"Tenang aja, malam ini kamu sama aku," lanjut Lian.
Mati-matian Salira menahan senyumnya, "Mas," panggilnya.
"Iya?" sahut Lian.
"Aku pengin cireng isi ayam,"
"Minta ke suami kamu. Aku kan bukan suami kamu," ucap Lian.
"Oh, iya."
Niat hati hanya bercanda, namun Salira sepertinya merasa tersinggung saat mendengarnya. Sambungan telepon itu diputuskan secara sepihak. Salira melipat kedua kakinya, lalu mengambil bantal dan menutupi wajahnya.
Ponselnya berdering berkali-kali, namun tetap diabaikan tanpa mempedulikan siapa yang melakukan panggilan itu. Ia menangis tersedu-sedu. Sesekali mengusap perutnya dan berkata,
"Maaf, ya, Mama nggak bisa beliin cirengnya. Mama nggak punya uang dan nggak bisa keluar juga. Kamu jangan minta yang aneh-aneh, kita makan apa yang ada di rumah ini aja."
Sangat menyedihkan. Bukan hanya dirinya yang menderita, tapi janin yang masih sangat kecil itu pun harus merasakan hal yang sama.
"Kamu yang kuat, ya. Kamu alasan Mama mau mencoba untuk bertahan lebih lama,"
Tangisan itu terhenti seketika saat pintu kamar terbuka dan menghasilkan suara yang mengusik telinga. Arsen datang dengan amarah yang menggebu, entah apa sebabnya.
"Sini! Ikut aku!" Arsen menarik lengan Salira secara paksa.
"Mas, aku bisa jalan sendiri. Jangan tarik kayak gini, sakit."
"Diem anjing!" maki Arsen dengan suara yang membuat Salira terkejut.
Arsen membawa Salira ke dapur. Dengan satu gerakan cepat, Arsen memutar knop kompor hingga desisan kecil terdengar saat gas menyala, diikuti oleh api yang menari-nari.
"Mas, kamu mau ngapain?" Salira mulai panik.
Arsen membawa telapak tangan Salira tepat di atas api yang menyala. Salira berteriak akibat panas yang dihasilkan. Berusaha menarik tangannya, namun Arsen mencengkram kuat pergelangan tangan Salira.
"Mas, panas! Sakit, Mas. Lepasin. Kamu kenapa, sih?" tanya Salira dengan suara yang bergetar.
"Mas... cukup."
Tidak lama tangan itu berada di atas api yang menyala, karena Arsen segera melepaskan. Tubuh Salira terjatuh, terduduk lemas dengan tangan kiri yang mencengkram kuat pergelanangan tangan kanannya.