BAB 15

487 17 0
                                    

WARNING!!
Baca dari awal mengingat cerita mengandung PLOT TWIST


Ruth tersenyum saat menerima sebuah es krim dari Pak Bram, pria paruh baya itu mendadak datang ke apartemen Alvazka, mengajaknya untuk berjalan-jalan keluar sekedar mencari udara segar.

“Makasih, Pak” ucap Ruth, tersenyum senang.

Pak Bram juga tersenyum lebar, duduk di sebelah Ruth. Saat ini mereka sedang duduk di sebuah taman, di sana banyak anak kecil yang bermain.

“Biasanya Saya tiap sore ke sini Ruth kalau lagi ada masalah” jelas Pak Bram.

Ruth menatap Pak Bram sekilas, tatapannya beralih ke arah anak-anak yang tertawa, bermain sambil lari-larian bersama teman-temannya.

“Pak Bram punya anak?” tanya Ruth.

Pak Bram tampak berpikir, matanya menatap lurus ke depan, seperti mengenang kenangan masa lalunya. “Dulu punya”

“Sekarang?”

Pak Bram menggeleng. “Udah gak ada. Dia bunuh diri karena gak sanggup di bully di sekolah”

Ruth menatap Pak Bram, ia jadi merasa bersalah karena sudah menanyai kenangan pahit pria itu. “Maaf, Pak. Saya gak bermaksud...”

“Gak papa, Ruth. Kejadian itu jadi pembelajaran bagi Saya biar lebih memperhatikan kondisi mental orang di sekitar” ucap Pak Bram, tersenyum, seakan pria itu sudah berdamai dengan masa lalunya yang pahit.

“Tapi, yang bully di hukum, Pak?” tanya Ruth lagi, masih penasaran dengan nasib orang yang sudah mem-bully anak Pak Bram sampai bunuh diri.

Pak Bram menggeleng. “Mereka yang kaya kebal hukum, Ruth. Saya yang orang gak berpunya suaranya gak di dengar”

Ruth ikut prihatin, ia juga merasakan beratnya jadi orang yang gak berpunya, suara yang mereka serukan tidak akan di dengar. “Kenapa Pak Bram gak minta tolong Alvazka. Dia polisi yang baik, dia juga bantu Saya”

Pak Bram tersenyum. “Alvazka sempat bantu Saya, tapi atasannya gak setuju dan akhirnya kasusnya gak di tangani dengan benar” ucapnya.

Ruth terdiam cukup lama, es krim yang ada di tangannya sudah mulai mencair. Sepahit apa pun masa lalu Ruth, ada yang lebih pahit lagi darinya.

“Mereka pasti akan di balas suatu hari nanti, Pak” gumam Ruth.

“Sudah”

Ruth menatap Pak Bram bingung.

“Ayo, kita ke tempat lain” ajak Pak Bram, bangkit dari duduknya.

Ruth ikut bangkit mengikuti Pak Bram memasuki mobil, tidak berapa lama mobil berjalan, Pak Bram memarkirkan mobilnya di depan toko ponsel.

“Kata Alva kamu gak punya HP. Dia minta Saya buat antar kamu beli HP”

Alvazka pasti sadar jika ponselnya sudah tidak ada. “Saya gak butuh HP, Pak. Gak ada yang bakalan hubungin Saya”

“Loh, kata siapa? Orang ada Saya sama Alva yang bakalan hubungi kamu” sanggah Pak Bram, dengan ekspresi wajah yang sangat lucu.

Ruth tertawa kecil.

Pak Bram ikut tertawa. “Dah, ayo turun”

Ruth masih belum melepas seatbelt, masih duduk terdiam.

Pak Bram menatap Ruth bingung. “Kenapa, Ruth?” tanyanya, setengah badan pria itu sudah berada di luar.

“Saya gak mau ngerepotin Alva lebih lagi, Pak. Saya gak enak sama Alva, dia udah baik ngasih Saya tumpangan”

Pak Bram tersenyum, senyuman yang sangat khas dari pria itu. Senyuman itu sangat riang di mata orang yang melihatnya.

“Anggap ini hadiah dari Saya, nanti sebagai imbalannya Saya minta tolong satu hal sama kamu”

“Minta tolong apa, Pak?” tanya Ruth.

Pak Bram mengibaskan tangannya di udara. “Udah, nanti di bahas kalau itu. Sekarang kita beli HP buat kamu dulu”

Ruth akhirnya setuju, keluar dari mobil menyusul Pak Bram. Mereka masuk ke dalam toko ponsel, Pak Bram langsung memilihkan ponsel yang di mau oleh Ruth.

“Kamu mau HP apa?” tanya Pak Bram.

“Terserah aja, Pak yang paling murah aja”

Pak Bram mengangguk. “Iphone terbaru, Mba?” pintanya pada Mba penjaga toko.

Ruth kaget. “Jangan, Mba. Android aja, saya gak pernah pake iphone” Ruth cukup sadar diri jika dirinya tidak akan bisa mengaplikasikan iphone. Lagi pula ia tidak akan bisa menerima pemberian seseorang yang harganya mahal, Ruth tahu iphone mahal.

“Gak papa hadiah dari Saya, Ruth”

Ruth menggeleng. “Samsung aja, Mba” jawab Ruth ngasal saat matanya melihat tulisan samsung di etalase toko itu.

“Mau yang tipe apa, Kak?” tanya Mba penjaga toko.

“Yang terbaru” jawab Pak Bram.

Mba penjaga toko mengangguk, mengambilkan ponsel yang di minta. “Ini stok kita cuma tinggal warna hitam, Mbak. Gak papa?”

“Iya, Mbak gak papa” jawab Ruth cepat, takut jika Pak Bram mengubah pilihannya ke ponsel yang lebih mahal.

“Sekalian sama kartunya ya, Mba. Mau sekalian di pake gak perlu di bungkus” ucap Pak Bram.

Setelah selesai memasang kartu dan tetek bengeknya, Pak Bram langsung membayar menggunakan kartu debit. Mata Ruth sampai melotot, hampir keluar dari rongganya saat mendengar nominal harga dari ponsel yang sekarang menjadi miliknya. Jika Ruth gunakan untuk kehidupan sehari-hari bisa bertahan selama setahun atau bahkan lebih.

“Pak, Saya jadi gak enak nerima HP semahal ini” ucap Ruth, merasa tidak layak untuk menerima pemberian Pak Bram.

Pak Bram tersenyum. “Sebagai bayaran dari HP itu, kamu bisa kabulkan permintaan Saya”

Ruth menatap Pak Bram was-was, takut jika pria paruh baya itu meminta yang aneh-aneh padanya.

Pak Bram terkekeh. “Saya gak akan minta aneh-aneh” ucapnya dengan nada meledek, seakan bisa membaca isi pikiran Ruth.

Ruth sedikit bernapas lega mendengarnya. “Minta apa, Pak?”

“Tolong ngertiin Alva ya, Ruth. Alva belum pernah perlakukan seorang wanita kayak kamu, Ruth” ucap Pak Bram, kali ini pria itu tampak sangat serius. “Saya sudah anggap Alva sebagai anak Saya sendiri, Ruth”

Tapi, ada satu kalimat dari Pak Bram yang sepertinya pria itu salah. Harusnya kalimat itu di ucapkan pada Alvazka, bukan Ruth.

“Tolong terima Alvazka apa adanya, dengan segala kekurangan yang dia punya, Ruth”


**************



“Mending kita minum-minumnya di luar deh” ucap Alvazka, menghentikan langkah kaki temannya yang akan menaiki lift, menuju apartemennya.

Arya menoleh, kemudian tangannya bergerak menekan tombol lift. “Mending di rumah lo, Va. Jadi kalau gue mabok bisa langsung tidur”

“Iya, Va di luar mah harus ngeluarin duit banyak. Kalau di tempat lo kan tinggal beli minuman aja” tambah Rafa.

Alvazka menatap ke arah Pasha. “Apa lo setuju juga sama mereka?” tanyanya, membungkam mulut Pasha yang hendak berbicara.

Pasha menyengir. “Cuma di tempat lo yang bisa ngumpul rame-rame, Va”

Masalahnya bukan itu, Alvazka mau saja jika apartemennya dijadikan tempat berkumpul oleh teman sekaligus rekan kerjanya itu. Masalahnya, sekarang Alvazka tidak tinggal sendirian, ada Ruth juga. Alvazka harus memikirkan kenyamanan Ruth, gadis itu akan sangat tidak nyaman jika banyak pria di tempatnya.

Alvazka hanya bisa mendesah pelan saat pintu lift terbuka, tepat di lantai 20, dan sekarang mereka sudah berdiri di pintu depan apartemennya. Alvazka membalikkan badan, menatap rekan lainnya dengan tatapan memelas.

“Jangan di tempat gue deh” ucap Alvazka.

“Udah sampai depan sini juga” protes Arya. “Lagian lo gak nyembunyiin mayat di tempat lo”

Rafa tertawa. “Atau lo sembunyiin selingkuhan lo, Va” ejeknya.

“Gue lebih percaya Alva nyimpen mayat dari pada sembunyiin cewek” ungkap Pasha, tidak sadar jika candaannya itu membuat Alvazka terdiam seribu bahasa.

“Ayo, Va. Buka pintunya” pinta Arya, pria itu sudah tidak sabar untuk segera menikmati minumannya.

“Lagian lo pada kenapa mendadak pengen minum di tempat gue deh” keluh Alvazka, mulai menekan password pintu apartemen.

“Gak papa, mau nyantai bentar, habis kesel sama si Novi” jawab Rafa, kembali membahas Novi. “Biar artikel yang di bikin sama Novi bukan omongan belaka, jadi kita bantuin. Kita nyantai aja minum-minum”

Sepertinya Rafa menaruh dendam pada Novi, wartawan yang menerbitkan artikel kontroversial terhadap pihak kepolisian yang menangani kasus pembunuhan berantai.

Alvazka melepaskan sepatu miliknya, menaruhnya di rak sepatu. Saat ia dan yang lain sudah ada di dalam apartemen, Alvazka tidak menemukan keberadaan Ruth. Apa Ruth masih di luar bersama Pak Bram? Jika iya, Alvazka merasa sangat bersyukur.

“Aduh, nyaman banget di sini” ucap Rafa, mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu. “Udah lumayan lama gue gak ke sini”

“Ya jelaslah, kita sibuk nanganin kasus, sampai tidur pun di kantor” balas Arya, duduk di sebelah Rafa.

“Gitu aja Novi masih ngira kita leha-leha” cibir Rafa, lagi, lagi membahas Novi.

“Awas, Raf, bahas Novi mulu ntar malah jadi jodoh lo” ledek Pasha yang sudah menempati sofa di seberang.

“Ingat ya” Rafa bangkit dari posisi menyandar di sofa, mengangkat jari telunjuknya. “Kalau sampai gue malah berjodoh sama Novi” ucapnya, menggerakkan telunjuknya bergantian pada rekan lainnya. “Lo pada harus bunuh gue saat itu juga”

Rafa sangat yakin, jika ia tidak mungkin berjodoh dengan Novi, ia tidak mau itu terjadi. Novi, salah satu wartawan yang membuatnya kesal, menganggap jika polisi tidak bertindak atas kasus yang beku.

“Jodoh gak ada yang tahu” peringat Pasha.

“Gak papa, Sha. Ntar biar gue yang bagian ngebunuh Rafa” canda Arya, tertawa singkat.

Alvazka kembali meneliti ruangan apartemen, menajamkan telinga, mendengarkan suara lain yang mungkin muncul dari kamar Ruth. Tidak ada. Hanya suara bercanda rekannya yang ia dengar.

“Lo kenapa deh, Va dari tadi celingak- celinguk gak jelas” tanya Arya heran. Pria itu sudah meneguk minuman yang sedari tadi ia keluarkan.

Alvazka menatap Arya. “Gak papa, santai”

“Lo yang gak santai” balas Arya, tangannya bergerak menyodorkan sebotol minuman pada Alvazka. “Udah kering kan jahitan lo?” tanyanya.

Alvazka mengangguk, mengambil alih botol minuman yang di sodorkan oleh Arya. “Thank’s” ucapnya, meneguk minuman itu.

“Ya, jangan banyak-banyak minumnya. Ntar lo mabok susah” peringat Pasha, memperhatikan Arya yang sudah menghabiskan satu botol minuman dalam waktu singkat.

Arya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, meneguk minuman dari botol kedua. “Besok gue libur” tuturnya.

“Eh, pantes ini bocah ngajakin minum” cela Rafa, baru sadar jika besok hari senin, hari libur Arya.

Arya hanya cengengesan, kembali meneguk minumannya.

Pasha geleng-geleng kepala melihat Arya yang sangat suka minum minuman keras. Pasha mengambil satu botol minuman, meneguknya sedikit. Tidak ingin jika ia mabuk, besok dirinya harus kembali bekerja.

Semua mata tertuju pada pintu apartemen yang terbuka, menampilkan Ruth yang baru pulang. Alvazka menatap Ruth yang kini terdiam di depan pintu.

“Ruth?” gumam Arya, menyipitkan mata, memastikan jika ia tidak salah lihat.

Ruth mengusap tengkuknya, merasa canggung. “Va, maaf, aku gak tau kalau teman kamu datang ke sini” ucapnya gugup.

Alvazka mengangguk. “Langsung masuk kamar aja, Ruth” suruhnya.

Ruth mengangguk, melepas sendalnya, berganti dengan sendal rumah. Ruth membungkukkan badannya sejenak pada rekan kerja Alvazka sebelum benar-benar menghilang di balik pintu kamarnya.

“Ruth tinggal sama lo?” tanya Rafa, kaget.

Alvazka mengangguk. “Udah lebih dari seminggu yang lalu” jawabnya.

“Kenapa?” tanya Arya, penasaran.

Alvazka menyesap minumannya, menyandarkan punggung ke sofa. “Gak ada alasan” jawabnya dengan suara pelan.

“Gue gak nyangka kalau tadi Ruth. Dia beda banget” tukas Rafa. “Jadi cantik dia”

“Kemaren juga cantik kali, cuma kondisinya aja gak mendukung” cela Arya.

Samar-samar Ruth mendengar obrolan itu dari balik pintu, gadis itu menghela napas pelan. Kakinya melangkah menuju kasur, terduduk di tepi kasur. Ia bisa jadi seperti ini berkat bantuan Alvazka, pria itu yang sudah mengubah Ruth, dari segi penampilan sampai semua segi di hidup Ruth. Kehidupannya berubah drastis semenjak kehadiran Alvazka yang berbaik hati membantunya.

“Lo naksir sama Ruth, Va?” tanya Pasha, menoleh pada Alvazka yang duduk di sebelahnya. Sementara Arya sudah mulai mabuk, dan Rafa juga sibuk dengan ponsel.

Alvazka tidak menjawab, tangan pria itu bergerak mengambil botol kedua setelah menghabiskan satu botol minuman.

“Lo tahu kan gimana masa lalu Ruth sama mantannya”

Alvazka menatap Pasha, mengernyitkan dahi bingung.

“Gue bukannya gak suka sama Ruth, tapi lo bisa dapetin yang lebih baik dari Ruth, Va” sambung Pasha.

Alvazka tersenyum miring. “Lebih baik dari segi apa?” tanyanya.

“Dari segi apa pun” ucap Pasha dengan kepala mangut-mangut, pandangannya lurus ke depan, menyesap minuman di tangannya.

“Trus Ruth pantasnya dapetin orang kayak gimana?”

Pasha menatap ke arah Alvazka, bingung dengan pertanyaan dari pria itu.

“Apa Ruth harus dapetin orang yang sama kayak mantan pacarnya?”

“Va, maksud gue gak gitu” jelas Pasha, tidak bermaksud menyinggung perasaan siapa pun.

Alvazka tertawa singkat. “Gue gak serius, Sha” ledeknya, melihat wajah Pasha yang tampak tegang.

Wajah Pasha yang tadi tegang berubah rileks. Pria itu tersenyum pada Alvazka.

“Ruth cuma kurang beruntung di masa lalu, Sha, itu penyebab dia ketemu sama Hafiz yang suka kasarin dia. Dan, sekarang pun imbas dari masa lalunya itu” Alvazka menghentikan ucapannya sejenak, matanya menatap lurus ke depan, melamun. “Akhirnya dia ketemu sama orang kayak gue”

“Kayak lo gimana?” tanya Pasha.

Alvazka tidak menjawab, diam sambil menyesap minumannya.


*********



*********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang