23. Thank You, Shaka

32 5 0
                                    

Keringat membasahi dahi, Shakira baru saja keluar dari kamar mandi dengan badan yang sedikit lemas setelah ia memuntahkan isi perutnya. Tangannya bergetar dengan keringat dingin, merogoh laci meja dan mengambil obat-obatnya yang banyak dari sebuah  box

Jarum jam yang berdetak di atas mejanya membuat Shakira semakin berkeringat dingin dengan jantung yang berpacu cepat. Sekarang, ia tidak suka mendengar benda itu. Shakira melepas batrainya, membiarkan benda itu tergeletak di meja. Namun rasanya masih kurang puas, Shakira melempar jam weker itu ke sembarang arah.

Shakira benci situasi seperti ini. Seolah waktu memburunya, mengejarnya untuk mati.

"Berisik!" Banyak suara yang memenuhi kepala Shakira.

Ia mengambil hoodie di lemari. Tak peduli dengan tubuhnya yang masih lemas, sambil membawa skateboard-nya Shakira tidak ingin terkurung sendirian dalam kamar yang atmosfernya membuat dada terasa sesak. 

Selompok anak membawa bola baru saja melewatinya dengan celoteh ria. Setiap sore pasti taman komplek akan ramai dengan anak-anak bermain, terutama lapangan futas berumput hijau yang baru selesai dibangun bulan lalu. Oh, andaikan saja ia bisa kembali ke masa itu. Meskipun berandai seribu kali pun tak ada gunanya, waktu tidak bisa diulang. Bertepatan setelah Shakira berseluncur melewati rumah Shaka, cowok itu membuka pagar.

"Shakira."

Gadis dengan tudung hoodie putih itu berhenti. Shaka menghampirinya.

"Kok main?" Shaka tidak lupa bagaimana keadaan cewek itu di sekolah tadi.

"Harusnya kamu istirahat di rumah." Shaka berniat hendak menjenguknya tadi.

"Udah minum obat?"

"Kamu masih pucat." Shaka menempelkan punggung tangan di jidatnya.

"Hey.. kamu sakit?" Shaka merasa kening Shakira yang dingin.

"Stop!" Suara Shakira tinggi, diluar ekspektasi Shaka. 

"Stop memperlakukan aku seolah obat-obatan itu bakal bikin aku sembuh, stop memperlakukan aku seolah aku akan mati besok, Shaka! Aku cuma mau hidup normal kayak manusia normal lainnya! Kenapa?! I'm so fucking tired of everything! Everything, Shaka! Aku capek! Aku capek sama diriku, sama pikiranku! Aku gak butuh tatapan kasihan dari kamu, dari Bunda, dari semuanya seolah aku adalah manusia paling menyedihkan di dunia ini yang butuh belas kasihan!"

"I hate myself!"

Shaka terdiam.

"Kenapa aku harus istirahat? Kenapa aku harus minum obat? Itu semua gak berguna, Shaka. Iya, aku gak normal kayak anak yang lainnya! Pada akhirnya aku akan mati! Gak ada yang bisa keluar dari mimpi buruk ini! Minum obat, istirahat, check-up, kemo, semuanya! Bullshit, buang waktu. Semuanya aku lakuin biar Bunda gak cemas! Aku capek. Kenapa sih kalian menaruh harapan ke aku, yang padahal aku sendiri udah gak punya harapan itu!"

"Hey.. what's wrong?" Shaka bertanya pelan. 

"Aku ada salah bicara? Aku minta maaf," kata Shaka, berusaha mendekati Shakira.

Shakira menghela napas panjang. "No, no, no." Ia menggeleng.

"Kamu kenapa?" Shaka berusaha menyentuhnya, namun Shakira menjauh.

"I'm sorry... I'm sorry..." Shakira terus mengulang kalimat itu, ia tidak bermaksud berbicara seperti itu. Tidak seharusnya juga ia melampiaskan rasa takut, cemas dan emosinya kepada Shaka yang tidak tahu apa-apa, bahkan cowok iu sudah berbaik hati memberikan perhatian padanya.

"Aku jahat banget, ya?" Shakira menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Shaka mengukir senyum tulus, ia menggeleng. "Nggak, kalimat yang kamu lontarkan barusan mungkin apa yang lagi kamu rasain sekarang, peraasaan kamu. Nggak papa, aku ngerti Shakira."

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang