BAB 14

454 17 0
                                    

Warning!!
Baca dari awal mengingat cerita mengandung plot twist

******

Seminggu berlalu begitu cepat, Ruth sudah terbiasa berada di rumah Alvazka. Setiap pagi Ruth akan menyediakan kopi untuk Alvazka, siangnya Ruth akan memasak makanan sebisanya walau kadang beberapa kali makanannya gagal. Ruth tidak pernah memasak selama ia hidup, ia selalu membeli makanan yang murah diluar, terkadang tidak makan sama sekali karena kesulitan ekonomi.

Ruth menatap ke arah Alvazka yang baru keluar dari kamar, sudah rapi dengan tubuh di balut jaket kulit, pria itu pasti akan berangkat kerja. Alvazka sudah kembali masuk kerja sejak 6 hari yang lalu, besoknya setelah Ruth menanyakan hal menjijikkan itu.

Ruth mengalihkan pandangannya ke arah lain saat Alvazka menatapnya. Dada Ruth mendadak terasa di cubit saat melihat Alvazka. Ruth berjalan ke dapur, menyiapkan roti panggang untuk sarapan Alvazka, menaruhnya di atas meja di dekat kopi yang sudah ia buatkan tadi.

Alvazka duduk di kursi mini bar, menyeruput kopinya dalam diam. Tangan Alvazka beralih mengambil roti panggang yang dibuatkan Ruth, menggigit kecil roti tersebut. Pandangan Alvazka teralihkan pada ponselnya yang berbunyi, pria itu menaruh kembali rotinya di piring.

Alvazka mengeluarkan ponselnya dari saku celana, mengangkat panggilan telepon dari Pasha. “Kenapa, Sha?” tanyanya langsung saat panggilan tersambung.

Alvazka mengangguk. “Nanti deh gue yang interogasi pas udah nyampe di Polda”

Setelah mengucapkan itu, Alvazka mematikan sambungan telepon, menaruh ponselnya di meja. Matanya beralih meneliti sekitar, tidak menemukan Ruth di sana, gadis itu sudah menghilang.

Alvazka menghela napas pelan, bangkit dari kursinya, membiarkan sisa roti, ia sudah tidak berminat untuk makan. Alvazka memakai sepatu, kemudian keluar dari apartemen.

Ruth keluar dari kamarnya saat mendengar pintu di tutup oleh Alvazka. Sejak pertanyaan bodoh itu, Ruth dan Alvazka tidak pernah berbicara lagi.

Ruth selalu memenuhi tugasnya, membersihkan apartemen, memasak, mencuci piring, kecuali mencuci baju. Cucian baju selalu di jemput oleh Pak Bram. Pernah Ruth sekali mencuci baju, tapi ia tidak bisa menggunakan mesin cuci, dan Ruth tidak mau bertanya bagaimana cara memakainya pada Alvazka.

Pak Bram, pria paruh baya itu mengatakan jika Alvazka memang tidak pernah mencuci bajunya sendiri. Pak Bram yang selalu membawa baju kotor Alvazka ke laundry seminggu dua kali. Besok adalah jadwal Pak Bram mengambil pakaian kotor, dan hanya Pak Bram yang mengajak Ruth berbicara, sedikit mengurangi rasa kesepian yang Ruth rasakan.

Ruth terdiam di tempatnya, matanya sedikit melebar saat melihat Alvazka masih berdiri di depan pintu apartemen. Ruth yakin jika ia tadi mendengar pintu di tutup, tapi kenapa Alvazka masih ada di sana.

Ruth menarik matanya menatap ke sembarang arah, menghindar dari tatapan Alvazka. Ruth bergerak dengan gugup, menuju dapur, membereskan piring dan gelas bekas Alvazka tadi.

Alvazka sengaja melakukan itu, berpura-pura jika ia sudah keluar dari apartemen. Alvazka ingin tahu apakah Ruth memang sengaja menghindar darinya, sebab beberapa hari ini Ruth selalu menjaga jarak dengannya.

Alvazka kembali melepaskan sepatunya, berjalan menghampiri Ruth yang sibuk mencuci piring di wastafel. “Ruth” panggilnya.

Ruth berbalik, menoleh pada Alvazka, memasang senyum yang kesannya di paksa. “Kamu belum berangkat?” tanyanya, pura-pura tidak menyadari aksi bodohnya yang sengaja menghindari Alvazka.

“Jangan senyum, Ruth” larang Alvazka, menatap senyuman yang Ruth tampilkan dengan tatapan tidak suka.

Perlahan senyum di bibir Ruth memudar, beberapa detik kemudian ia kembali memasang wajah seriang mungkin, bukannya tampak riang, Ruth malah tampak menyedihkan, mata gadis itu sedikit berkaca, dadanya terasa nyeri.

DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang