BAB 37

361 12 0
                                    

WARNING!!
Baca dari awal mengingat cerita mengandung plot twist


Sesuai dengan apa yang di katakan oleh Angga semalam, pihak media sudah berdiri di depan Polda Metro Jaya sedari pagi. Mereka tidak mau ketinggalan berita tentang pembunuhan berantai yang meresahkan masyarakat. Mereka menunggu kedatangan Angga Setiawan, pembunuh Sri, yang mengaku sebagai Necky, si legendaris yang kasusnya tidak terpecahkan.

“Sekarang Saya sedang berada di Polda Metro Jaya, menunggu kedatangan Angga Setiawan yang menyatakan akan menyerahkan diri ke kepolisian pada hari ini Pukul 09.00” ucap seorang wartawan wanita, pandangannya lurus ke arah kamera yang di pegang oleh rekannya.

Tidak hanya satu wartawan di sana, banyak wartawan juga menyiarkan berita di depan Polda Metro Jaya pada hari ini. Semalam mereka di gemparkan dengan video yang kembali di unggah oleh Angga, pria itu mengaku akan menyerahkan diri ke kepolisian dengan membawa bukti berupa senjata pembunuhan.

Tim 1 pun sudah berdiri di depan Polda, melihat kericuhan dari beberapa wartawan yang memenuhi Polda. Ada banyak orang yang percaya dengan pengakuan Angga, seorang pembunuh yang tergila-gila agar namanya di kenal oleh orang banyak. Narsisme. Berpuluh-puluh kamera sudah siap menanti kedatangan Angga Setiawan.

“Udah berasa artis dah itu Angga Setiawan di tunggu sama wartawan” ejek Rafa, melipat tangannya di dada.

“Kayaknya ini tujuannya unggah videonya, biar wartawan rame di kepolisian, dan dia kabur ke kota lain” ucap Arya, sedikit tidak percaya jika Angga Setiawan benar-benar akan menyerahkan dirinya, mengingat pria itu berhasil bersembunyi dari kepolisian sejauh ini.

“Lo gimana, Va? Yakin dia bakalan nyerahin diri secara sukarela?” tanya Pasha, menatap Alvazka, menanyakan pendapat pria itu.

“Dia pasti datang, dia gak pernah main-main sama ucapannya di video itu. Ini tujuannya dari awal” ucap Alvazka yakin.

“Beneran datang dia, anjing!” seru Rafa terkejut melihat Angga Setiawan yang datang ke Polda.

Angga berjalan dengan santai mendekat ke Polda, wartawan sudah berkerubung di dekat pria itu, sedikit menjaga jarak, takut jika Angga menyerang mereka secara tiba-tiba. Angga tersenyum, tidak segan menunjukkan dirinya ke kamera wartawan yang menyorotnya.

“Apa motif dari pembunuhan Anda lakukan kepada korban yang bernama Sri?” tanya wartawan pria.

Angga menghentikan langkahnya, menatap ke arah wartawan pria itu. “Dia pantas mati, jalang itu pantas mati!" jawabnya, di iringi senyuman.

“Apakah benar jika Anda Necky, pembunuh berantai yang selama ini membunuh banyak orang?” tanya wartawan yang lain.

Angga tertawa. “Kalian baru sadar kalau Saya Necky?” tanyanya.

Wartawan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan selalu di jawab oleh Angga dengan sangat percaya diri, pria itu sama sekali tidak merasakan takut. Ia merasa sedang menjadi artis papan atas, bukan pembunuh yang akan di adili.

“Bawa Angga ke ruangan interogasi, di biarin lama-lama dia bakalan makin besar kepala” suruh Alvazka, masuk ke dalam Polda, meninggalkan keributan yang di perbuat Angga, pembunuh yang suka mencari perhatian.

Arya berjalan mendekati Angga, memasangkan borgol ke tangan pria itu. Arya juga mengambil pisau yang Angga gunakan untuk membunuh Sri, menyerahkannya pada Rafa. Arya membawa Angga memasuki Polda dengan sedikit mendorong tubuhnya kasar. Pria gila itu, Angga masih tertawa kepada wartawan yang berkerubung di sana.

Wartawan yang mencoba masuk di tahan oleh kepolisian atas suruhan Pasha, wartawan hanya di izinkan sampai halaman Polda saja. Tidak di perbolehkan masuk yang nantinya hanya akan mengganggu proses investigasi.

Arya mendudukkan Angga di kursi yang ada di ruangan interogasi, mendorongnya dengan sedikit kasar. Kemudian Arya keluar ruangan, meninggalkan Angga sendirian di sana.

“Dia benar-benar gila, Va” ucap Pasha, memperhatikan Angga yang tersenyum-senyum, duduk di ruangan interogasi.

Alvazka terdiam, terus menatap Angga dari kaca ruang pantau, mengamati gerak-gerik pria itu. Angga sama sekali tidak merasa gugup walaupun dirinya sudah di tangkap oleh pihak kepolisian, karena ini tujuannya, namanya akan di bicarakan oleh banyak orang.

Alvazka dan Pasha mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruang pantau yang di buka dengan kasar. Terlihat Pak Broto memasuki ruangan di dampingi Pak Doni, dan menutup pintu kembali. Pak Broto memperhatikan Angga yang berada di ruangan interogasi. Angga tampak menyeringai, matanya meneliti sekeliling ruangan.

“Pastiin dia mengakui semua pembunuhan yang terjadi selama ini” perintah Pak Broto. Perintah yang tentu saja di tujukan pada Alvazka dan Pasha, tim 1 yang berada di ruangan ini.

“Pak, gimana kalau Angga kurang waras, Pak? Kita butuh evaluasi dari psikolog” saran Pasha, melihat tingkah Angga Setiawan, Pasha yakin jika pria itu sedikit kehilangan akal sehatnya, orang mana yang merasa senang dirinya di sebut pembunuh.

Pak Broto menatap Pasha tajam. “Saya gak mau tahu, mau dia gila sekalipun, dia tetap pembunuh dan harus di hukum!”

“Dia emang orang yang udah bunuh Sri, tapi dia belum tentu membunuh korban lain” bantah Alvazka, menatap Pak Broto tenang.

Pak Broto merasakan kepalanya memanas, ia memalingkan muka ke arah Pak Doni yang berdiri di dekatnya, tidak berani menatap Alvazka. “Kamu pastiin dia mengakui semua pembunuhan, kalau tidak, tim 1 akan Saya bubarkan karena tidak becus menyelesaikan kasus, dan kasus ini akan Saya alihkan ke tim 2” ancam Pak Broto, meninggalkan ruangan pantau.

Pak Doni mengangguk, sedikit membungkukkan badannya saat Pak Broto melangkah keluar dari ruang pantau. Setelah pintu ruang pantau kembali tertutup, Pak Doni memutar badannya, menatap Alvazka dan Pasha.

“Kali ini ikutin aja, ya, kemauan Pak Broto, lagian Angga juga ngaku kan kalau dia Necky” ucap Pak Doni, membujuk tim 1 untuk menerima perintah dari atasan.

Rafa masuk ke dalam ruangan pantau, membawa hasil tes darah yang ada di pisau yang di bawa oleh Angga, menyerahkannya pada Alvazka. “Cocok sama darah Sri” beritahunya.

Pasha sedikit mengernyit. “Cuma darah Sri, darah korban lainnya gak di temuin?” tanyanya.

Rafa menggeleng. “Semua darah yang ada di pisau cuma darah dari satu orang, yaitu Sri”

“Mungkin korban lain di bunuh pakai pisau yang lain” ucap Pak Doni.

“Lo ikut gue, Sha” ajak Alvazka, keluar dari ruangan pantau, di ikuti oleh Pasha.

Pak Doni dan Rafa tetap berada di ruangan pantau, melihat jika Alvazka dan Pasha masuk ke dalam ruangan interogasi, duduk di depan Angga.

Alvazka menatap Angga yang masih sibuk celingak-celinguk tidak jelas. “Lo kenal sama Sri?” tanyanya.

Angga tersenyum, menaruh tangannya di atas meja. “Dia jalang yang udah gue sewa, dan udah gue bunuh” jawabnya, di akhiri dengan tawa.

“Gila lo anjing!!” umpat Pasha, menarik kerah baju Angga dengan gerakan cepat, menatap Angga tajam, rahangnya mengeras. “Seneng lo udah bunuh orang?” tanyanya.

Angga tertawa, tangannya bergerak memegang tangan Pasha yang menarik kerahnya. “Dia pantas di bunuh”

“LO YANG PANTAS DI BUNUH!” Pasha melayangkan satu pukulan, menghantam pipi Angga, matanya menatap Angga yang terhempas dengan nyalang.

Alvazka menahan Pasha yang hendak memukul Angga lagi, menyuruhnya untuk tenang terlebih dahulu. “Lo keluar dulu, Sha. Suruh Arya ke sini”

Dada Pasha naik turun, menahan amarahnya, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. “Kalau gue gak polisi, lo udah mati di tangan gue!” ucapnya tajam pada Angga.

Pasha keluar dari ruangan, meninggalkan Angga bersama Alvazka. Angga mengusap sudut bibirnya yang terluka, kemudian kembali tertawa. Angga sedikit meringis saat tangannya mengusap pipinya yang di pukul oleh Pasha.

Alvazka masih diam, memandang ke arah Angga. Ketika Arya sudah masuk ke dalam ruangan interogasi, barulah Alvazka kembali menanyai Angga, mendapatkan keterangan dari pria itu.

“Gimana rasanya membunuh?” tanya Alvazka, menatap Angga. “Menyenangkan?”

Arya menoleh pada Alvazka, menatap pria itu saat mendengar pertanyaan yang di ajukan. Pertanyaan yang menurut Arya tidak seharusnya di tanyakan kepada pelaku pembunuhan.

Angga tersenyum, tangannya bergerak-gerak, tubuhnya menjadi bersemangat. “Orang-orang jadi kenal Saya” ucapnya. Ada semangat yang membara di mata Angga saat menjawab pertanyaan dari Alvazka.

Alvazka mengangguk, mengulas senyuman tipis. “Pembunuhan pertama akan membuat lo ketagihan”

Angga mengangguk. “Saya suka saat orang lebih membicarakan Saya dari pada membicarakan orang yang Saya bunuh”

“Apa benar lo yang udah bunuh 13 korban lainnya?” tanya Arya, menyerobot.

Alvazka menoleh pada Arya yang langsung menanyakan pertanyaan ke arah sana. Harusnya mereka menggali informasi secara perlahan dari tersangka yang bersangkutan.

Angga mengangguk, tersenyum lebar. “Necky yang kalian cari itu Saya” ucapnya, menunjuk dirinya sendiri, tubuhnya terus gemetar, bukan gemetar ketakutan, tapi gemetar karena kobaran semangat.

“Kalau lo emang Necky, siapa korban pertama yang lo bunuh?” tanya Alvazka.

Angga terdiam, tidak menjawab, seakan tidak tahu nama korban pertamanya. “Mana Saya ingat korban pertama Saya, dia udah lama Saya bunuh”

Alvazka tersenyum. “Pembunuh tidak akan melupakan korbannya, apalagi korban pertama” ucapnya pelan.

“Saya benar membunuh 13 orang itu, kejadiannya udah lama gimana Saya bisa ingat!” ucap Angga lantang.

Alvazka mengangguk, sebuah senyuman penuh makna ia perlihatkan. “Ya, mungkin pembunuhan yang lo lakuin gak berkesan, dan bisa aja lo lupa karna udah lama” nada bicaranya seperti mengejek Angga.

Angga menatap Alvazka dengan mata nyalang. “Saya sudah mengakui semua pembunuhan yang Saya lakukan, harusnya kalian langsung membawa Saya ke depan media, mengungkap identitas Saya!”

Alvazka mengangguk. “Tenang aja, kami akan ungkap identitas lo ke media setelah nemuin bukti pembunuhan yang lo lakuin”

“Saya punya senjata pembunuhan yang Saya bawa” balas Angga, mengingatkan Alvazka tentang pisau yang ia bawa bersamanya tadi.

“Oh, pisau itu. Pisau yang lo gunain buat bunuh Sri, udah di pastiin lo akan menerima hukumannya. Tapi, darah korban lain gak ada di pisau yang lo bawa” ucap Alvazka penuh penekanan di setiap katanya, memancing Angga untuk mengatakan semuanya.

Angga tampak berpikir, berusaha memutar otaknya. “Pisau yang Saya gunain buat bunuh yang lain udah Saya buang”

“Ke mana?” tanya Alvazka.

“Udah lama Saya buang. Buat apa Saya menyimpan pisau yang Saya gunain buat bunuh orang”

Alvazka mengangguk mengerti. “Trus buat apa lo simpan pisau yang lo gunain buat bunuh Sri? Padahal sebelumnya lo selalu buang senjatanya”

Angga terdiam beberapa detik, menundukkan kepalanya. “Karna...Saya..bosan sembunyi” jawabnya sedikit terbata. “Saya bermaksud menyerahkan diri setelah bunuh jalang itu”

“Kenapa lo berubah pikiran buat nyerahin diri sekarang setelah banyak korban sebelumnya?” tanya Alvazka lagi, masih belum puas dengan jawaban Angga.

Angga mengangkat kepalanya, memukul meja. “Itu karna kalian gak bisa tangkap Saya!" teriaknya, menatap Alvazka nyalang, hanya beberapa detik. Kemudian, Angga kembali menundukkan kepalanya.

Alvazka mengangguk. “Oke. Lo bisa tulis pembunuhan yang lo lakuin dengan rinci, semua pembunuhan yang udah lo lakuin” Alvazka menyodorkan kertas kosong dan juga pulpen pada Angga.

Alvazka melirik jam yang melingkar di tangannya. “Gue akan balik satu jam lagi” ucapnya, beranjak dari kursi.

“Va, gue di sini aja mantau Angga” ucap Arya, berdiri di depan pintu ruang interogasi.

Alvazka menatap Arya cukup lama, kemudian menganggukkan kepalanya. “Oke”

**********

Mohon berikan dukungan berupa vote & komen yaaaTerima kasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mohon berikan dukungan berupa vote & komen yaaa
Terima kasih

DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang