03 - MARAH

956 39 3
                                    


Risma menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Dia menggeliat diatas kasur, lalu menyibak selimut yang sedari tadi menutupi tubuh polosnya.

Ia meraih kaos pendek dan celana rumahan didalam almari lalu memakainya. Tangannya sibuk membereskan beberapa pakaian yang berserakan di lantai karena ulah suaminya.

"Aw.." Risma memegang perutnya yang tiba tiba terasa sakit sambil meringis.

"Ris, kamu nggak papa kan?" Fatan yang baru keluar dari kamar mandi terkejut saat melihat istrinya kesakitan. Dia segera berlari dan meraih tubuh istrinya yang hampir jatuh.

Risma menggeleng, "Ini cuma karena telat makan"

Fatan menatap jam dinding dan seketika matanya membesar. Bagimana bisa dia lupa kalau istrinya ini punya riwayat magh?

Dia malah lebih mementingkan nafsunya tanpa memikirkan kesehatan istrinya. Mereka tadi bermain dari pagi pagi hingga.. Apa apaan ini? Jam setengah sepuluh? Sial. Risma kesakitan dan lagi lagi itu karena ulahnya.

"Kita sarapan dulu" Fatan menggendong Risma dan melangkah dengan cepat menuju dapur "Kalau masih sakit nanti kita ke dokter"

Risma terkekeh, "Kau berlebihan sekali. Aku cuman telat makan"

"Dan itu karna aku" Fatan mendudukkan Risma di kursi lalu mangambil roti dan mengolesi dengan selai coklat "Sarapan roti dulu ya? Habis ini aku pesenin makanan."

Risma tidak bergeming. Matanya tak lepas dari suaminya yang sedang kerepotan menuang susu kedalam gelas. Fatan berbalik dengan nampan kecil berisi segelas susu dan obat.
"Kok belum dimakan? Perutnya masih sakit? Apa perlu aku panggilin dokter?"

Riswa tergelak, entah bagaimana bisa rasa sakitnya hilang begitu saja. Tergantikan dengan rasa bahagia karena mendapat perhatian dari suaminya.

Bolehkah dia merasa bahwa dirinya adalah wanita yang paling beruntung sedunia?

Tidak, tidak harus sedunia. Dia beruntung karena mendapat suami yang begitu perhatian dan sangat menyayanginya.

"Apa ada yang lucu? Kau menertawakan siapa?" Tanya Fatan bingung.

Risma menggeleng geleng, lalu tersenyum simpul sambil menyodorkan roti kehadapan Fatan "Suapin"

Fatan sedikit terkejut, namun tetap mengambil roti itu dan mulai menyuapi istrinya.

Bibirnya menyunggingkan senyum kecil saat melihat Risma makan begitu lahap. Mulutnya terlihat menggembung karena penuh dengan makanan.

Seperti anak kecil. Batinnya

"Kamu nggak makan?" Tanya Risma setelah meneguk susu nya hingga tinggal setengah.

"Tadi udah makan di Bandara" Jawab Fatan

Risma melahap suapan terakhir suaminya dengan antusias.

"Mau nambah lagi?

"Udah kenyang banget, perut aku nggak muat" Jawab Risma sambil menggeleng geleng.

"Maaf ya"

"Untuk apa?" Risma menatap Fatan yang juga tengah menatapnya

"Maaf udah buat kamu kesakitan kayak tadi. Harusnya aku nggak maksa-" Perkataan Fatan terhenti saat telunjuk Risma tepat berada didepan bibirnya.

Tidak tersentuh, namun masih mampu membuat jantungnya berdebar tak karuan.

"Padahal kamu nggak pernah maksa aku" Risma menyentuh pipi Fatan lembut "Tapi.. Makasih untuk perhatian kamu hari ini Mas Fatan."

Fatan dapat melihat ketulusan dari mata istrinya. Pandangannya masih terpaku pada satu titik yang sama. Senyum yang begitu tulus itu selalu mampu menghangatkan hatinya.

Lagi lagi, Risma mampu membuatnya jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

***

Dua orang sedang melakukan pekerjaannya masing masing. Sang suami berkutat dengan berkas berkas penting, sementara sang istri membereskan kamar yang sudah berubah menjadi kapal pecah sejak kepulangan Fatan pagi tadi.

Dibukanya koper milik suaminya. Dia berdecak sebal saat melihat tidak ada satupun pakaian yang dilipat. Fatan memasukkan pakaian dengan asal.

Apa dia tidak bisa melipat baju dengan benar? Gerutunya.

Tangannya segera meraih pakaian itu dan melipatnya satu persatu. Dia mengernyit saat melihat ada kotak bludru berwarna merah terselip di antara kemeja kerja.

Risma mengambil kotak itu dan membukanya perlahan. Sebuah kalung berlian dengan liontin bintang kecil yang terlihat begitu mewah dan elegant mampu membuat matanya membesar. Dipandanginya kalung itu dengan tatapan takjub.

"Ini hadiah untuk Mama? Indah sekali" Katanya dengan mata berbinar. Seminggu yang lalu mama mertuanya ulang tahun. Sudah dipastikan bahwa kalung berlian ini kado dari Mas Fatan untuk mamanya.

Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Suaminya itu manis sekali.

"Untukmu." Ujar Fatan yang masih fokus didepan layar leptop.

Mata Risma seketika membulat, dia menatap Fatan tidak percaya
"Untukku? Bukankah minggu kemarin kau baru saja memberiku anting yang katamu harganya lima puluh juta itu? Astaga."

Bukannya tidak suka, dia hanya merasa suaminya itu terlalu menghamburkan hamburkan uang. Fatan sering kali membelikannya barang mahal yang bahkan tidak penah dia minta. Dia manatap kalung berlian itu sekali lagi. Lalu menghela nafas pelan. Sudah dipastikan harga kalung itu tidak kurang dari dua ratus juta.

Fatan reflek menatap Risma, sedikit sakit hati saat mendengar keluhan yang Risma ucapkan.
"Kalau nggak suka buang aja." Ujarnya dingin.

"Bukan itu maksud aku.." Suara Risma melemah. Ditatapnya Fatan dengan nanar. Dilihatnya kalung berlian itu sekali lagi. Lalu menghela nafas pelan. Diraihnya kalung itu dan mulai melangkah mendekati suaminya.

Tanpa disangka, Risma merebut bolpoin yang digenggam Fatan hingga membuat si-empunya berdecak kesal. "Apa lagi sih?"

Telunjuknya menoel noel pipi Fatan hingga membuat Fatan jengah dan menatap Risma dengan malas

"Maaf" Risma tersenyum kecil, "Bukan nggak suka, aku cuma pengen kamu lebih-"

"Hemat?" Sahut Fatan yang langsung mendapat anggukan dari Risma. Dia menghembuskan nafas lelah. Bosan karena harus mendebatkan masalah yang sama.

Risma tidak akan pernah mengerti. Badannya terasa sangat lelah, masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Tapi Risma malah membuang buang waktunya dengan mendebatkan kalung berlian yang tidak penting itu.

Kesal, itu yang ia rasakan saat ini.




****

The Real AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang