BAB 1
ANZARS Gatama, siapa yang tak mengenal dia?
Anzars yang terkenal karena ketampanan diatas rata-rata, orang terkaya di SMA Garda, memiliki otak jenius dan satunya lagi terkenal karena kebucinannya pada sang kekasih—Elina Datasya.
Elina yang biasa dipanggil EL bukanlah gadis keturunan orang kaya, bukan orang terpandang dan bukan keturunan bangsawan. Namun, Elina hanyalah gadis biasa, gadis yang tak memiliki harta, gadis beasiswa di SMA Garda dan gadis yang hidup sederhana. Dan siapa sangka kriteria gadis tersebut memikat hati seorang Anzars dengan kesederhanaan yang cewek itu punya.
Banyak pro dan kontra, suka dan tidak suka, iri dan tidak iri, Anzars tak mempedulikan itu semua. Walaupun kadang Elina risih dengan tanggapan orang-orang, Anzarslah yang akan pertama sekali menyemangati Elina.
Anzars sudah berjanji dengan dirinya, Elina, akan menjadi miliknya selamanya, menjaganya dan menjadi teman hidupnya.
Tapi janji hanyalah janji, semua telah diingkarinya. Dia bukan lagi Anzars yang akan selalu disisi Elina, Anzars bukan lagi menyemangati Elina, Anzars bukan lagi tempat sandaran Elina. Anzars sekarang akan menjadi alasan benci Elina dan akan berusaha membuat cewek itu membenci dirinya seumur hidupnya.
"Zars, mama masih belum suka sama hubungan kamu dengan Elina." ucap Mira, mama Anzars. Wanita berumur 37 tahun itu masih terlihat cantik dan muda. Wanita itu telah berpakaian rapi ala kantoran dan duduk di depan Anzars.
Keduanya kini tengah sarapan pagi di ruang makan.
Anzars berhenti menguyah roti dan menelannya dengan susah. "Kalau belum, kenapa ma?"
"Kamu harus putusin pokoknya Elina itu nggak setara sama kita."
Mira mendengus. Dari awal mendengar hubungan itu Mira sama sekali tidak senang. Elina sangat bedah jauh dengan Anzars, anaknya terlalu dewa untuk Elina yang hanya dayang-dayang.
Kasta mereka sangat jauh, mana mungkin Mira menyetujui Anzars dengan Elina yang tidak jelas selat belutnya, bibit bobotnya terlebih lagi Elina terlalu kampungan untuk dijadikan menantunya.
Sama sekali Mira tidak sudi jika seandainya Elina jadi menantunya. Amit-amit.
"El baik kok sama mama, El juga nganggap mama kayak mamanya sendiri. Harusnya mama berusaha buka hati mama untuk Elina." Ucap Anzars menyudahi sarapannya. Ia menenguk susu cokelatnya sampai habis. Selera sarapannya hilang begitu saja padahal perutnya masih lapar.
Sedangkan Mira masih sibuk mengolesi roti dengan selai rasa kacang, tidak ada minat mendengarkan ucapan Anzars. Bangaimana lagi Elina itu memberikan efek banyak buat Anzars, contoh kecil mulai berani melawannya.
"Baik doang nggak cukup sama mama. Uangnya bagaimana, hartanya bagaimana, keluargannya bagaimana. Mama butuh itu semua." Ucap Mira sambil memotong roti dengan pisau, kemudian memasukkannya ke dalam mulut. "Menantu mama harus berkelas bukan abal-abalan apalagi kayak Elina."
Anzars muak mendengar hinaan yang dilontarkan Mira. Selalu seperti ini ketika mereka berdua duduk bersama. Pembahasannya tidak jauh dari Elina.
Sang mama yang berusaha mengakhiri hubungan sang anak dan sang anak berusaha mempertahankan hubungannya. Memang rada susah mempertahankan apa yang selama ini Anzars suka. Terlalu banyak penolakan dari pihak keluarga terutama Mira yang melarangnya ini dan itu.
"Terserah mama." Anzars menghela, lelah. "Anzars langsung ke sekolah saja. Nanti mama hati-hati ke kantornya." Ujar Anzars. Ia menyalim Mira dan membawa punggung tangan Mira ke keningnya.
Ogah-ogahan Mira menerimanya.
"Anzars duluan ma." Pamit Anzars kemudian mengambilkan tas yang semula ia sandarkan di kursi yang tadi ia duduki lalu memasangkan tas punggung itu di punggung kirinya. Anzars berlalu dari pandangan Mira, meninggalkan wanita itu kesal. Dan Anzars tahu mamanya juga pasti kesal padanya.
Seandainya Mira tahu, dia telah melakukan keinginan sang mama. Anzars telah mengakhiri semuanya maka Mira akan senang dan akan memperkenalkan gadis-gadis cantik dan ternama kehadapannya. Anzars cukup muak untuk itu semua.
Lalu cowok itu mengeluarkan motor kesukaannya dari garasi, ia membelah jalan kota yang masih terbilang sepi dengan ugal-ugalan. Walaupun ada teriakan berupa umpatan dari pengendara lain, Anzars tak peduli.
Jalan kota milik bersama dan Anzars punya hak untuk menggunakan jalan kota dengan sesuka hatinya.
Anzars memiliki sifat keras kepala hanya Elina yang mampu mengalahkan sikap tersebut.
***
Elina menunggu Anzars di depan kelasnya, 12 IPA 7 sambil berdiri dengan raut cemas.
Kelas 12 IPA 7 yang penghuninya kebanyakan lagi-lagi bandal namun sayangnya kelas ini merupakan kelas favorit cewek-cewek SMA Garda baik itu junior maupun senior. Termasuk Elina yang memiliki pangerannya didalam kelas tersebut.
Mau bagaimana lagi, penghuninya kebanyakan cowok ganteng apalagi Anzars dan gengnya disana. Tidak mungkin kaum hawa nggak klepek-klepek, palingan satu-dua orang yang nggak suka itupun mata mereka memiliki gangguan dalam penglihatan.
"Eh, ada El. Lagi nungguan mas pacar ya?" tanya Celvin dengan wajah tengilnya.
Elina tersenyum malu. "iya Vin, sudah berangkat gak dia kira-kira?"
Celvin mengaktifkan layar ponselnya melihat jam pukul 07:18. "Kayaknya Anzars bentar lagi mau nyampe." Ucapnya menanggapi.
Virgo yang berdiri disamping Celvin menyahut, "Lo mau nungguin disini atau di dalam saja?"
"Gua, tunggu di luar saja, Go." Ucap Elina menolak.
"Nggap pegal seriusan?"
Kalau boleh jujur kaki Elina mulai pegal, tapi kurang enak kalau menunggu Anzars di dalam kelas. Apalagi ada Ririn dan Ina disana, cewek yang tidak menyukai hubungan Elina dan Anzars. Sekarang saja kedua singa betina itu tengah menatapnya, bringas. Sungguh ngeri.
"Nggak, serius." Kata Elina menyakinkan.
"Kalau begitu, kami masuk duluan ya El." Ucap Virgo, cowok yang memiliki tindik di kupingnya. Tenang saja tindik itu hanya tindik magnet murahan dengan harga 20 ribuan, bebas dipasang-bukakan, apalagi jika ada razia dadakan Yoga pasti aman.
"Lo nggak ucapin sesuatu, Rik?" tanya Virgo.
Cowok dengan tangan di dalam kantong itu menatap datar tak berminat. "Nggak." Ucapnya dingin, Virgo terkekeh sebab tahu respon cowok cool itu seperti apa. Tidak diherankan lagi.
Bahkan Riko sudah masuk duluan dan diikuti oleh yang lainnya.
Satu hal membuat Elina kebingungan, tidak adakah ucapan untuknya? Biasanya mereka akan mengucapkannya, Riko yang dinginya bagai es beku saja pasti menyempatkan diri memberi selamat walaupun hanya kata 'HBD' dengan singkat.
Apa mereka lupa ya?
"Ngapa lo disini?"
Cowok beraroma cool itu menarik perhatian Elina. Ia tersenyum manis menyambut kedatangan Anzars. "Aku tunggu lama lho, kaki aku juga sudah pegal, aku kangen tahu, dari kemarin kamu nggak nelpon maupun chat aku. Sekalinya nge chat, langsung main prank---"
"Lo masih ngira itu prank?" tanya Anzars memotong mulut Elina yang cerewet.
Elina mengangguk mantap. "ya, iya. Mana mungkin kamu tiba-tiba mutusin aku tanpa angin, kan?"
"Bodoh!" ucap Anzars sinis. "Gua nggak pernah main-main sama ucapan gua!"
Senyum Elina pudar digantikan dengan mulut tertutup.
"Nggak mungkin cuman alasan bosan, kan, Zars?" tanya Elina.
"Banyak El. Tapi salah satunya itu."
"Apalagi? Dan kenapa harus putus?"
"EL!" ucap Anzars berteriak. "Lo balik ke kelas dan jangan pernah nemuin gua lagi." Lanjut Anzars melunak dan langsung meninggalkan Elina yang diserang kebingungan. Elina masih memiliki banyak pertanyaan dan melihat cara Anzars meninggalkan dan menghindarinya. Ia jadi yakin tekad Anzars bukan prank melainkan putus betulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anzars
Teen Fictionperayaan sweet seventeen Elina seharusnya momen yang sangat membahagiakan namun semua itu sirna ketika Anzars menyudahi hubungan mereka yang terjalin selama 3 tahun. Anzars berharap berakhirnya hubungan mereka membuat Elina membenci dan menjauhinya...