19. Dua Shakira

26 7 0
                                    

Hari ini adalah jadwal Shakira untuk kemoterapi. Ia menyusuri dinginnya koridor rumah sakit bersama Shaka di sebelahnya. Biasanya Bunda selalu menemani, tapi lagi-lagi Shaka mengajukan diri untuk menemani Shakira, Bunda selalu sibuk untuk menuntaskan orderan. Tapi, Shakira tetap prioritas Bunda, buktinya Bunda bekerja untuk Shakira. Dan tentang Shaka, Bunda sepertinya percaya anak laki-laki dengan senyum sopan itu lebih dari putrinya sendiri.

Langkah Shakira berhenti pada kamar Tulip A yang pintunya terbuka lebar. Suara tangis dari dalam sana menembus sampai koridor. Ada yang berpulang, tangisnya tangis duka. Hati Shakira getir mendengar tangis Ibu di dalam sana yang menggerakan anak lelaki yang terbaring di ranjang dengan seluruh alat medis yang sudah dilepas. Beberapa kerabatnya saling berpelukan, menangis.

"Kayaknya nanti aku gitu juga deh," kata Shakira memperhatikan.

"Hus! Mulutnya," sahut Shaka sedikit kesal.

Shakira mendongak menatap Shaka. "Ntar kamu peluk Bunda kalo dia nangis kayak gitu."

"Shakira." Nada suara Shaka memperingatkan, ia tidak suka topik yang Shakira bawa.

"Loh, kan siapa tau."

"Kamu pasti sembuh," kata Shaka.

"Emang kamu Tuhan? Lagian aku udah berobat bertahun-tahun gak sembuh, tuh."

"Kamu pasti sembuh, adalah doa dan harapan, Shakira. Berperasangka baik dengan takdir Tuhan. Udah yuk, lanjut jalan. Gak enak orang lagi berduka." Shaka memegang pergelangan tangan Shakira, membawa gadis itu pergi.

"Kalo orang mati gitu, dia tetap bisa ngeliat orang yang hidup gak?" tanya Shakira.

"Kenapa nanya begitu?"

"Kan kalo aku mati, aku tetap pengen ngeliat Bunda, terus kamu, keadaan kalian, kelanjutan hidup kalian, terus pasangan kamu nanti, terus kira-kira aku sampe gak ya nonton pameran kamu yang nanti bakal jadi seniman."

"Pasangannya Shaka tuh Shakira, pamerannya diadain harus ada kamu."

"Emang Shaka Tuhan?"

"Berperasangka baik dengan takdir Tuhan. Nanti Shaka ngomong, minta ke Tuhan, pasti dikabulin."

Shakira tertawa kecil mendengarnya. "Aamiin-in, jangan?"

"Aamiin ya Allah," sahut Shaka.

"Kak Shakira!" Suara anak kecil perempuan itu langsung menyambut kedatangan Shakira setelah ia masuk dalam ruang kemoterapi. 

Lokasinya berada di lantai 4, pemandangan padatnya kota bisa dilihat melalui kaca-kaca transparan yang berdiri kokoh sebagai dinding. Hanya ada Shakira, anak kecil itu dan dua wanita paruh baya dalam ruangan tersebut.

Gadis itu berpijak di atas kaki tiang infus, lalu berseluncur menghampiri Shakira dengan tiang infusnya.

"Hallo, Shakira. Hei, pelan-pelan," kata Shakira saat gadis kecil setinggi pinggang Shakira itu memeluknya.

"Shakira? Nama kalian sama?" tanya Shaka.

"Kakak ganteng ini siapa?" tanya gadis itu kepada Shakira.

Shaka tersenyum, membungkukan badan utuk setara dengan tinggi gadis kecil itu. "Nama Kakak, Shaka." Shaka mencubit halus kedua pipi anak itu.

"Nama aku Shakira juga. Hallo Kak Shaka!" Wajah tirusnya yang pucat terlihat begitu ceria.

"Hallo Peri Kecil," balas Shaka. "Wahh, ada Tuan Putri Shakira, dan Peri Kecil Shakira."

"Jadwal aku sama Shakira sering bareng, jadi kita kenal akrab gara-gara sama-sama suka nonton Pororo," kata Shakira.

"Hallo, Shakira." Suara lelaki dengan seragam medis itu memecah perkenalan singkat mereka.

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang