17 - KNOW?

61 5 0
                                    


"Atas nama kak Zelin."

Gadis dengan setelan kantor itu berdiri, mengambil minumannya yang sudah siap.

"Makasih kak." Ujarnya dan langsung meminum brown sugar milk yang sudah ia dambakan dari pagi tadi. Kerjaan di kantor cukup banyak dan melelahkan. Dia butuh refresh sebentar untuk beli minum segar di cafe langganannya.

"Zelin?" Panggil perempuan cantik dari pintu cafe. "Kamu disini juga?"

Zelin menoleh, lalu mengerjap beberapa kali. Dia langsung memaksakan senyumnya. "Selamat siang Bu Risma."

Risma meringis. Merasa aneh dengan panggilan 'Bu' yang Zelin katakan. Padahal dia masih sangat muda. Kenapa tidak dipanggil kak atau nama saja?

"Panggil nama saja Zelin. Kita juga seumuran."

Zelin nyengir, lalu menggeleng. "Nggak bisa. Kan bu Risma istrinya Pak Fatan selaku atasan saya."

Risma geleng geleng kepala. "Terserah kamu saja kalau kalau begitu."

"Bu Risma mau beli kopi juga?"

Risma mengangguk.

"Kalau gitu saya pamit dulu, Bu. Saya harus balik ke kantor."

"Oh iya Zelin. Gimana keadaan kamu sekarang?" Tanya Risma

Zelin mengernyit bingung.

"Kata Mas Fatan kamu habis sakit." Sambung Risma lagi. Dia mendekat, menyentuh tangan Zelin. "Maaf Zelin, kemarin saya sempat berpikiran buruk soal kamu."

Rasanya Zelin ingin menangis. Dia merasa sakit hati dengan ketulusan Risma.

"Saya.. saya sudah baikan, Bu."

Risma tersenyum, menepuk pundak Zelin beberapa kali. "Sehat sehat ya."

Zelin ikut tersenyum dan mengangguk. "Makasih Bu Risma. Kalau gitu saya duluan. Keburu kelewat jam istirahat soalnya."

***

Zelin berjalan dengan tergesa. Minuman yang tadi dia beli berakhir ditempat sampah padahal baru dia minum setengah. Amarahnya berkumpul di kepala. Dan mungkin akan meledak sebentar lagi. Tanpa ada ketukan sopan seperti biasanya, dia membuka pintu ruangan atasannya itu dengan keras. Hingga laki laki didalamnya menoleh, bingung. Membuat amarah Zelin bertambah ketika melihatnya.

Zelin sudah tidak tahan, dia tidak lagi mempedulikan karirnya. Tangannya tanpa sadar terangkat untuk menampar laki laki di depannya, namun laki laki itu tidak kalah cepat untuk menahan tangan Zelin.

"Jangan main main sama saya Zelin. Apa maksud kamu sebenernya?"

"Brengsek!" Zelin menepis tangan Fatan. "Dasar picik."

Kalaupun setelah ini dia akan dipecat, Zelin tidak peduli.

"Saya bisa diam, Pak Fatan. Dan selama ini saya selalu diam."

Zelin menatap Fatan tajam

"Tapi jangan pernah libatkan saya dalam kebohongan anda."

Mata Zelin memanas, air matanya turun. Membasahi wajahnya.

"Terserah mau cari alasan atau berbohong apa ke istri anda. Tapi jangan libatkan saya!"

Fatan diam, tidak mampu membalas serangan Zelin.

"Karena anda hari ini saya harus ikut berbohong sama orang yang tulus nanya keadaan saya." Zelin mengusap airmatanya, dia ikut sakit hati mengingat pertemuannya dengan Risma di cafe tadi.

"Saya juga perempuan Pak Fatan." Suara Zelin melemah, "Saya mohon, jangan libatkan saya lagi."

"Saya akan tetap diam, tapi jangan buat saya berbohong lagi. Saya nggak akan sanggup untuk itu"

Zelin langsung berbalik untuk keluar. "Perbuatan saya salah. Silahkan kalau mau pecat saya setelah ini."

***

Sementara itu diluar pintu ada laki-laki yang sedang sibuk menunggu. Tadinya dia ingin menanyakan masalah kerjaan dengan Fatan, namun pintunya malah dikunci dari dalam. Dan ini kedua kalinya dia mendapati hal yang sama.

"Firasat gue nggak pernah salah." Dani mulai berpikir kemana-mana. "Tapi siapa selingkuhannya?"

Detik berikutnya pintu itu terbuka, menampilkan Zelin yang keluar dengan mata sembab.

Mata Dani melebar. "Jadi elo? Selama ini jadi elo?" Tunjuknya kepada Zelin.

Zelin berhenti, menatap Dani sekilas. Ia menghembuskan napas kasar. Mengumpati laki laki didepannya yang berpikiran lain. Kemudian pergi tanpa mengucapkan apapun.

Dani hanya bisa melihat kepergian Zelin dengan tidak percaya.

Dia segera masuk ke ruangan Fatan dan melihat laki laki itu sedang duduk menyenderkan punggungnya di kursi kerja sambil memejamkan mata. Membuat Dani semakin merasa ada yang tidak beres dengan Fatan dan Zelin.

"Nih." Dia meletakkan satu kotak cheese cake di atas meja. "Dari Risma."

Fatan membuka matanya, kemudian menegakkan tubuhnya kembali.

"Gue tadi nggak sengaja ketemu Risma di depan. Terus dia nitip ini."

Senyum di bibir Fatan tercetak. "Thanks."

Dia segera membuka kue itu dan memakannya, juga menawarkan ke Dani yang sedari tadi terus melihatnya. Namun laki laki itu menggeleng.

"Gue juga dikasih satu kotak sama Risma." Dani tersenyum kecil, "Bener bener istri idaman."

"Jangan ngaco kalau ngomong."

"Oh jadi maksud lo Risma bukan istri yang baik? Bukan cewek idaman?"

Fatan menggeleng. "Dia terlalu sempurna. Tapi nggak ada yang boleh ngomong gitu selain gue.

"Sial!"

"Lo udah dapet makanan enak dari Risma kan?" Fatan melihat Dani lalu melirik ke arah pintu. "Keluar. Gue lagi males bahas kerjaan."

Dani mendengus, ingin mengumpat. Tapi bukannya menurut, dia malah bersedekap sambil terus melihat Fatan.

"Simpanan lo cewek mana?"

Gerakan tangan Fatan yang akan mengambil kue terhenti. Sementara Dani semakin melebarkan senyumnya.

Sudah sangat jelas

Satu gerakan menjawab semuanya.

Fatan melirik Dani tajam. "Maksud lo apa ngomong kayak gitu?"

Dani terkekeh. Kemudian dia berdiri, menepuk pelan pundak Fatan.

"Berhenti. Taruhannya bukan hanya pernikahan lo, tapi juga keluarga besar."

"Orang tua lo, orangtua Risma, mereka bukan orang biasa, right?"

Dani melangkah keluar. Sebelum membuka pintu, dia melihat Fatan dengan senyuman lebar.

"Udah lama kan ini?" Dani mengacungkan jempolnya sambil geleng-geleng "Lo pemain juga ternyata."









*****

The Real AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang