BAB 38

420 10 0
                                    

WARNING!!
Baca cerita dari awal karena mengandung plot twist


Alvazka menatap kertas yang ada di tangannya, kertas yang berisi pengakuan Angga tentang pembunuhan yang ia lakukan. Di tulis cara apa yang ia lakukan, membius korban, dan menggorok leher korban menggunakan pisau, membersihkan darahnya, setelah itu baru membuang mayatnya. Terakhir, pembunuhan Novi, karena memberontak Novi di pukul menggunakan kayu, membunuhnya di balik semak tepi jalanan, dan membuang mayatnya setelah di bersihkan.

“Tempat dia membunuh korbannya yang lain di mana?” tanya Alvazka pada Arya. Alvazka mendapatkan kertas itu dari Arya yang memang berkata ingin memantau Angga.

Arya mengangkat bahunya. “Dia gak nyebutin tempatnya”

Alvazka meremas kertas pengakuan Angga, berjalan dengan langkah lebar menuju ruangan interogasi, membuka pintu dengan mendorongnya kasar, matanya menatap Angga yang terduduk di kursi. Angga menatap ke arah pintu terkejut.

Dada Alvazka naik turun, menghempaskan kertas yang sudah ia remas ke meja. “Dimana lo bunuh korban lainnya kalau lo emang Necky?” tanyanya, menatap Angga tajam.

Angga menyeringai. “Di tempat Saya bertemu korban... Mungkin” jawabnya.

Alvazka menarik kerah baju Angga, rahangnya mengeras. “Lo jangan pernah permainin gue. Gue tahu kalau bukan lo pelakunya, lo pikir dengan cara lo ngaku kayak gini lo bakalan di kenal orang banyak? Lo bakalan di hukum mati dengan semua pembunuhan yang lo akuin”

Angga tertawa. “Tapi, orang-orang akan mengenang nama Saya sebagai Necky pembunuh berantai yang bersejarah” ucapnya senang.

“Persetan sama sejarah yang lo omongin!” Alvazka menghempaskan tubuh Angga dengan kasar, melayangkan satu pukulan yang membuat Angga tersungkur ke lantai.

“Va, tahan, lo bisa bunuh dia” Pasha menahan tubuh Alvazka yang menendang Arya, menarik tubuh Alvazka menjauhi Angga.

“Lepasin gue, Sha. Gue harus dapat pengakuan dari dia” teriak Alvazka, emosinya tidak terkendali dan baru kali ini Alvazka emosi saat menghadapi tersangka.

“Pengakuan apa lagi yang kurang buat kamu, Alva?” tanya Pak Broto, masuk ke dalam ruangan interogasi.

Dua orang lainnya juga masuk ke dalam ruangan interogasi, membantu Angga berdiri, memegangi kedua sisi tubuh Angga, dan membawanya keluar ruangan interogasi. Sebelum keluar, Angga sempat tersenyum melewati semua orang yang ada di sana.

“Senyum lo anjing!” umpat Rafa yang berdiri di depan pintu, menatap kesal Angga yang tersenyum.

“Kita belum selesai interogasi dia, Pak. Itu dia mau di pindahin ke mana?” tanya Alvazka, melepaskan diri dari Pasha yang memeganginya.

“Dia udah ngakuin semuanya, jadi tugas kita udah selesai. Tersangka akan di bawa ke kejaksaan untuk di adili” ucap Pak Broto, meninggalkan ruangan interogasi.

“Pak!” panggil Alvazka, sedikit berteriak.

“Va, kita selesaiin kasus ini dengan Angga sebagai tersangka, Va” ucap Pak Doni, menenangkan Alvazka.

Tangan Alvazka bergerak mengambil kertas yang ada di atas meja, kertas pengakuan Angga tentang rincian pembunuhan, memperbaiki kertas yang sudah remuk itu. “Bapak bisa liat sendiri. Gimana bisa dia jadi ingat nama semua orang yang udah dia bunuh, padahal baru aja beberapa jam yang lalu Saya tanya dan dia gak tahu nama korban pertamanya”

Pak Doni mengambil kertas itu dari tangan Alvazka, membaca daftar korban yang di tulis oleh Angga. “Mungkin dia udah ingat, Va”

Alvazka mengusap rambutnya kasar. “Dia gak lupa, Pak! tapi dia beneran gak tahu”

“Kita terima perintah atasan untuk saat ini, Va. Lagian Angga akan tetap di hukum mati karena dia terbukti membunuh Sri, gak mengubah apa pun walaupun kamu bersikeras kalau bukan dia pelakunya”

Yang di ucapkan oleh Pak Doni sepenuhnya benar. Angga tetap akan di hukum mati meskipun hanya mengakui satu pembunuhan yaitu pembunuhan Sri. Tidak ada yang akan berubah, keputusan atasan untuk melimpahkan semua kasus beku pembunuhan Necky pada Angga hanya meredakan keresahan masyarakat, tidak merugikan pihak mana pun.

Alvazka mengusap wajahnya, menarik napas, mengontrol emosinya, mendinginkan kepalanya yang memanas.

“Ini juga pilihan terbaik buat tim 1” tambah Pak Doni, menepuk-nepuk bahu Alvazka.

Pak Doni keluar dari ruangan interogasi, begitu juga dengan Alvazka, pria itu berjalan cepat keluar dari Polda, berhenti di depan Polda. Rafa dan Pasha juga mengikuti Alvazka, berjaga-jaga kalau Alvazka berniat menyerang Angga kembali. Alvazka terdiam, menatap ke arah Arya yang baru membalikkan badannya.

“Angga udah di bawa sama kejaksaan, gue tadi baru ngantar dia” jelas Arya, berpikir jika Alvazka keluar untuk menemui Angga.

“Kita biarin kasus ini selesai, Va. Masyarakat juga bisa merasa tenang, dan kita juga gak bakalan jadi bulan-bulanan atasan lagi” ucap Pasha, menepuk-nepuk bahu Alvazka, kemudian beranjak dari sana, masuk ke dalam Polda.

“Benar kata Pak Doni, Va. Untuk sementara, ini pilihan terbaik, dan gak merugikan siapa pun” ucap Rafa sebelum masuk ke dalam Polda.

Alvazka menatap ke arah Arya yang masih terdiam di posisinya. “Lo kan, Ya?” tanyanya.

“Gue cuma bantu Angga buat ingat sama nama korbannya, Va”

Alvazka menggeleng. “Enggak. Lo gak cuma bantu dia buat ingat, Ya. Lo sengaja ngasih tahu apa yang lo ketahui tentang kasus pembunuhan itu buat nutupin kesalahan yang lo lakuin”

“Ada bedanya, Va?” tanya Arya balik.

Alvazka menatap Arya tajam. “Gila lo, Ya!” hardiknya, menunjuk Arya. Kemudian Alvazka membalikkan badannya hendak melangkah, tapi langkahnya terhenti mendengarkan ucapan Arya.

“Dengan kayak gini lo gak perlu bantuin gue, Va. Dengan apa yang gue lakuin gak bakalan ada yang tahu perbuatan gue”

Alvazka kembali membalikkan badan, menatap Arya. “Oke. Gue akan anggap ini bukan ulah lo, Ya. Tapi, gue harap lo beneran berhenti dari semua yang lo lakuin. Gue anggap lo membuat kesalahan tanpa sengaja”

Arya terdiam, menatap punggung Alvazka yang perlahan menjauh. Arya melakukan ini untuk menutupi perbuatannya sendiri. Memang yang ia lakukan salah, tapi satu kesalahan itu tidak akan mengubah keputusan pengadilan nantinya. Ia hanya berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.

Angga masih terdiam menatap kertas di depannya, ia sama sekali belum menuliskan nama korban di kertas itu. Angga berpikir keras, ia tidak terlalu mengikuti perkembangan berita pembunuhan yang di lakukan oleh Necky. Ia hanya mengaku-ngaku sebagai Necky agar orang-orang terus membicarakannya.

Arya menyadarinya, menyadari gerak-gerik Angga yang sepertinya tidak tahu sama sekali nama korbannya, yang diketahui Angga hanya Sri. Tangan Arya bergerak mematikan kamera, kemudian beranjak, berdiri di belakang Angga, mengintip apa saja yang sudah di tulis oleh pria itu. Hanya ada nama Sri di sana.

“Sebenarnya lo gak perlu nyebutin nama korban satu-satu karena gak semua pembunuh mengenal korbannya, tapi gak akan ada yang percaya lo Necky kalau lo sama sekali gak tahu nama korban yang udah lo bunuh”

Angga mendengarkan segala ucapan Arya, tanpa menoleh. “Saya lupa namanya. Buat apa Saya ingat”

Arya mengangguk, menepuk bahu Angga pelan. “Biar gue bantu lo mengingat nama korban. Korban pertama Necky bernama Nirmala, dia di temuin di......”

Angga menuliskan semua yang di sebutkan oleh Arya, mulai dari nama korban, lokasi penemuan mayat, dan kondisi mayat yang memiliki luka sayatan di lehernya.

“Korban kedua belas Ayudia, mayatnya lo buang di parit bukan?” tanya Arya, seakan sengaja membeberkan informasi itu pada Angga.

Angga mengangguk. “Iya, Saya ingat” ucapnya, mencatat nama korban ke-12 di kertas berikut dengan lokasi pembuangan mayat.

“Kedua belas korban itu di temuin dengan luka sayatan di leher, dan tubuhnya di bersihin” ucap Arya, yang kemudian ucapannya di catat oleh Angga.

Setelah memastikan Angga mencatat semua yang ia ucapkan, Arya kembali berbicara. “Korban ketiga belas, Novi, seorang wartawan yang lo bunuh di hutan samping jalanan, dan mayatnya lo buang di parit, tempat mayat Ayudia di temukan”

Angga terus mencatat apa yang di katakan oleh Arya, seakan dirinya mencatat semua keterangan yang di berikan oleh pelakunya sendiri.

Lo ngikutin Novi yang baru balik dari TKP penemuan mayat Ayudia, gak jauh beberapa meter dari sana, lo keluar dari persembunyian, dan langsung mukul dia pakai kayu sampai pingsan. Pas Novi pingsan lo liat kalau dia lagi telponan sama ibunya dan lo matiin HP-nya. Lo bawa Novi ke hutan di tepi jalanan, bunuh dia di sana, baru setelahnya lo bawa mayatnya pakai mobil yang lo parkir gak jauh dari sana. Lo buang mayatnya setelah lo bersihin”

Arya sedikit tersenyum saat kembali mengingat momen dirinya membunuh Novi, wartawan yang menjelek-jelekkan kepolisian. Arya tidak menyangka jika Novi akan menjadi korbannya.

“Selanjutnya lo tahu kan pembunuhan yang lo lakuin?” tanya Arya.

Angga mengangguk, ia hanya perlu menuliskan pembunuhan yang ia lakukan kepada Sri di kertas itu.


**********

Gimana sama tebakan kalian? Benar gak pelakunyaa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gimana sama tebakan kalian? Benar gak pelakunyaa?

DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang