BAB 23

5 2 0
                                    

BAB 23

"BIMA nitip bekal tadi sama gua," Safira menyodorkan bekal warna hijau itu ke tangan Elina. "Dunia sekarang kebalik, yang cowok ngasih bekel ke ceweknya."

Elina menatap bekal itu dengan datar. Ia melengos dan langsung duduk dikursi mengabaikan tangan Safira yang mengantung di udara.

"Makan saja gua gak butuh bekel dari dia," tolak Elina dan langsung membenamkan wajahnya diatas meja.

"Katanya lo harus makan," ujar Safira. Bima tadi memberi titipan pesan untuk menyakinkan Elina menghabiskan bekal buatan cowok itu.

"Lo aja yang makan,"

"Gak lah! Ini kan buat lo masa jadi gua yang makan. Gak elit lah calon pacar siapa yang makan siapa. Lagian nih ya Bima itu pagi-pagi banget datang ke rumah gua nitip ini. Effortnya kebangetan buat lo beginiin," ucap Safira takjub. Bangaimana tidak jarak rumah mereka lumayan jauh tapi Bima pagi-pagi sekali datang kerumahnya sekedar menitipkan bekal ini untuk sahabatnya.

"Gua gak minta dibuatin. Kalo lo gak mau makan balikin aja sama orangnya. Gua masih sanggup beli makan buat perut gua,"

Safira berdecak kesal dan langsung meletakkan bekal itu di meja Elina. "Gua gak mau tau. Lo gak makan balikin sendiri sama orangnya jangan jadi gua yang berurusan sama dia."

Elina bergumam. "Hm, terserah,"

***

"Zars," panggil Elina dengan suara kecil.

Anzars menoleh dan mendapati cewek itu berdiri di depan pintu. Istirahat pertama tengah berlangsung di SMA Garda. Di kelas 12 IPA 7 sendiri yang tersisa hanya Anzars lagi sedang menatap kosong papan tulis yang menempel di dinding.

Elina tersenyum tipis, melambaikan tangannya mengajak Anzars untuk keluar dari dalam kesal. Anzars menurut dengan cewek itu dan kini kedua remaja itu berakhir di rooftop sekolah.

Elina duduk diatas bangku rusak diikuti oleh Anzars duduk disampingnya. Angin sepoi-sepoi berhembus. Terasa nyaman hingga-hingga Anzars betah berlama-lama disini.

"Gua tau,"

Anzars membuka mata ketika Elina mulai mengeluarkan suaranya. Angin berhembus menerbangkan rambut-rambut Elina menjadi acak-acakkan, sayangnya cewek itu semakin cantik dengan gangguan angin tersebut. Terlihat lebih manis dan semakin dekat. Anzars menarik bibirnya ke atas tapi tidak terlihat jika ditatap melalui mata, karena yang dilakukannya adalah tersenyum dalam hati memuji Elina di relungnya.

"Bima tidak baik," entahlah Elina hanya ingin mengatakan ini pada Anzars. Tidak tahu karena apa, ia pengen Anzars tahu cewek yang sekarang ini lagi dalam fase menyesal karena tidak mendengar nasihatnya.

"Dia, kepergok gituan bareng Ririn," lanjut Elina. Satu hal lagi yang Elina tahu Anzars juga lagi dekat dengan Ririn. Ia berharap Anzars tidak merasakan hal yang sama seperti yang dialaminya. Terlalu cepat memberi kepercayaan.

"Gua tau, makanya gua larang lo deket sama dia," Anzars tersenyum. "Dia memang gak sebaik itu,"

Elina diam sejenak. "Lo dengan Ririn, bagaimana? Dia ngecewain lo pasti,"

"Ririn gak pernah ngecewain gua,"

Diam-diam Elina mengigit bibir bawahnya.

"Karena gua gak pernah memberi kepercayaan sama dia," ucap Anzars melanjut.

"Kalian dekat,"

"Gua gak pernah dekat sama dia."

Betul apa adanya, kalau bukan karena Mira, Anzars juga tidak ingin menjadi ojek cewek itu. Selain itu, Ririn juga terlalu agresif yang selalu mendekatinya, menganggunya dan mengatakan Anzars lagi mencari perhatian padanya. Padahal itu semua hanya kebohongan. Bahkan sepersen pun tidak ada kata bahagia dengan Ririn.

"Lo mau buat dia kecewa? Kayaknya dia suka sama lo tuh,"

"Kalau gua masih sukanya sama lo, apa berhak gua pacaran sama cewek yang gak gua suka?" anzars mendatarkan ekspresinya. Lagi-lagi mulutnya melancang dengan cepat tentang perasaanya. Terlalu susah untuk dikontrol.

"Lo masih suka sama gua?" tanya Elina.

Anzars terdiam. "Tidak ada satupun cewek yang mau dijadikan pelampiasan," alih Anzars.

"Tadi lo bilang masih suka sama gua. Kalau lo masih suka kenapa lo nyakitin perasaan lo sendiri. Bukan Cuma lo tapi kita berdua sama-sama tersakiti,"

"Lo gak akan tau,"

"Bagaimana gua tau lo sendiri gak pernah cerita,"

"nggak penting untuk lo tau,"

Elina bersandar dibadan kursi. Berbicara dengan Anzars sesusah ini. Sesaat keheningan melanda. Hanya mata yang saling berbicara.

"Kita balikan aja Zars," spontan Elina karena tidak tahu lagi apa yang ingin dibahas. Intinya berlama-lama disini, bercerita dan bersama Anzars untuk menghabiskan jam istirahat sampai selesai.

"Lo jadiin gua pelampiasan?"

"Nggak! Buat apa!"

"Habisnya lo ditipu sama cowok baru lo,"

"bukan cowok gua!" sanggah Elina. "Jadi mau gak balikan sama gua?"

Hati Anzars berteriak 'mau' tapi otaknya berlawanan. Ia harus menolak dan itulah yang seharusnya ia lakukan. Bukan untuk mematahkan untuk lebih hancur tetapi untuk mematahkan dan menumbuhkan tunas-tunas baru yang lebih baik.

Bulu yang terkulai semakin patah tapi apa ada jaminannya bulu itu akan semakin indah setelah patah?

Tidak sekarang mungkin nanti.

Hanya air mata yang menjadi ungkapan perasaan Elina. Perasaan itu tidak hilang dan semakin membesar. Anzars memeluknya dan menghapus air mata kurang ajar yang membanjiri pipi cewek itu.

"Maaf," bisiknya halus tepat di samping telinga cewek itu. "Tanpa gua lo akan semakin bahagia,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnzarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang