BAB 15

6 3 0
                                    

BAB 15

HUJAN mulai mereda dan meninggalkan gerimis mengantikan sang hujan. Tangan mungil itu terulur merasakan tetesan gerimis yang terasa berjatuhan di kulit putihnya.

Bel pulang sekolah berbunyi 15 menit yang lalu tapi dia belum melakukan pergerakan sama sekali dari halte. Banyak angkot dan bus berlewatan dan dibiarkan begitu saja.

Dia menatap langit yang masih menggelap sama seperti hatinya. Matahari bersembunyi dibalik awan-awan enggan memunculkan wujudnya yang hangat.

Dia melirik gerbang sekolah menanti seseorang yang ia tunggu tapi sampai sekarang orang itu tak kunjung menunjukkan wujudnya. Elina tidak bisa melakukan apapun selain menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Bunyi suara motor keluar dari gerbang, Elina pikir itu Anzars sebab suara motor itu sama dengan punya Anzars. Motor itu berhenti dihadapan Elina, sang pemilik motor membuka helm full facenya. Rahang tegas, mata teduh, alis mata tebal, bulu mata lentik, bibir merah alami dan lesung pipi yang selalu nampak ketika cowok itu tersenyum. Dia Bima, cowok yang akhir-akhir ini selalu menemani Elina.

Bima mematikan motornya dan beralih menatap Elina yang duduk sendiri di halte.

"Belum pulang El?" Tanya Bima.

"Belum."

"Lagi nunggu angkot?"

Elina menggeleng lemah. "Bukan."

"Trus?"

Elina diam, ia juga tidak tau sedang apa dirinya disini.

"Gua gak tau." Balas Elina lugu.

Bima tertawa lagi-lagi Elina terpana oleh lesung pipi itu. Sangat lucu dan menambah kadar ketampanan Bima.

"Gak tau apa nungguin Anzars?"

Elina menelan ludahnya, Bima gampang sekali dalam hal menebak. Apa Bima itu keturunan paranormal hingga bisa menebak sesuatu dengan benar?

"Percuma lo nungguin dia Anzars udah pulang duluan." Ucap Bima berbohong. Ia tidak suka jika Elina masih memikirkan Anzars. Ia ingin Elina melihat dirinya. Bima akan berusaha menarik perhatian Elina. Mungkin salah satunya mulai menghilangkan Anzars dari pikiran gadis itu. Ia hanya perlu membentuk jarak diantara kedua orang itu.

Elina menatap Bima menelisik. "Bohong anu lo kecil ya!"

"Kalau kecil lo gak puas El." Bima tertawa mesum.

Elina menatap cowok itu jengkel.

"Percaya sama gua, sampai lo nunggu tengah malam Anzars nggak bakal disini." Tutur Bima menyakinkan.

Elina membuang rasa curiganya. Mungkin Bima betul Anzars tidak disini lagi, cowok itu pasti sudah pulang sejak hidungnya mengeluarkan darah.

"Jadi lo mau nunggu di sini atau gua anterin?" Tawar Bima.

Elina bimbang antara nebeng dengan Bima atau menunggu angkot. Tapi menunggu angkot maupun bus mungkin kedua kendaraan itu tidak akan lewat lagi sebab sekolah sudah mulai sepi. Dan nebeng dengan Bima ia seringkali merepotkan cowok itu.

"Mau gak?" Bima menawar ulang. Kedua alisnya terangkat.

"Nggak ngerepotin lo kan?"

"Nggak." Bima kembali menyalakan motornya. "Gua senang lo repotin." Ia tersenyum lebar. Sama seperti yang tadi Elina masih terpukau dengan lesung pipi cowok itu.

Elina mengangguk kecil. "Tapi gratis kan?"

"Iya Elina iya. Cepat keburu hujan turun lagi." Sahut Bima gemes.

Elina tidak membuang kesempatan emas ini lagi. Untung-untung ia menghemat uang sakunya. Ia duduk cewek dan mulai memperhatikan jejalananan yang ia lewati bersama Bima.

Hujan juga perlahan turun deras lagi, Bima membawa ngebut. Secara spontan ia melingkarkan tangannya di perut Bima. Memeluknya erat takut terjatuh dari atas motor.

Dibalik helm full facenya Bima tersenyum tersirat. Pelukan Elina terasa nyaman.

***

Di mobil Anzars memukul setir dengan kuat melampiaskan emosi yang tidak mampu ditahannya lagi. Keakraban Elina dengan Bima terekam jelas dibenaknya. Bagaimana cewek itu berbicara hangat dengan Bima dan bagaimana Elina duduk dibonceng Bima.

Harusnya tadi ia langsung pulang saja daripada melihat sesuatu yang ujung-ujungnya menambahkan torehan luka yang semakin menjadi.

Elina bukan Elinanya lagi— cewek itu sudah berubah.

-TBC-

JANGAN LUPA VOTE AND KOMENT!!!

AnzarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang