Menata kembali kehidupan yang sempat mati, terkadang membuat manusia berpikir bahwa semesta itu selalu adil memberi waktu dan jeda. Waktu untuk menikmati banyak suka dan jeda untuk dijadikan pelajaran dalam setiap duka yang melanda.
Setelah sekian lama, hari ini Salira berkunjung ke rumah orangtuanya. Penangkapan Arsen ternyata diketahui oleh banyak media. Anak tunggal dari pasangan yang memiliki perusahaan properti nomor satu di Indonesia, mendadak ramai diperbincangkan. Bangkrutnya perusahaan itu juga menjadi perbincangan hangat di semua kalangan.
"Maafkan Papa, Nak. Maaf..." Abraham memeluk erat anak perempuannya.
"Karena kesalahan Papa, anak cantik Papa harus menanggung akibatnya." Abraham menatap Salira dengan tatap menyesal.
"Sakit, Nak?" tanya Abraham.
Bibir Salira bergetar, "Sakit, Pa..." lirihnya.
Abraham kembali membawa Salira untuk ia dekap dengan erat. Seorang ayah yang ingin melindungi dan tidak akan membiarkan anaknya terluka lagi. Usapan lembut pada kepala Salira terasa begitu hangat.
"Maafkan, Papa, Nak."
"Papa, udah, ya. Papa nggak salah. Ini semua udah jadi garis takdir yang harus Lira jalani. Sekarang, anak Papa udah ada di sini. Lira mau tinggal sama Papa dan Mama, di sini."
Salira melepaskan dekapannya, menatap Sinta yang sedari tadi mematung di tempatnya. Saat pandangan mereka bertemu,
"Sini sayang, anak cantik Mama." Sinta melebarkan kedua tangannya dan Salira segera menghampiri.
"Mama..." lirihnya.
Hembusan napas Sinta terdengar sangat berat, seperti ada banyak beban yang tertumpuk.
"Ya Allah... anakku..." ucap dengan penuh penekanan.
"Lira, kenapa selama ini diam aja sayang? Maafin Mama dan Papa, ya, Nak. Hati Mama sakit sekali melihat anak cantik Mama penuh dengan luka fisik dan batin."
Sinta menangis tersedu-sedu. Bahkan, isak tangisnya lebih terdengar memilukan dari Salira. Bagaimana tidak? Ia adalah seorang ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawat Salira dengan banyak kasih sayang. Tentu hatinya sangat hancur, karena anak yang selalu dijaga, harus menerima penderitaan yang tiada habisnya.
"Mama, Lira udah ada di sini. Lira baik-baik aja," ucap Lira seraya mengusap punggung Sinta dengan lembut.
Sinta melepaskan pelukannya, meraih tangan Salira yang terbalut kain kasa.
"Ini tangan Lira kenapa sayang?" tanya Sinta.
"Mama, Lira laper. Mama masak apa hari ini?" Salira tidak ingin orangtuanya semakin merasa gagal, sehingga is memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
"Mama masak makanan kesukan, Lira. Ayo, kita makan, Nak. Kamu udah kurus sekali, Lira nggak dikasih makan sama Arsen?"
"Mama, nggak usah bahas laki-laki itu lagi, ya?"
Sinta mengelus pipi Salira, "Iya, mulai hari ini, Lira kembali ke rumah dan kita akan menyusun lagi kebahagiaan yang harusnya kamu rasakan."
Salira tersenyum seraya mengusap perutnya, "Semoga Lira kuat, ya, Ma. Ada anak yang mungkin nanti akan mempertanyakan dimana ayahnya, semoga Lira bisa kasih jawaban biar dia ngerti."
Sinta kembali memeluk erat putrinya. Abraham ikut bergabung mendekap penuh kasih dua perempuan kesayangannya. Hanya sebatas kekerasan dalam rumah tangga yang orangtuanya ketahui. Perihal bagaimana Arsen menjual Salira ke berbagai laki-laki, sengaja tidak ia ceritakan. Memilih menyembunyikan saja agar tidak semakin membuat rasa bersalah itu tumbuh dalam benak kedua orangtuanya.