BAB 11

9 5 0
                                    

BAB 11

SOSIALISASI alumni merupakan kengiatan rutin untuk mempromosikan universitasnya. Di kelas 12 IPA 5 yang awalnya ribut tiba-tiba diam ketika Pak Supto masuk diikuti oleh kakak kelas yang telah menyelesaikan masa studinya di SMA Garda. Ada tiga orang—satu cowok dan dua cewek. Masing-masing mereka memegang brosur yang nanti akan dibagikan.

Pak Supto memberi arahan untuk kelas 12 IPA 5 untuk tidak ribut dan mendengar kakak kelasnya berbicara. Semua kompak mengangguk dan pak Supto pergi membiarkan satu lesnya diambil kakak kelas berbicara di depan mengantikannya.

"Perkenalkan nama saya, Boas dan kakak-kakak cantik di samping saya..." Boas memberi kode pada kedua temannya untuk memperkenalkan diri.

"Nama kakak Esya." Ucap rambut diikat satu dengan senyum manis dibibirnya

"dan nama kakak Olip." Ucap rambut setengah diikat dengan wajah judes.

Mereka yang mengenakan almamater tercinta itu berdiri di depan papantulis. 12 IPA 5 tidak akan pernah asing dengan Boas, mantan si ketua osis dingin yang sayangnya sangat ganteng. Beda lagi dengan Esya dan Olip mereka tidak terlalu kenal dengan kedua cewek itu. Mereka seperti jarang melihatnya.

"Sudah kenal sama saya?" tanya Boas.

"Sudah kak." Kompak 12 IPA 5 menjawab.

"Oke untuk mempersingkat waktu, saya disini membawakan brosur Universitas Garda yang akan dibagikan. Setelah brosur ada di tangan masing-masing saya beri waktu 10 menit untuk menelaah." Titah Boas.

Kini ketiga kakak kelas itu membagikan brosur-brosut tersebut―satu anak mendapatkan satu brosur tanpa terkecuali. Boas mulai menyalakan stopwatch di handphonenya. 12 IPA 5 juga mulai sibuk membaca brosur itu. Tidak semua hanya beberapa orang saja, sebab ada beberapa orang hanya membolak-balikkan brosur, melipat-lipat brosur dan ada menjadikan mainan pesawat kertas.

Elina masih santui membaca pencapaian mahasiswa tamatan Universitas Garda, ia sangat tertarik dengan alumni-alumni yang langsung ditempat kerjakan di luar negeri. Namun, melihat Uang kuliah tunggalnya jantung Elina mencelos. Mana sanggup dia membayar UKT senilai 30 juta satu semester. Buat makan saja ia sudah susah.

Lagian masih ada PTN yang mau dicoba. Itupun jika keadaan menginginkannya untuk kuliah.

"Kak," seru Elina sambil mengangkat tangannya.

Boas melihat jam tangannya padahal belum waktunya untuk melakukan sesi tanya. Boas mengerutkan keningnya.

"Kenapa? Apa ada pertanyaan?''

"Bukak kak, saya mau pamit ke toilet."

Boas mengangguk singkat. "Silahkan."

Elina keluar dari kelas, tujuannya bukan ke toilet melainkan ke kantin. Ia ingin di kantin saja daripada mendengar kakak kelas itu bercerita tentang dunia perkuliahan yang belum tentu akan dirasakannya nanti.

Di bibir pintu kantin Elina mendengar suara Celvin menyebut-nyebut tentang dirinya. Entah telinga Elina yang tajam atau memang suara Celvin yang keras. Dari awal Anzars dan teman-temannya ngegosipin dirinya, Elina mendengar semuanya sampai-sampai perkataan tak berdasar membuatnya marah.

Elina marah tapi ketika Anzars membelanya rasa marah itu langsung minggat dari dirinya kini hanya tersisa rasa kesal. Melihat keempat orang itu tidak bercerita dan mulai fokus pada sajian didepan mereka Elina mendekat. Ia duduk di meja samping Anzars. Elina tidak memesan apa-apa, ia hanya menuangkan air putih dalam teko ke gelas.

Mereka seperti tak menyadari kehadirannya. Elina fokus memperhatikan Anzars yang sibuk menyerumput jus buah naga. Ia jadi mesem-mesem sendiri mengingat tingkah konyolnya tadi.

"Sssttt, Zars." Bisik Virgo menyadari keberadaan Elina. Ia spontan tadi melirik ke meja disampingnya. Ada Elina senyum-senyum mengarah ke Anzars.

Merasa dipanggil Anzars menaikkan alisnya—bertanya tanpa mengeluarkan suara.

"Ada El," Virgo masih berbisik sambil mengarah-arahkan wajahnya ke Elina.

Bukan hanya Anzars menoleh ke arah Elina tapi mereka semua.

Celvin bergidik ngeri "Mantan lo kesurupan."

"Setan apa gerangan merasukinya sampai dia senyum-senyum nggak jelas seperti itu?" virgo menopang dagu.

"WOI EL SADAR!!!" teriak Celvin mengebrak meja.

Elina kelimpungan sendiri dan kembali ke alam sadarnya. Ia jadi salah tingkah diperhatikan cowok ganteng empat sekaligus.

"Bengong bae, El, tau kok Anzars makin hari makin ganteng." Goda Celvin.

Anzars menatap Celvin sengit.

"Kata Anzars dia kangen," lanjut Celvin menggoda keduanya.

"Diam babi!" umpat Azars.

"mulutnya perlu di lakban ya Zars."

Elina memandang Celvin dengan panas. Kata-kata yang keluar dari mulut Celvin tadi melintas dibenaknya.

"Mulut lo yang perlu dilakban segala ngata-ngatain gua."

"Ngata-ngatain yang mana El" tanya Celvin tidak paham.

Virgo menyikut Celvin. "yang ini 'El, nggak ngajak ciuman, ena-ena, nggak mau digrepe-grepe. Wajarlah Anzars ninggalin dia.' Lo ngomong begitu tadi." Ucapnya menjelaskan.

"Oh, yang tadi." Celvin mengarut tengkuknya yang tidak gatal. "Lo salah paham El. Gua gak bermaksud ngomong kayak gitu."

Elina memuta bola matanya. "Terserah lo! Minimal kalau ngegosipin orang tengok dulu keadaan ada gak orangnya disana!"

"Ya maaf El. Janji diulang nanti."

Anzars memperhatikan kertas yang berada di tangan Elina. Kertas lusuh berwarna kuning. Tanpa ditanya ia sudah tahu jenis kertas itu. Yang menjadi pertanyannnya mengapa Elina ada dikantin ketika sebagian besar kelas 12 lebih banyak berdiam diri di dalam ruangan bersama kakak kelas alumni.

"Lo kenapa ngga di kelas?" tanya Anzars.

Jarak meja yang berdekatan membuat Elina berpindah duduk di samping Anzars yang kosong. Elina menunjukkan brosur itu ke Anzars.

"Ada sosialisasi kakak kelas."

"Gua tahu! Kenapa lo nggak di kelas?" tanya Anzars lagi sebab Elina tidak menjawab pertanyaannya.

"Aku males dengar mereka cerita ini-itu padahal nanti nggak aku rasain juga."

Anzars paham dan mengerti apa yang dirasakan Elina.

"Mending aku kesini sebagai nilai plus dapat ketemu kamu." Elina tersenyum seperti tak ada beban.

Virgo dan Celvin saling lirik―menggeleng prihatin dengan hubungan kedua sejoli itu. Mantan tapi masih sayang. Lebih baik mereka pura-pura sibuk seperti Riko daripada mendengar Anzars dan Elina berbicara.

"Lo gak boleh gitu. Lo masih bisa kuliah, cari beasiswa, atau ujian PTN. Gua yakin lo lolos, otak lo nggak bodoh-bodoh amat."

Elina mengeruncutkan bibirnya dengan hinaan itu. "Walaupun aku dapat beasiswa, itu belum cukup buat kuliahan aku"

"Lo bisa sambil kerja."

"Papa pasti nggak ngizinin aku sambil kerja."

Anzars diam karena bingung. Bisa saja ia memberi Elina uang bulanan tapi tidak mungkin juga karena ia bukan siapa-siapa lagi disini.

"Zars nanti kalau kamu sudah kuliah kamu ceritain, ya, sama aku gimana suasana kampus, dosen-dosemnya, jurusan kamu, cewek yang kamu suka disana sama pertemanan kamu disana." Pinta Elina dengan wajah berbinar dengan luka yang tersembunyi.

Anzars terusik dengan permintaan Elina tentang cewek yang disukainya nanti. "Nggak janji."

"Kok gak janji?"

Anzars tersenyum tipis nyaris tidak terlihat. Dia tidak menjawab dan lebih berbicara di dalam hati.

Karena kita sama El. Gua juga belum tentu bisa merasakannya.

_

_

_

AnzarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang