BAB 24

405 16 1
                                    

WARNING!!
Baca dari awal memgingat cerita mengandung plot twist

Mata Alvazka bergerak meneliti sekitar hutan yang berada di tepi jalanan. Mereka baru saja mendapatkan kesaksian dari ibu Novi perihal terakhir kali Novi bisa di hubungi.

Saya masih telponan sama anak Saya malam tadi”

Pasha memberikan tisu kepada ibu Novi yang sedang menangis, wanita itu sedang berduka tidak seharusnya mereka memintai keterangannya.

“Terakhir yang Saya denger Novi teriak, gak lama HP nya di matiin. Saya gak nyangka kalau Novi akan di bunuh sama orang”

Berdasarkan keterangan yang di berikan oleh ibu korban, Alvazka dan rekan lain berhasil melacak lokasi terakhir dari ponsel Novi. Mereka langsung menuju ke lokasi, menyusuri hutan, mengingat jika tempat pembunuhan banyak tanah, dan kemungkinan besar di hutan sekitar sana. Mereka berjalan jauh, cukup dalam masuk ke hutan, menatap frustasi lokasi yang mereka temukan, kemungkinan TKP pembunuhan.

“Bangsat!!” umpat Pasha, menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Begitu banyak darah yang mereka temukan di sana, beberapa dedaunan terkena cipratan darah yang di duga darah Novi.

“Ternyata di sini si brengsek itu ngebunuh Novi” ucap Rafa, tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.

“Va, sekarang gimana?” tanya Pasha, menatap Alvazka yang sedang berjongkok, mata pria itu meneliti jejak darah di tanah dan rerumputan.

Alvazka menoleh. “Ambil sampel darah buat di cek di lab. Kita harus pastiin kalau di sini benar darah Novi”

Pasha mengangguk, memakai sarung tangan, mengambil beberapa lembar dedaunan yang terkena darah, memasukkannya ke kantong plastik sebagai bukti.

“Raf, lo foto keadaan TKP yang kita temuin” surub Pasha.

Rafa segera mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto yang menampilkan kondisi TKP dari segala sisi.

“Bakalan ada sidik jari pelaku gak, Va, di sini?”

Alvazka berdiri dari posisi jongkoknya, menggeleng. “Gue yakin gak ada, tapi buat jaga-jaga panggil forensik aja”

Alvazka berjalan mengikuti jejak tetesan darah yang ada di tanah. Alvazka yakin jika ini adalah jejak pelarian pelaku, membawa korban yang sudah mati untuk di pindahkan.

“Apa mungkin pelaku lewat sini, Va?” tanya Rafa, mengikuti langkah Alvazka.

Alvazka berhenti tepat di tepi jalanan, berjarak beberapa meter dari lokasi terakhir ponsel Novi. “Mayat Novi pasti di bawa pake mobil” ujarnya.

Rafa meneliti sekeliling, tidak ada CCTV, lampu jalanan juga rusak. “Jarang juga yang lewat sini tengah malam. Kalau ada yang lewat mungkin tindakan pelaku di curigai orang”

Alvazka mengangguk. Pelaku sangat pandai memilih lokasi pembunuhan yang aman, seperti sudah memantau korbannya dari jauh hari. “Novi udah di jadiin target dari lama. Pelaku pasti ngikutin Novi”

Lokasi TKP mayat Novi di temukan berjarak beberapa km dari lokasi pembunuhan terjadi, seperti pembunuhan yang sudah di rencanakan, pelaku sudah memantau korban. Tempat-tempat yang Novi kunjungi hanya tempat dia bekerja, dan beberapa lokasi TKP dari kasus yang ia beritakan, termasuk TKP ditemukannya mayat Ayudia, yang menjadi tempat mayat Novi terbaring juga.

“Va, gue udah hubungi forensik, beberapa menit lagi mereka juga sampe kesini” ucap Pasha, menghampiri lokasi Alvazka dan Rafa berdiri.

Alvazka mengangguk. “Oh, iya, Sha. Tolong bilangin ke Arya buat cari tahu kendaraan yang lewat sini sekitar waktu kejadian. Kalau ada mobil yang lewat minta rekaman dari dashcam nya”

“Mungkin gak sih kalau pelaku jalan kaki ke lokasi pembuangan mayatnya?” tanya Rafa.

Alvazka menggeleng. “Tetesan darahnya berhenti di sini, udah pasti mayatnya di masukin ke mobil. Mayat yang di temuin di TKP bersih, gak ada darah, pelaku pasti bersihin darahnya dulu di tempat lain sebelum di buang”

“Orang yang kemungkinan ada dendam sama dia gimana?” tanya Rafa lagi.

“Lo salah satunya”

Rafa mendelik, menatap Pasha kesal. “Gue emang dendam, tapi gak sampai ngebunuh”

Pasha tertawa singkat. “Orang yang dendam sama wartawan itu banyak, Raf. Apalagi artikel yang mereka terbitin banyak nyakitin perasaan orang lain, pasti banyak yang tersinggung”

“Ini bukan pembunuhan yang di lakuin oleh orang yang dendam. Bisa jadi pelaku kali ini terobsesi sama Necky, dan jadi peniru” ucap Alvazka, pria itu menatap lurus ke jalanan.

“Jadi, lo ngira ini ulah peniru, Va? Bukan ulah Necky?” tanya Pasha.

Alvazka mengangkat bahu. “Dugaan gue gitu”

Saat forensik, Tegar dan satu orang lainnya tiba di lokasi yang di duga sebagai tempat pembunuhan, Pasha tetap berada di lokasi mengikuti perkembangan penyelidikan yang di lakukan oleh forensik. Sementara Alvazka dan Rafa balik ke Polda terlebih dahulu, membawa sampel darah untuk langsung di lakukan pengecekan di lab.

“Tadi sampel darah udah di bawa sama Rafa ke lab” ungkap Pasha saat melihat salah satu staf forensik mengumpulkan sampel darah.

Staf forensik itu menatap ke arah Tegar, menunggu instruksi dari atasannya itu. Tegar mengangguk, menyuruh staf itu untuk memeriksa lokasi sekitar.

“Ada sidik jari gak, Gar?” tanya Pasha, berdiri di sebelah Tegar.

“Mustahil buat nemuin sidik jari di sini, tapi gue berharap seenggaknya ada satu sidik jari yang bisa di identifikasi” ucap Tegar, pria itu menghela napas. “Udah pusing gue nerima mayat dan meriksa TKP terus menerus, tapi gak bisa nemuin sidik jari satu pun”

Pasha paham betul rasanya. Sama dengan timnya yang frustasi dengan korban yang terus berjatuhan, begitu juga dengan tim forensik yang harus melakukan autopsi pada mayat korban tanpa menemukan bukti apa pun untuk membantu penyelidikan.

“Ini pertama kali kita nemuin TKP pembunuhan dalam sejarah pembunuhan berantai yang di lakuin Necky” ucap Tegar, menatap Pasha. “Makin buat gue yakin kalau pembunuhan kali ini cuma peniru”

“Alva juga mikir kalau ini ulah peniru”


*********

“Darah yang di temuin di lokasi tadi cocok sama DNA Novi” ucap Rafa, memberikan selembar kertas hasil uji yang di lakukan lab pada Alvazka.

Alvazka membawa hasil yang di tunjukkan di kertas itu. “Kalau sidik jari di lokasi ada, Sha?” tanyanya, beralih menatap Pasha yang sedang duduk di kursi.

Pasha mengangkat kepala, menoleh. “Gak ada, Va. Gak ada sidik jari lagi” ujarnya, sedikit lemas.

Alvazka tampak berpikir, lalu pria itu beralih menatap Arya yang sedang menatap layar komputer. “Ya” panggilnya.

Arya menoleh ke sebelahnya, Alvazka memang duduk di sebelah pria itu. Arya mengangkat alis, menunggu apa yang ingin di katakan oleh pria itu.

“Lo udah buat pengumuman buat kendaraan yang lewat di sana, Ya?” tanya Alvazka.

Arya mengangguk. “Gue langsung bikin pas Pasha kabarin gue. Dan belum ada laporan yang masuk sampai sekarang” jawabnya, langsung paham jika Alvazka pasti akan menanyakan hasil dari pengumuman yang ia buat.

Alvazka mengangguk, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Kenapa lokasi pembunuhannya di sana, jaraknya beberapa km dari lokasi penemuan mayat”

“Kalau gue liat dari pergerakan ponsel Novi, kayaknya jalan kaki dari lokasi mayat Ayudia, dan di kameranya juga ada beberapa foto TKP” jelas Pasha, matanya fokus menatap layar komputer yang menampilkan hasil foto dari kamera Novi. “Tapi, gak ada orang yang tertangkap di foto yang di ambil”

“Jelas. Kalau pelaku emang ngikutin, dia pasti ngintai dari belakang” ucap Alvazka.

“Masa gak sadar di ikutin orang lain?” tanya Rafa. “Dari analisis lo, Va” Rafa menatap Alvazka. “Novi yang udah di bunuh di pindahin ke lokasi penemuan mayat pakai mobil. Kenapa dia gak sadar kalau ada mobil yang ngikutin dia?”

“Bisa jadi mobilnya ngikutin dari belakang dengan kondisi lampu di matiin, dan mobilnya berhenti di jarak beberapa meter dari korban, baru ngikutin lagi” Arya ikut menyampaikan teorinya, mengundang yang lain menatapnya, terutama Alvazka menatap ke arah Arya dengan tatapan tidak terbaca, pria itu terdiam.

“Bener juga ya” seru Rafa, menepuk bahu Arya. “Makin pinter lo analisis kasus nih”

Arya tersenyum. “Kan kita tinggal memposisikan diri sebagai pelaku aja. Ya gak, Va?”

Alvazka tersadar, menatap ke arah Arya, kemudian mengangguk. Ia pernah mengatakan itu saat di tanya kenapa bisa menganalisis kasus dengan akurat, dan dirinya mengatakan untuk berada di posisi pelaku.

Alvazka bangkit dari duduknya, menatap ke arah Arya yang sibuk menatap layar komputer. “Ya, ikut gue ke rooftop” ajaknya.

“Ngapain, Va?” tanya Arya heran.

“Ngerokok aja” ucap Alvazka memperlihatkan sebungkus roko yang ada di genggamannya.

“Gue ikut juga dong” Rafa ikut bangkit dari posisi duduknya.

“Lagi ada yang mau gue obrolin sama Arya, Raf” tolak Alvazka secara halus.

Rafa mendesah kecewa, kembali duduk di kursi, menatap punggung Alvazka dan Arya yang keluar dari ruangan. Pasha juga melihat ke arah pintu dengan heran, sedikit penasaran dengan apa yang ingin di katakan oleh Alvazka pada Arya.

“Lagi hobi apa sekarang, Ya?” tanya Alvazka, menyodorkan sebungkus rokok pada Arya.

Kini mereka sedang berdiri di rooftop, menikmati angin yang menghembus tubuh mereka, rambut mereka sedikit beterbangan. Arya mengambil sebatang rokok, menghidupkannya menggunakan api dari korek yang di sodorkan oleh Alvazka.

“Biasa mah hobi gue, mabok” jawab Arya, menghembuskan asap rokok ke udara.

Alvazka mengangguk, menyesap sebatang rokok, meniupkan asapnya ke udara, pandangannya lurus ke depan.

Arya menoleh pada Alvazka. “Lo mau ngomongin apa sama gue?” tanyanya heran.

“Ngobrol biasa aja” jawab Alvazka, menoleh sekilas kemudian kembali menatap lurus ke depan.

Arya masih mengernyit bingung. Tidak biasanya Alvazka mau mengobrol seperti ini dengannya. “Tumben” cibirnya.

“Kalau lo lagi ada masalah bisa cerita ke gue, ke yang lain juga bisa. Jangan sampai aja lo lampiasin masalah lo ke hal lain yang nantinya bakalan bikin lo ngotorin tangan lo sendiri”

Alvazka tampak serius dengan ucapannya, dengan tatapan yang lurus ke depan, sesekali pria itu menghembuskan asap rokok ke udara.

“Gue gak ada masalah” bantah Arya, menatap ke arah lain.

“Ya, kalau lo ngomong jujur ke gue sekarang, gue bakalan usaha buat nyelametin lo sebelum yang lain tau”

Arya menatap Alvazka, makin dibuat bingung oleh ucapan pria itu. “Lo kenapa sih, Va?” tanyanya.

Alvazka menjatuhkan puntung rokoknya ke lantai, menginjaknya. Pria itu menatap mata Arya dalam, berusaha mencari kebenaran di balik mata itu. “Bukan lo, Ya?” tanyanya.

Arya terdiam beberapa detik. “Bukan gue yang bunuh Novi” ucapnya kemudian.

Alvazka mengangguk, tersenyum, menepuk bahu Arya. “Berhenti dari sekarang, Ya, sebelum lo ngelakuinnya lebih jauh lagi”

“Bukan gue, Va” bantah Arya tidak terima.

Alvazka terkekeh. “Berhenti mabuk-mabukan, Ya”

*********

 “Berhenti mabuk-mabukan, Ya”

*********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang