BAB 36

361 10 0
                                    

WARNING!!
Baca dari awal Bab mengingat cerita mengandung plot twist



Alvazka berlari menuju ruangan Divisi Humas yang menyelidiki kasus Ruth, pria itu baru saja mendapatkan kabar jika kepolisian berhasil menemukan tersangka, orang yang di duga telah menyebarkan video Ruth.

“Mana orangnya?” tanya Alvazka sesampainya di dalam ruangan divisi Humas.

“Itu” tunjuk Roy menggunakan dagu, selaku ketua tim Divisi Humas.

Alvazka menatap ke arah seorang pria yang terduduk sambil menunduk. Pria itu berjalan mendekatinya.

“Untung lo kasih tahu gue kalau korban pernah jual HP-nya” ucap Roy, duduk di kursi, di depan tersangka.

“Gue boleh ngomong berdua sama dia gak?” tanya Alvazka.

Roy mengangguk, beranjak dari kursinya. “Terserah lo mau di apain juga mah, gue bakalan tutup mulut” ucapnya, keluar dari ruangan, menutup pintu.

Kini di dalam ruangan hanya tinggal Alvazka dan pria yang menyebarkan video asusila Ruth. Alvazka duduk di kursi, menatap ke arah pria itu dengan tajam.

“Lo yang udah nyebar video cewek gue?” tanya Alvazka.

Pria itu mengangkat kepalanya, mimik wajahnya terlihat ketakutan. “Bang, Saya gak tahu kalau dia cewek abang”

“Trus lo bisa bebas sebar video orang lain tanpa izin gitu?”

“Saya udah hapus videonya, semuanya udah Saya hapus, Bang” ucap pria itu terbata, tangannya gemetaran.

Alvazka sedikit membungkuk, meraih kerah baju pria itu, membuat pria itu makin gemetaran. Tangan Alvazka terkepal kuat, satu pukulan ia layangkan ke wajah pria itu sampai tubuhnya terjatuh ke meja. Alvazka kembali menarik kerah bajunya, menatapnya tajam.

“Untung lo ketemu gue sekarang! Kalau lo ketemu gue dari lama mungkin lo gak cuma gue pukulin” ucap Alvazka penuh penekanan, melepaskan kerah baju pria itu dengan kasar.

“Gara-gara perbuatan lo cewek gue masuk rumah sakit. Harusnya gue juga bikin lo terkapar di rumah sakit” ucap Alvazka, menatap pria itu tajam.

Pria itu hanya bisa meringis memegangi pipinya yang di pukul oleh Alvazka. Ia menunduk tidak berani menatap Alvazka, takut di pukuli lagi.

Alvazka bergerak mengambil ponsel lama Ruth yang berada di meja dengan gerakan kasar, meninggalkan pria itu. Jika tidak mengingat Ruth tengah hamil, mungkin Alvazka sudah menghabisi pria itu. Pria yang sudah menyakiti Ruth-nya.

“Udah selesai aja, Va?” tanya Roy yang berjaga di depan pintu.

Alvazka mengangguk, sedikit mengangkat ponsel Ruth yang di jadikan sebagai bukti. “Ini gue bawa, ya. Gue gak mau ke sebar lagi” ucapnya.

“Itu barang buktinya gimana?” tanya Roy.

“Pengakuan dia udah cukup di jadiin bukti, dan pastiin dia di hukum seberat-beratnya, gue gak mau damai hanya dengan bayar denda, jeblosin ke penjara” ucap Alvazka sebelum meninggalkan Roy.

Roy hanya bisa geleng-geleng kepala.

*********

Alvazka masuk ke dalam apartemen, membuka sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu. Pria itu menenteng makanan yang ia beli saat perjalanan pulang. Tadi ia sempat menanyai Ruth lagi ingin memakan apa, dan Ruth mengatakan sedang ingin sate kambing.

“Ruth mana, Pak?” tanya Alvazka pada Pak Bram yang sedang sibuk bebersih di dapur.

Pak Bram menatap Alvazka, pria itu memakai celemek. “Di kamar. Dia dari tadi gak mau makan”

Alvazka mengangguk, meletakkan makanan yang ia beli di atas meja dapur. “Pak, tolong di sajiin ya, Pak” pintanya.

Alvazka kemudian melangkah memasuki kamar Ruth, tersenyum saat melihat Ruth terdiam duduk di atas kasur, bersandar ke kepala ranjang. Alvazka menutup pintu, berjalan mendekat.

“Kenapa, Ruth?” tanya Alvazka lembut, duduk di sebelah Ruth, memindahkan kepala Ruth ke pelukannya.

Ruth menggeleng lemah. “Perut aku gak enak, Va” keluhnya, seharian ini ia merasa sangat mual dan perutnya terasa di aduk-aduk.

Alvazka mengusap perut Ruth lembut. “Anak kita lagi rewel ya?” tanyanya.

Ruth menggeleng. “Enggak. Kayaknya aku lagi gak nafsu makan aja”

“Tetap harus makan, Ruth. Kamu butuh nutrisi buat bayi kita”

Ruth menatap wajah Alvazka yang sangat dekat dengannya. “Nanti aku makan”

“Aku beliin kamu sate kambing. Aku temenin makannya, ya” ajak Alvazka, membantu Ruth turun dari kasur.

Mereka keluar dari kamar Ruth, menuju dapur. Di mini bar Pak Bram sudah menyajikan sate kambing yang Alvazka beli, dan juga sudah ada minuman di sana, segelas air putih dan segelas susu ibu hamil.

“Pak Bram ikut makan, Pak?” ajak Alvazka, duduk di mini bar.

Pak Bram tersenyum. “Saya mau langsung balik aja, Va” ucapnya, melepaskan celemek. Pak Bram tidak ingin mengganggu waktu berdua Alvazka dan Ruth, untuk itu ia memilih pulang.

“Hati-hati, Pak” ucap Ruth, menatap Pak Bram yang hendak melangkah meninggalkan dapur.

Pak Bram mengangkat jempolnya, tersenyum lebar pada Ruth. Kemudian, melangkah meninggalkan apartemen Alvazka.

“Ini satenya di makan Ruth” Alvazka menyuapkan setusuk sate ke arah mulut Ruth.

Ruth langsung mual saat mencium bau sate, menutup mulutnya, dan wajahnya sedikit memerah.

Alvazka meletakkan kembali sate ke piring, menatap Ruth panik. “Kenapa, Ruth?” tanyanya, memegangi bahu Ruth.

Ruth menggeleng. “Aku gak suka bau satenya, Va”

Alvazka beranjak dari duduknya, menghela tubuh Ruth untuk pindah ke sofa ruang tamu, menjauhi dapur. “Kita duduk di sini aja, Ruth. Aku gak tahu kalau kamu gak suka bau sate kambing”

“Aku yang minta sate kambing, Va. Kayaknya bawaan hamil jadinya mual” jelas Ruth. Ia sedikit membaca jika ibu hamil wajar mengalami mual, dan tidak menyukai bau makanan.

Alvazka mengelus-elus perut Ruth, berharap rasa mualnya berkurang. “Ternyata hamil menyiksa kamu, Ruth. Kalau tau begini aku harusnya pakai pengaman” ucapnya.

“Kamu nyesel, Va?” tanya Ruth.

“Bukan gitu, Ruth. Aku gak pernah nyesel hamilin kamu, Ruth. Tapi, aku gak tega kamu jadi susah makan”

Ruth tersenyum geli melihat Alvazka, tangannya bergerak membelai pipi pria itu. “Aku gak papa, Va”

Alvazka menarik tubuh Ruth agar bersandar di dadanya, dengan posisinya menyandarkan punggung ke sandaran sofa, memeluk tubuh Ruth dari belakang. Tangannya masih mengusap-usap perut Ruth dengan sangat lembut.

“Aku udah nemuin orang yang nyebar video kamu, Ruth” ucap Alvazka.

Ruth terdiam, mendengarkannya saja.

“Rasanya aku pengen bunuh dia Ruth”

Ruth sedikit bergerak, berusaha mendongakkan kepalanya untuk melihat Alvazka, sedikit terkejut dengan yang di katakan oleh pria itu.

Alvazka terkekeh. “Tapi, gak jadi, Ruth. Aku ingat kamu sama anak kita”

Ruth merasa lega, tidak ingin Alvazka menjadi pembunuh karenanya. “Biarin dia terima hukumannya sesuai hukum aja, Va”

Alvazka mengangguk, kalimat selanjutnya yang di keluarkan oleh Alvazka membuat Ruth menatap pria itu lagi.

“Aku cuma mukul dia sekali aja, Ruth”

************

Angga mengeluarkan kartu dari ponselnya, menggantinya dengan kartu baru agar pihak kepolisian tidak bisa melacak keberadaannya. Setelah berhasil mengganti kartunya, Angga menghidupkan ponselnya kembali. Ia berniat mengecek sudah sampai mana perkembangan dari video yang ia buat, sebab di luaran sana tidak ada satu pun berita yang membicarakannya.

Angga langsung mengecek video yang ia unggah, video tidak di temukan. Angga berdecak sebal, pantas saja tidak ada yang membicarakan videonya. Seharusnya media sudah melihat video yang dirinya unggah, tapi kenapa belum ada artikel maupun berita yang menyiarkan videonya itu.

Angga berulang kali mengecek laman berita di internet, sama sekali tidak ada artikel tentang dirinya. Angga berteriak, melemparkan ponselnya ke lantai gedung kosong, tempatnya bersembunyi selama ini. Untuk melampiaskan kekesalannya, Angga menendang-nendang kayu bekas bangunan yang ada di sana.

Kenapa orang-orang tidak membicarakannya lagi? Padahal ia sudah membuat video pengakuan bahwa dirinya pembunuh berantai yang membunuh banyak orang. Apa orang-orang sudah tidak tertarik dengan kasusnya lagi karena sudah terlalu lama?

Angga harus mengubah rencananya, ia tidak boleh bersembunyi secara terus menerus, ia harus membuat media kembali tertarik dengan kasusnya, terutama namanya harus jadi bahan perbincangan orang-orang.

Angga bergerak gelisah, mengambil ponselnya yang tadi ia lempar. Angga mencoba menekan tombol power, dan untung saja ponselnya masih hidup. Angga menghidupkan kamera, meletakkannya di atas tumpukan kayu, ia berdiri di depan kamera, tersenyum.

“Kalian pasti penasaran dengan apa Saya membunuh korban Saya bukan?” ucapnya merogoh saku hoodie-nya, mengeluarkan pisau yang ia gunakan untuk membunuh Sri.

Sambil tersenyum Angga mengangkat pisau itu, menunjukkannya ke kamera. “Ini kan yang kalian cari?” tanyanya pada kamera, seakan berbicara dengan seseorang. Angga menggerakkan pisau itu di dekat wajahnya, sedikit mengendus pisau yang masih meninggalkan darah Sri di sana.

Angga tertawa, wajahnya tampak sangat bersemangat. “Karena polisi tidak bisa menemukan Saya. Saya akan membawakan pisau ini ke polisi secara langsung. Saya minta semua wartawan datang ke kantor Polda jam 9 pagi. Kalian akan melihat Necky di hadapan kalian semua”

Angga mengakhiri rekaman videonya dengan tawa menggelegar. Tanpa pikir panjang, Angga langsung mengunggahnya untuk menarik perhatian media kembali atas kasusnya. Ia harus turun tangan langsung, menunjukkan dirinya di depan semua orang. Dengan begitu akan banyak wartawan yang memotretnya, dan memasukkan foto dirinya ke dalam berita. Angga tidak mau bersembunyi lagi. Polisi tidak akan menemukannya jika bukan dirinya yang menghampiri kepolisian secara langsung.

******



******

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang