BAB 12

10 4 0
                                    

BAB 12

"BAIK Dok."

Sambungan telepon terputus dari sebelah, wajah Mira memanas dengan mata berkaca-kaca. Ia menenangkan diri duduk di sofa kamar, menarik udara rakus untuk menahan agar tidak menangis. Handphone yang tadi ia genggam diletakkan begitu saja di atas sofa. Mira menengadahkan kepalanya merasakan air yang ditahan-tahannya lolos begitu saja.

Mira bangkit dari duduknya dan beranjak ke kamar Anzars dilantai atas. Ia memasuki kamar Anzars dengan lemah. Kamar yang didominasi warna hitam itu terasa hampa. Ia melihat Anzars terbaring menyamping membelakanginya. Mira mendekat dan duduk di tepi kasur.

"Mama dapat laporan kamu jarang check up."

Anzars yang sebenarnya tidak tidur terusik dengan suara Mira yang bergetar. Anzars yakin Mira lagi menangis, meratapi nasibnya yang begitu-begitu saja yang kapan saja bisa mati. Ia duduk dan bersandar di heardboard menunjukkan wajah putihnya yang semakin memucat, tatapan sayu tak bersemangat dan jangan lupa bekas darah dihidung akibat mimisan yang tak lama baru berhenti.

Mira semakin sedih melihat keadaan anak satu-satunya yang sangat memprihatikan.

"Anzars capek check up kalo ujung-ujungnya mati juga ma."

"Kamu jangan ngomong seperti itu, mama—"

"Lagian papa sama mama lebih fokus kerja ketimbang temenin anaknya ke rumah sakit. Aku capek terus mendengar diagnosis dokter. Capek dengar disuruh makan obat, dilarang makan ini-itu. Anzars mau hidup tanpa dengar kata-kata dokter."

Anzars tahu itu semua untuk kesehatannya tapi sampai kapan ia harus menuruti perintah-perintah dokter itu. Ia juga ingin bebas sama seperti remaja pada umumnya. Bebas melakukan apapun tanpa ada halangan. Ia ingin seperti itu dan menjadi remaja selayaknya.

Bukan menjadi remaja yang hidupnya atas kontrolan atas perintah dokter. Anzars rela mati detik ini juga asalkan ia tenang dan tidak merasakan sakit lagi. Momen yang Anzars tunggu adalah kematiannya sendiri. Momen dimana ia menutup mata tanpa hembusan napas dan momen dimana ia pergi jauh dari dunia.

"Zars, mama juga berusaha cari ginjal yang cocok untuk kamu. Tapi sampai sekarang belum ketemu. Papa juga berusaha di London buat kamu." Ujar Mira dengan lembut.

Dirinya juga sadar terlalu membiarkan Anzars berurusan sendiri dengan rumah sakit. Ia juga jarang menanyakan kabar Anzars karena saking sibuknya. Mira hanya dapat kabar dari dokter Rey—dokter keluarga sekaligus dokter yang menangani Anzars jika anaknya itu membolos untuk check ke rumah sakit.

Sama seperti sekarang Anzars yang melewatkan dua kali check up. Mira sedih sebab Anzars tidak mempedulikan kesehatannya. Ia sangat menyayangi Anzars tapi mendengar dokter Rey mengatakan Anzars melewatkan check up bisa dipastikan kondisi Anzars akan semakin down.

Mira tidak mau anaknya semakin kesakitan.

"Buat apa kalian susah payah cari ginjal sialan itu jika pada akhirnya Anzars akan mati juga."

Mira menatap anaknya lemah tidak berdaya. Kemenyerahan Anzars sama saja dengan kegagalannya sebagai ibu yang tidak becus menjaga anaknya.

"Kamu nggak mati, mama pasti bisa dapat donor yang cocok untuk kamu." Suara Mira tercekat dikerongkongan. "kamu harus bertahan!"

Anzars menutup matanya merasakan pusing mengutari dirinya. Sepusing-pusing kepalanya ia lebih pusing melihat tekad sang ibu yang memperjuangkan lama hidupnya. Toh, Anzars biasa-biasa saja jika pada akhirnya ia akan mati muda.

"Sampai kapan ma? Sampai kapan Anzars harus menahan rasa sakit ini?" suara Anzars parau. Keinginan untuk hidup sudah ia lupakan. Dulu memang ia bertekad akan sehat dan berjuang untuk sembuh. Tapi sekarang, Anzars lelah dengan permainan Tuhan yang tidak kunjung berhenti.

"Sampai mama dapat ginjal itu, sayang. Kamu harus bertahan. Bukan buat mama tapi buat diri Anzars. Kamu harus bertahan sayang."

"Anzars capek ma," keluh Anzars.

"Kamu gak boleh capek!"

"Anzars mau nyerah!"

"jangan nyerah!"

"Anzars sakit ma. Anzars sakit!!!!" anzars mengacak-acak kepalanya yang ditusuki ribuan jarum. Ia tidak sanggup melawan rasa sakitnya. Yang ia butuhkan hanya tidur jika bisa tidur untuk selama-lamanya.

Mira kembali terisak dan mendekat ke arah Anzars memeluk erat tubuh anaknya. Ia menurunkan tangan Anzars dari kepala dan mengantikan tangannya memijit lembut kepala sang anak. Air mata Mira mengaliri pipi dan jatuh ditangan Anzars.

"Jangan nangis ma. Jangan nangis gara-gara Anzars. Air mata mama terlalu berharga untuk menangisi anak penyakitan ini."

Anzars meraih wajah Mira dan menyeka air mata itu.

"Makanya kamu harus semangat biar mama nggak sedih. Kamu harus berjuang buat hidup kamu."

Anzars tersenyum dan mengemgam erat tangan Mira yang memijit kepalanya. Tatapannya begitu dalam dan hangat. Merasakan kasih sayang Mira seperti ini menghangatkan tubuhnya. Anzars kadang heran apakah harus tunggu ia sakit baru Mira akan seperti ini?

"Nggak janji." Ucap Anzars.

"Zarsss..." rengek Mira.

"Cerewet ma."

Anzars tertawa justru tertawa itu semakin menyiksa Mira. Sebagai Ibu—Mira akan berusahan mencari donor dengan ginjal Supernumerary itu. Mira akan berjuang demi Anzars, semahal apapun itu kesehatan Anzars lebih dari segalanya.

"Anzars mau tidur." Adu Anzars.

"Nggak kamu jangan mati, mama nggak mau Anzars."

Anzars terkekeh. "Anzars ngantuk mau tidur bukan mau mati ma."

Sontak Mira tertawa. "Kirain."

Mira terus memijit kepala sang anak sampai Anzars tertidur pulas. Lagi-lagi Mira melihat wajah sang anak yang nampak damai tanpa kesakitan. Andaikan saja hidup Anzars selalu damai tanpa penderitaan Mira akan bahagia menjadi seorang ibu.

_

_

_

AnzarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang