BAB 33

342 12 0
                                    

WARNING!!
Baca dari awal mengingat cerita mengandung plot twist


Di balik kegelapan sebuah gedung terbengkalai, seorang pria menggunakan topi hitam dan hoodie terduduk di sofa lusuh dalam gedung itu. Samar-samar cahaya rembulan masuk melalui celah bangunan yang sebagian sudah tidak memiliki dinding. Tatapan mata pria itu tertuju pada layar ponsel menyala, tersenyum senang. Cahaya dari layar ponsel menyinari wajahnya, dia Angga Setiawan, tersangka yang sedang di incar pihak kepolisian atas kasus pembunuhan Sri Andayani.

Bibir Angga tidak berhenti tersenyum, senyuman itu semakin lebar. Tangannya sibuk bergerak-gerak di layar ponsel, matanya membaca tulisan yang ada di layar ponsel, berita tentang pembunuhan Sri Andayani. Bukan itu yang menjadi fokusnya, melainkan namanya yang selalu di sebut-sebut dalam setiap berita, fotonya terpajang di mana-mana. Tatapannya tampak sangat senang dengan hal itu, ia sama sekali tidak merasa takut telah menjadi buronan polisi.

Tawa menggelegar mulai terdengar, tidak pernah bosan terus membaca berita yang trending topic, pemberitaan tentang dirinya. Belum pernah dirinya di kenal oleh begitu banyak orang, sampai seluruh masyarakat mengenali wajahnya. Meskipun hal itu membuatnya kesusahan untuk berkeliaran, tapi tidak masalah, selagi dirinya di kenal banyak orang tidak masalah.

Angga sama sekali tidak menyesal telah membunuh Sri Andayani, ia begitu puas melakukannya, melihat mayat Sri terkapar mengembalikan semangat hidupnya. Menurut Angga, wanita menyebalkan seperti Sri Andayani pantas untuk di bunuh. Berani-beraninya wanita itu menuduhnya sebagai pria tidak punya modal.

Sri yang baru selesai melayani pelanggan, beranjak mengambil bajunya yang berceceran di lantai, segera memakainya. Sri mengecek ponselnya, menunjukkan Pukul 8 malam, sudah cukup lama ia melayani pelanggan satu ini. Sri beralih menatap ke arah pria yang ia layani, Angga. Pria itu terduduk bersandar ke dinding, menghisap sebatang rokok, menghembuskan asapnya ke udara. Pria itu membiarkan tubuh telanjang begitu saja, tidak berniat memakai bajunya kembali.

“Mana bayaran gue yang udah di janjiin?” tanya Sri, menengadahkan tangan, meminta bayaran atas kinerjanya melayani pria itu.

Angga menatap ke arah Sri, terkekeh. “Gue gak mau bayar jalang kayak lo”

Sri membulatkan matanya, berdiri di depan Angga. “Enak aja lo gak mau bayar gue! Gue udah layanin lo lama, berjam-jam, mana lo mainnya kasar” ucap Sri merasakan tubuhnya yang sakit karena saat berhubungan badan pria itu beberapa kali memukulinya.

“Fetish lo juga aneh” tambah Sri, tangannya juga di ikat oleh Angga ketika menungganginya. Saat itu Sri membiarkan Angga mengikat, bahkan memukulinya saat mereka bercinta karena Angga menjanjikan bayaran lebih pada Sri.

Angga melemparkan puntung rokok yang masih menyala ke arah Sri, untung saja Sri menghindar sehingga puntung rokok itu tidak mengenainya. Angga tertawa, menatap Sri dengan tatapan meremehkan. “Kan fungsinya jalang kayak lo emang buat itu, di tunggangi sepuasnya”

Amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, tanpa pikir panjang Sri langsung melayangkan tamparannya tepat mengenai pipi keras milik Angga. “Dasar cowok gak modal, kalau gak punya duit gak usah sok-sokan sewa cewek lo, coli aja lo. Gak usah pakai ngatain gue jalang, emang lo aja yang gak modal. Dari awal gue emang udah curiga pas lo bilang bayar pas udah dipuasin, Brengsek!!” amuk Sri, mengakhiri umpatannya dengan meludahi wajah Angga. Meskipun tidak terima dirinya tidak di bayar, Sri memilih berbalik arah untuk keluar dari kontrakan Angga.

Angga mengusap wajahnya yang di ludahi oleh Sri, tersenyum. Tangannya bergerak mengambil tali yang tadi ia gunakan untuk mengikat tangan Sri. Angga bangkit dari duduknya, mendekati Sri yang hendak membuka pintu. Pria itu langsung mencekik leher Sri, menariknya untuk setengah terbaring di kasur.

Sri berusaha melawan, memberontak, tangannya ia gunakan untuk menahan cekikan tali di lehernya sampai tangannya terluka. “Le..pa..sin..” lirihnya, napasnya mulai terputus-putus.

Angga tertawa puas melihat wajah Sri yang memucat. “Jalang kayak lo lebih baik mati aja, sampah masyarakat!” ucapnya, semakin menarik tali sekuat tenaga.

Perlahan gerakan kaki Sri melemah, gadis itu menghembuskan napas terakhirnya. Angga melepaskan cekikan di leher Sri saat menyadari jika Sri sudah tidak bergerak. Angga bergerak mengambil pisau yang ada di tempatnya, mengarahkan pisau itu ke leher Sri, menggoroknya sambil tersenyum lebar.

Angga tertawa di dalam kegelapan saat mengingat perbuatannya pada Sri, perasaan bahagia ia rasakan saat membunuh gadis itu. Angga merasakan darahnya berdesir, pria itu menarik napas perlahan menengadahkan kepalanya ke atas. Jika Angga tahu dirinya akan di kenal oleh masyarakat dengan mengungkapkan identitasnya, maka dari dulu ia akan melakukan ini.

Angga meletakkan ponsel yang tadi ia gunakan di atas sofa reot di gedung itu, ponsel tersebut milik Sri. Angga melangkah pergi meninggalkan gedung tua itu dengan posisi ponsel Sri masih menyala. Ia tahu jika polisi pasti akan segera menemukan lokasinya melalui ponsel Sri, untuk itu ia akan mencari tempat persembunyian lain. Ia akan menikmati permainan petak umpet bersama kepolisian.

Tidak berapa lama setelah Angga meninggalkan gedung, sebuah mobil berhenti tepat di depan gedung. Alvazka dan Rafa keluar dari mobil, mengendap-endap masuk, menaiki tangga gedung terbengkalai itu. Rafa yang iseng ingin melacak lokasi ponsel Sri, menemukan jika ponsel itu kembali aktif. Mereka langsung menuju lokasi ponsel Sri berada, di gedung ini.

Alvazka mengarahkan pistolnya, tidak ada siapa-siapa di sana, matanya tertuju pada sofa reot yang di atasnya terdapat ponsel yang masih menyala. Alvazka berjalan mendekat, mengambil ponsel yang menampilkan artikel tentang tersangka pembunuhan Sri.

Alvazka memekik, meninju udara, mereka datang terlambat, Angga pasti sudah meninggalkan gedung. “Bangsat!!” umpatnya, menggenggam erat ponsel yang ia temukan.

Rafa yang menyadari itu langsung berbalik arah, berlari keluar gedung, pandangannya meneliti sekitar, tidak melihat pergerakan orang lain, sepertinya Angga sudah pergi sedari tadi.

“Dia pasti udah pergi jauh, Raf” ucap Alvazka, menahan langkah kaki Rafa yang hendak berlari mengejar Angga. “Dan kita gak tahu ke arah mana dia pergi” tambahnya.

Memang ada banyak  rute jalan di depan gedung ini, jika mereka mengejar pun akan percuma mengingat saat ini mereka hanya berdua sementara rute yang akan di ikuti cukup banyak jika masuk gang-gang. Memanggil bantuan pun akan sia-sia, Angga pasti sudah tidak berada di sekitar gedung lagi.

“Dia menikmati pemberitaan yang nyebutin namanya, Raf” ucap Alvazka, memperlihatkan riwayat pencarian Angga di ponsel Sri. Pria itu membaca semua artikel yang menyebutkan namanya. “Dia bangga” sambungnya.

“Bangsat!” umpat Rafa, mengepalkan tangannya kesal saat melihat apa yang di cari oleh Angga.

“Kita harus hapus semua berita yang menyiarkan tentang Angga Setiawan sebagai tersangka”

Rafa menatap Alvazka sedikit bingung, mengerutkan kening.

“Hanya dengan cara itu kita bisa narik dia keluar dari persembunyian”

********

Sesuai dugaan Alvazka, seminggu setelah mereka menghentikan semua informasi terkait tersangka kepada media, Angga menampakkan dirinya. Kepolisian tidak lagi berbagai informasi dengan pihak media, dan pemberitaan lambat laun berkurang, seiring berjalannya waktu mulai di lupakan. Alvazka meminta kepada atasannya untuk memberikan mereka kesempatan melakukan penyelidikan secara tertutup tanpa campur tangan media.

Semua siasat yang di lakukan oleh Alvazka dan timnya berhasil, mereka menerima telepon dari seorang pegawai minimarket yang mengaku melihat tersangka. Angga berbelanja di sebuah minimarket setelah selama berhari-hari tidak menampakkan dirinya pada masyarakat.

Rafa sedang mengecek rekaman CCTV di minimarket yang pegawainya telah melapor pada kepolisian, Tio. “Dia beneran ke sini, Va” ucap Rafa, menatap layar komputer.

Angga meletakkan sebotol minuman di atas meja kasir. Tio yang kebetulan sedang berjaga di minimarket men-scan belanjaan Angga, matanya sama sekali tidak menatap ke arah pelanggan, ia fokus menatap layar ponsel yang menampilkan tayangan ulang pertandingan bola.

“Totalnya 15.000, Pak” ucap Tio, menatap ke arah Angga.

Angga memberikan uang 20.000 pada Tio dengan kepala menunduk, pria itu memakai topi dan hoodie hitam.

Tio mengambil uang dari Angga sama sekali tidak curiga dengan gerak-gerik Angga. “Ini kembaliannya” ucapnya, menyerahkan kembalian uang Angga beserta struk belanjaan.

Angga mengambil uang dari tangan Tio, berikut minumannya. Angga merasa aneh karena Tio sama sekali tidak mengenalinya. Akhir-akhir ini pun Angga sudah tidak mendengar media yang membicarakannya. Angga berhenti melangkah, kembali membalikkan badannya ke arah Tio.

“Kamu kenal Saya?” tanya Angga.

Tio yang tadi sudah kembali fokus pada layar ponsel, menarik kepalanya menatap Angga, sedikit mengernyit bingung. “Siapa?” tanyanya.

Angga membuka topinya, menatap ke arah Tio, tersenyum. “Saya pembunuh berantai Necky” ucapnya dengan bangga.

Tio terperanjat, ia masih sangat mengingat nama Necky. Tubuh Tio sedikit gemetaran, menatap ke arah Angga dengan waspada.

Angga menarik kepalanya ke arah CCTV yang ada di minimarket dengan sengaja memperlihatkan wajahnya, tersenyum. Kemudian pria itu kembali memakai topinya, melangkah keluar minimarket. Saat itulah Tio buru-buru menelepon kepolisian setelah Angga pergi.

“Dia sengaja liatin mukanya ke kamera” ucap Alvazka, menatap layar komputer, menampilkan rekaman wajah Angga yang tengah tersenyum.

“Dasar psikopat!” gumam Rafa sedikit kesal.

“Salin rekaman CCTV-nya, Raf. Kita tetap dengan rencana kita buat biarin dia keluar dengan sendirinya” ucap Alvazka, di balas dengan anggukkan oleh Rafa.

Alvazka beralih menghampiri Tio yang terduduk dengan bahu lemas di kursi, tangan pria itu tampak gemetaran.

Tio mengangkat kepalanya, menatap Alvazka yang berdiri di depannya. “Saya takut banget, Pak, kalau dia bunuh Saya” ucapnya gemetar.

“Saya akan suruh polisi berjaga di dekat minimarket” ucap Alvazka, menenangkan Tio. “Dia ngomong apa aja ke kamu?” tanyanya, melihat jika di CCTV Angga seperti mengatakan sesuatu pada Tio.

“Dia nanya ke Saya apa Saya kenal dia, ya Saya gak tahu kan, Pak. Trus dia buka topi dan bilang kalau dia pembunuh berantai Necky” jelas Tio.

“Necky?” ulang Rafa, ikut berdiri di dekat Tio setelah menyalin rekaman CCTV.

Tio mengangguk. “Iya, Saya yakin banget dia ngomong gitu, karena dia ngomong gitu Saya langsung ingat sama kasus pembunuhan Necky”

Alvazka dan Rafa pergi keluar dari minimarket setelah mendapatkan keterangan dari Tio. Sebelum masuk ke dalam mobil, Alvazka sempat meneliti sekitar, di sini pasti cukup ramai orang berlalu lalang meskipun sudah malam. Angga cukup berani menampilkan dirinya ke tengah keramaian.

“Va, apa benar kalau Angga Necky?” tanya Rafa, menatap ke arah Alvazka yang baru masuk ke dalam mobil, sedang memasang seatbelt.

Alvazka mengangkat bahunya. “Kita akan tahu nanti pas udah nangkap Angga. Kita cuma perlu nunggu dia nunjukin dirinya ke kita”

“Lo yakin sama rencana kita ini?”

Alvazka mengangguk, matanya fokus ke jalanan. “Gue yakin. Dari apa yang terjadi sekarang, gue sangat yakin kalau Angga haus akan ketenaran. Dia menikmati namanya di kenal banyak orang”

Setelahnya hening, Rafa tidak lagi bersuara, sementara Alvazka fokus mengemudi. Rafa menatap layar ponselnya, membuka aplikasi X untuk sekedar membaca beberapa topik pembicaraan yang tengah hangat di sana. Saat matanya melihat sebuah hastag yang aneh, menariknya untuk mengklik hastag tersebut. #GejolakSebelumAjalMenjemput. Hastag yang menempati posisi pertama trending topic di X.

Mata Rafa melebar, tubuhnya kaku sejenak saat melihat video yang ada di layar ponselnya, ia kenal dengan orang di video tersebut. “Va” panggilnya, menoleh pada Alvazka.

Alvazka melirik Rafa sekilas, kemudian kembali fokus mengemudi. “Muka lo kenapa tegang begitu?” tanyanya heran.

“Berhenti bentar, Va, ada yang mau gue kasih liat ke lo” suruh Rafa, tidak ingin memperlihatkan apa yang ia lihat pada Alvazka di saat pria itu tengah mengemudi.

“Kenapa sih, Raf?” tanya Alvazka, masih belum berniat menepi di jalanan.

“Menepi di depan, Va” Rafa menunjuk bahu jalan di depan mereka, ada tempat untuk mobil mereka berhenti di sana.

Alvazka menurut, menepikan mobilnya. “Jangan lama-lama, ini kita bisa kena tilang” ucapnya.

Saat mobil sudah benar-benar berhenti, Rafa segera menyodorkan ponselnya, memperlihatkan apa yang ia lihat tadi. “Lo liat ini”

Alvazka menarik matanya menatap layar ponsel Rafa, rahangnya mengeras, tangannya yang berada di setir terkepal kuat. Di sana, di layar ponsel Rafa menampilkan video Ruth yang tengah di setubuhi oleh Hafiz, wajah Ruth terlihat sangat jelas di video itu. Banyak komentar orang-orang yang mengutuk, mengatakan Hafiz layak mati karena ulahnya itu. Ada juga yang mencaci maki Ruth, menyuruh Ruth untuk ikut mati saja.

Dasar bejat, pantas dia mati di bunuh pelaku karena selingkuhi pacarnya

Cewek di video selingkuhannya kali

Dasar gak tau malu, Mati aja sana!!

Harusnya yang cwe ikut mati

Gak punya adab

Info lokasi cwek di video, mau gue entot

Dan masih banyak lagi komentar menyakitkan yang di tujukan untuk Ruth di sana. “Lo liat ini di mana?” tanya Alvazka, urat lehernya menegang.

“Ini lagi trending topic di X, Va”

“Ruth” gumam Alvazka, teringat dengan Ruth, jangan sampai gadis itu melihat videonya yang tersebar di internet. Tangan Alvazka bergerak mengambil ponsel, menelepon Ruth berkali-kali.

“Ayo, Ruth angkat” gumam Alvazka cemas, panggilan teleponnya tidak kunjung di angkat oleh Ruth. Ia ulangi secara terus menerus, masih tidak di angkat.

Alvazka menoleh ke arah Rafa. “Raf, gue kayaknya harus pulang, gue gak mau Ruth sampai liat videonya”

Rafa mengangguk. “Yaudah, gue turun di sini aja, ntar gue ke Polda naik taksi” ucapnya, turun dari mobil Alvazka.

Alvazka langsung melajukan mobilnya saat Rafa sudah keluar. Mengendarai mobil dengan kecepatan di atas batas normal, jari jemarinya menggenggam setir dengan kuat. Alvazka terus menelepon Ruth selagi ia fokus mengemudi. Sesekali ia hampir menabrak mobil lain akibat fokusnya terbelah dua antara menelepon Ruth dan juga jalanan.

*********



*********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang