EPILOG

1K 26 0
                                    

WARNING!!
Baca dari awal bab mengingat cerita mengandung plot twist

7 bulan kemudian,

“Iya, Ruth. Kamu jangan lupa makan, nanti aku balik ke rumah agak telat, lagi ada urusan di Polda” ucap Alvazka pada Ruth yang sedang meneleponnya.

Alvazka mematikan sambungan telepon, menatap layar ponselnya yang menggunakan foto pernikahannya sebagai wallpaper. Ya, Alvazka sudah menikah dengan Ruth, pernikahan yang mereka adakan secara sederhana tepat saat kandungan Ruth baru berusia 3 bulan, di hadiri oleh keluarga besar Alvazka dan rekan kerjanya.

Berbicara mengenai rekan kerja, Alvazka kembali bekerja di kepolisian atas bujukan Ruth, istrinya itu membujuknya untuk menerima ajakan temannya untuk kembali ke tim 1. Teman setimnya itu tidak berhenti terus mengunjungi apartemennya untuk membujuknya kembali bergabung, bahkan Pak Doni juga ikut membujuknya. Melihat ketulusan dari mereka, Ruth juga ikut membujuknya untuk kembali ke tim. Akhirnya, Alvazka berhasil di bujuk oleh Ruth, dirinya kembali bekerja di kepolisian setelah menyelenggarakan pernikahannya.

Dan Arya, pria itu masih bergabung dengan tim 1, dan Alvazka melupakan semua yang di lakukan oleh Arya, menganggap jika Arya tidak pernah membunuh siapa pun. Mereka kembali ke kehidupan normal, dan menyelesaikan kasus dengan baik tanpa mengungkit masalah itu lagi.  Lagi pula Alvazka bukan juga orang yang suci, yang tidak punya kesalahan.

Alvazka menghampiri penjaga lapas, ia sekarang berada di lapas tempat Angga Setiawan di kurung. Hari ini adalah hari terakhir Angga Setiawan di lapas ini, besok dia akan di hukum mati. Jadi, Alvazka ingin mengunjunginya untuk terakhir kalinya.

Setelah memberitahukan maksud kedatangannya kepada penjaga lapas, Alvazka duduk di sebuah ruangan khusus untuk bertemu dengan tahanan yang akan di hukum mati. Ruangan yang di batasi oleh kaca tebal, tidak akan bisa di tembus oleh apa pun, menghindari jika tahanan mencoba menyakiti pengunjungnya. Alvazka menatap ke arah Angga yang di antarkan oleh penjaga lapas dengan tangan yang di borgol.

Penjaga tahanan pergi meninggalkan ruangan, membiarkan Angga sendirian di ruangan itu. Angga menatap ke arah Alvazka, terduduk di kursi, di depan Alvazka dengan kaca tebal yang membatasi mereka.

“Mau ngapain lagi Pak Polisi ke sini?” tanya Angga.

Alvazka masih bisa mendengarkan suara Angga karena memang kaca ini memiliki lubang-lubang kecil sehingga memungkin pengunjung berbincang dengan tahanan.

“Apa tujuan lo ke capai?” tanya Alvazka, meneliti penampilan Angga yang tampak berantakan dengan luka di wajahnya, Angga pasti sempat berkelahi dengan tahanan lain. “Gue rasa, enggak. Lo gak pernah di bicarain lagi sama orang-orang. Gak sampai sebulan lo di tangkap, orang-orang udah ngelupain lo” jelasnya.

Kasus Angga Setiawan sebagai pembunuh berantai Necky memang tidak lagi di bicarakan. Media sempat heboh hanya saat Angga di tangkap, dan berita di siarkan tentangnya selama berhari-hari dan lama kelamaan tidak di bicarakan lagi. Kasus Angga di bicarakan tidak sampai sebulan lamanya, kemudian digantikan oleh kasus lain yang tengah hangat di perbincangkan.

Angga tersenyum. “Tapi, nama gue di kenang sebagai Necky”

Alvazka mengangguk, memang benar nama Angga di sebut sebagai Necky si pembunuh berantai. “Satu hal yang buat gue penasaran, gimana cara lo ngebunuh korban lo?”

“Gue udah tulis semuanya di kertas itu. Gue bius mereka semua dan gue gorok lehernya sampai..”

Alvazka tertawa kencang, membuat Angga menghentikan ucapannya. Ternyata sampai hari ini Angga masih menganggap dirinya Necky. “Sorry, gue gak bermaksud nyinggung perasaan lo. Tapi, satu hal yang harus lo tahu, kalau lo nyayat leher korban lo dengan keadaan dia gak sadar, rasanya kurang, lo gak bakalan bisa melihat hal yang menyenangkan, detik-detik mereka mati” ucap Alvazka serius, senyuman kecil muncul di bibirnya saat mengatakan itu.

“Lo gak tahu apa-apa tentang korban gue!” teriak Angga, memukul kaca di depannya, dan tentu saja usaha itu sia-sia karena Angga tidak akan bisa menggapai Alvazka.

“Oke. Lo bisa tenang dulu” Alvazka berusaha menenangkan Angga. Setelah di rasa Angga tenang, Alvazka kembali bertanya. “Siapa korban Necky ke dua belas?”

“Ayudia” jawab Angga yakin, ia sangat mengingat semua daftar nama korban. Ia menghafal nama itu berjaga-jaga jika ada yang bertanya saat dirinya di interogasi.

Alvazka tertawa lagi, tawa yang kesannya meledek Angga. “Eh, Sorry” Alvazka menutup mulutnya, menyadari jika Angga menatapnya tajam, mencoba menahan tawanya yang akan meledak. “Ayudia korban ketiga belas” tambahnya.

“Korban ketiga belas Novi”

Alvazka menggeleng. “Bukan. Lo salah, Novy gak ada kaitannya sama pembunuhan sebelumnya. Novi di bunuh sama orang berbeda, bukan Necky”

“Lo gak tahu apa-apa, jadi lo gak usah sok tahu. Lo bukan Necky, lo gak akan tahu siapa aja korbannya”

Alvazka sedikit mengangkat alis, menggigit bibir bawahnya. “Siapa bilang gue gak tahu” ucapnya, menarik perhatian Angga untuk menatapnya. “Gue nyaksiin mereka mati di depan mata gue sendiri”

Alvazka bangkit dari duduknya, tersenyum melihat Angga yang kebingungan akan ucapannya. “By the way, korban kedua belas gue itu Hafiz, bukan Ayudia” ucapnya, melenggang pergi meninggalkan Angga yang berteriak mengatakan jika dirinya Necky.

Alvazka tersenyum misterius saat melewati penjaga lapas. Pembunuh berantai yang di cari selama ini adalah dirinya. Alvazka membunuh korbannya tanpa memilih. Jika ada orang yang ia temui ketika dirinya sedang membutuhkan hal yang menyenangkan, maka ia membunuh saat itu juga. Melihat orang meregang nyawa, tubuhnya yang menggeliat membuat Alvazka senang. Itu menyenangkan baginya.

Alvazka tidak perlu pusing mencari korban, ia dengan mudah bisa mengajak korban untuk ikut bersamanya, membawa korban ke tempatnya biasa membunuh, di sebuah bangunan yang ia bangun jauh dari orang-orang, bangunan yang di kelola oleh Pak Bram. Ya, Pak Bram orang kepercayaannya, bertugas mengurus mayat yang sudah ia bunuh, dan memindahkan mayat itu.

Tugas Alvazka hanya menikmati pemandangan detik-detik kematian dari korbannya. Korbannya tidak langsung mati saat pisaunya menyanyat leher mereka karena sayatan yang ia buat sangat tipis, tapi tepat mengenai urat leher. Butuh waktu beberapa jam sampai korbannya benar-benar meregang nyawa, dan waktu itulah yang menyenangkan bagi Alvazka. Tontonan proses korbannya meregang nyawa sangat menyenangkan untuk ia lihat.

Alvazka memastikan semua korbannya tidak memiliki luka fisik, korban datang ke tempatnya dengan sukarela. Tapi, ada satu korban yang tidak sesuai dengan rencananya, Hafiz, mantan pacar Ruth yang sudah menyakiti Ruth-nya. Alvazka tidak berniat membunuh Hafiz jika saja Hafiz tidak menyakiti Ruth. Sejak pertama bertemu Ruth, Alvazka sudah menetapkan Ruth sebagai miliknya. Ruth membuatnya tertarik, dan melihat Ruth sangat menyenangkan.

Saat di malam Hafiz di serang oleh temannya yang menaruh dendam, Alvazka ada di sana, berdiam di sudut ruangan kamar Hafiz. Dirinya terpaksa menahan diri menunggu sampai penyerang Hafiz pergi. Sebenarnya nyawa Hafiz bisa di selamatkan karena tusukan di perutnya tidak akan berakibat fatal, tapi Alvazka membantu Hafiz untuk segera menemui takdirnya dengan sekali sayatan.

Alvazka menarik bibirnya membentuk senyuman, mengingat saat Hafiz membulatkan mata ketika melihat wajahnya kala itu. Alvazka melajukan mobilnya, bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.

Alvazka bisa lolos dari kepolisian sampai sekarang bukan karena dirinya seorang polisi, melainkan karena ia bermain aman, memakai sarung tangan saat membunuh, memastikan sepatunya di tutupi plastik. Begitu juga dengan Pak Bram yang bertugas membersihkan, pria paruh baya itu juga sangat ahli menjaga agar perbuatan mereka tidak meninggalkan jejak.

DARK PSYCHE  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang